Sialan orang ini! Memanfaatkan orang yang tak berdaya. Ponsel! Dia mengambil ponselku.Ingin sekali mencegahnya tapi tiba-tiba terdengar pintu mobil di tutup, pergi ke mana orang itu. Setelah berhasil mengambil ponselku dia meninggalkanku begitu saja. Ya Tuhan, andai aku tak keluar tadi. Sesaat pintu terbuka lagi, aku bisa mendengarnya. Lalu tak lama bisa kurasakan seseorang menyentuh bibirku untuk memasukkan sebuah tablet. Rasanya tak asing, pahit dan bentuknya sama seperti obat vertigoku.Tak lama sepertinya sebuah botol minuman kemasan dia berikan padaku. Kesadaranku masih belum hilang meski rasanya untuk membuka mata sudah berat sekali, sekalinya bisa pandanganku malah kabur. Siapa dia, kenapa rasanya tak asing? Dia bahkan tahu obat yang kubutuhkan, tak mungkin dokter ‘kan? Mobil melaju lagi, entah dia akan membawaku ke mana, tak lama setelah mobil berhenti, dia kembali memapahku. Kuedarkan pandangan meski gelap dan samar-samar, jelas aku hafal sekali. Ini rumahku, tak mungkin bisa
“Mah, kita ke sana ya?” Suara Raina menarik kesadaranku kembali. “Ke mana, Sayang?” “Katanya Mamah mau ke toko buku, kok malah di sini?” “Engga jadi Sayang, kita pulang aja.” “Ih jangan pulang Mah, aku mau beli buku cerita.” “Lain kali aja, oke.” Posisi Cafe dan toko buku saling berseberangan. Aku hanya khawatir kalau Bang Irwan melihat kami. Apa lagi dia duduk tepat di samping jendela. “Hay Adek-adek cantiknya Om.” Suara seorang pria tiba-tiba terdengar mendekat. “Arga.” Saat pandangan kami bertemu baru kusadari pria itu Arga, anak kecil cengeng yang dulu sering sekali menangis di pinggiran sekolah. Dia yatim piatu, tak kusangka kami akan bertemu lagi, bahkan menjadi tetangga samping rumah. Setidaknya aku bersyukur dia bisa hidup dengan baik. Setelah keluargaku pindah ke luar kota mengikuti ayah yang dipindah tugaskan, aku sudah tak pernah lagi tahu kabat tentang Arga. Pada akhirnya aku melupakan segalanya tentang anak itu. Dia yang dulu selalu mengisi hari-hariku dengan penuh
Aku pulang ke rumah ibu, menjemput anak-anak. Di sana sudah memberondongku dengan berbagai macam pertanyaan. “Buat apa sih masih peduli sama laki-laki macam itu?” tanya Ayah yang terlanjur emosi. “Kasihan, Yah.” “Enggak usah di kasihani orang seperti itu Sa, nanti ngelunjak.” “Dia kan masih Papahnya anak-anak, kalau kenapa-kenapa mereka juga pasti sedih.” “Kamu itu jangan terlalu baik Sa, nanti di injak-injak terus, sekali-kali kan kamu bisa tegas.” “Aku kurang tegas apa Yah, bukankah sudah kuajukan surat gugatan cerai? Cuma ‘kan Bang Irwannya sendiri yang enggak mau tanda tangan, jadi prosesnya di persulit.” “Biar Ayah yang paksa dia tanda tangan, kurang ajak memang tuh orang. Harus di beri pelajaran, seenaknya menggantung anak orang.” “Istigfar Yah, jangan pakai kekerasan terus.” Ibu mulai membuka suara, dia pun duduk mende “Ayah udah sabar Bu, kalau bukan ngelihat Nisa udah Ayah hajar dari dulu pas tahu seena
