Aku pulang ke rumah ibu, menjemput anak-anak. Di sana sudah memberondongku dengan berbagai macam pertanyaan.
“Buat apa sih masih peduli sama laki-laki macam itu?” tanya Ayah yang terlanjur emosi.
“Kasihan, Yah.”
“Enggak usah di kasihani orang seperti itu Sa, nanti ngelunjak.”
“Dia kan masih Papahnya anak-anak, kalau kenapa-kenapa mereka juga pasti sedih.”
“Kamu itu jangan terlalu baik Sa, nanti di injak-injak terus, sekali-kali kan kamu bisa tegas.”
“Aku kurang tegas apa Yah, bukankah sudah kuajukan surat gugatan cerai? Cuma ‘kan Bang Irwannya sendiri yang enggak mau tanda tangan, jadi prosesnya di persulit.”
“Biar Ayah yang paksa dia tanda tangan, kurang ajak memang tuh orang. Harus di beri pelajaran, seenaknya menggantung anak orang.”
“Istigfar Yah, jangan pakai kekerasan terus.” Ibu mulai membuka suara, dia pun duduk mende
“Ayah udah sabar Bu, kalau bukan ngelihat Nisa udah Ayah hajar dari dulu pas tahu seena
“Nisa!” Tak ada sahutan sama sekali. Aku susuri setiap ruangan, tak kutemukan sosoknya di mana pun, hingga sampai ke meja makan, rasanya ada yang berbeda tudung saji itu, sudah lama tak pernah berada di atas meja makan. Penasaran, kubuka benda bulat yang di hiasi kain bunga-bunga Nisa yang menjahitnya sendiri. Makanannya berubah, sepiring sop ayam yang di atasnya masih terlihat kepulan asap terlihat begitu menggoda, tak mungkin ini buatan Bi Sumi, jelas dia berada di kampungnya.Benar saja, setelah kucek CCTV Nisa lah yang mengantarku semalam.Tanpa sadar seutas senyum melengkung di bibirku membayangkan saat semalam jarak kita begitu dekat, sayangnya aku tak berdaya, andai aku bisa menahanmu sebentar saja.Kalau masih cinta, kenapa tak tetap tinggal di sini Sa, baiklah akan kuturuti maumu.Kebetulan hari ini akhir pekan, setellah memakan sarapan yang di masak Nisa, aku menuju kediaman Bang Raka, aku tak peduli kalau harga diriku di injak-injak di sana, lebih baik kehilan
“Saya yakin suatu hari pasti Nisa ke sini.”“Sudah lah Wan ibu pusing, kamu ini apa gak bosan tiap hari ke sini, masih banyak kan perempuan di luar sana, lepas Nisa, apa susahnya Wan? kamu bisa nikah lagi sama wanita mana pun.”“Saya gak bisa Bu, saya masih ingin mempertahankan rumah tangga kita.”“Mau sampai kapan kamu gantung Nisa wan, kasihan dia mau memulai hidup baru dengan orang lain pun kamu persulit.”“Aku masih menyukai Nisa Bu, bantu saya kali ini saja, ini permintaan terakhir saya, Cuma ibu yang bisa bantu saya.”“Ibu gak bisa.”“Ya sudah, besok aku ke sini lagi, dan ini, saya mau minta tolong titip buat Nisa Bu.”Kuberikan segepok uang ke tangan ibu mertua, sebulan ke belakang Nisa memblokir rekeningnya aku tak tahu nomor rekening barunya.“Gak usah kamu bawa aja lagi.”“Enggak