“Nisa!” Tak ada sahutan sama sekali. Aku susuri setiap ruangan, tak kutemukan sosoknya di mana pun, hingga sampai ke meja makan, rasanya ada yang berbeda tudung saji itu, sudah lama tak pernah berada di atas meja makan. Penasaran, kubuka benda bulat yang di hiasi kain bunga-bunga Nisa yang menjahitnya sendiri. Makanannya berubah, sepiring sop ayam yang di atasnya masih terlihat kepulan asap terlihat begitu menggoda, tak mungkin ini buatan Bi Sumi, jelas dia berada di kampungnya.Benar saja, setelah kucek CCTV Nisa lah yang mengantarku semalam.Tanpa sadar seutas senyum melengkung di bibirku membayangkan saat semalam jarak kita begitu dekat, sayangnya aku tak berdaya, andai aku bisa menahanmu sebentar saja.Kalau masih cinta, kenapa tak tetap tinggal di sini Sa, baiklah akan kuturuti maumu.Kebetulan hari ini akhir pekan, setellah memakan sarapan yang di masak Nisa, aku menuju kediaman Bang Raka, aku tak peduli kalau harga diriku di injak-injak di sana, lebih baik kehilan
“Saya yakin suatu hari pasti Nisa ke sini.”“Sudah lah Wan ibu pusing, kamu ini apa gak bosan tiap hari ke sini, masih banyak kan perempuan di luar sana, lepas Nisa, apa susahnya Wan? kamu bisa nikah lagi sama wanita mana pun.”“Saya gak bisa Bu, saya masih ingin mempertahankan rumah tangga kita.”“Mau sampai kapan kamu gantung Nisa wan, kasihan dia mau memulai hidup baru dengan orang lain pun kamu persulit.”“Aku masih menyukai Nisa Bu, bantu saya kali ini saja, ini permintaan terakhir saya, Cuma ibu yang bisa bantu saya.”“Ibu gak bisa.”“Ya sudah, besok aku ke sini lagi, dan ini, saya mau minta tolong titip buat Nisa Bu.”Kuberikan segepok uang ke tangan ibu mertua, sebulan ke belakang Nisa memblokir rekeningnya aku tak tahu nomor rekening barunya.“Gak usah kamu bawa aja lagi.”“Enggak Bu, ini hak Nisa sama anak-anak, saya gak bisa me
“Kamu ini bicara apa Santi? Kenapa enggak terus terang? Apa maksudmu?” Wanita itu menjauh selangkah dari tempatnya berdiri, saat mata kami bertemu cepat-cepat dia berpaling ke arah lain.“Memang kenyataannya begitu kok,” ucapnya enteng.Tapi masih tak berani menatap lawan bicara, malah memandang jendela Cafe, di sampingnya.Dia cantik tapi sayang munafik!Kupandangi gadis ini dengan detail, penampilannya sedikit berubah, lebih tertutup.Kini netraku berpindah ke bagian bawah, sesekali kakinya tampak di gerak-gerakkan asal, lalu kembali ke atas, raut wajahnya begitu tak enak dipandang ada gelisah yang terukir jelas di sana.“Kamu lebih percaya aku atau dia Sa?” tanyaku.“Aku percaya sama apa yang mataku lihat!” jawabnya tanpa menoleh.“Dan aku juga percaya apa yang aku lihat, bisa-bisanya kamu pacaran sama berondon
“Aku? Mancing apa?” Wanita itu malah memasang wajah suci tanpa dosanya.“Mancing lele di kubangan!” ucapku.Nisa hanya mengerutkan dahi, heran mungkin, sudah tak aneh bagiku, semoga saja dia tak melakukan hal ini pada laki-laki lain, terlebih pada Arga, bocah tengil yang tinggal di samping rumahku. Apa aku harus pindah? Sepertinya harus kupikirkan dari sekarang, bisa bahaya kalau dia semakin gencar mengejar Nisa.“Ayo sayang kita pulang!” Nisa menarik ke dua tangan putriku, terlihat sedikit memaksa.“Kamu gak mau nolong Abang?”Dia menghentikan langkahnya sedikit memutar kepala, melirikku sekilas tapi tak lama malah melanjutkan jalannya lagi.“Abang masih bisa jalan, pergi aja ke klinik, tuh sebelah sana! Kelihatan dari sini.”Memang benar yang dia katakan aku masih baik-baik saja, masih sanggup jalan
Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”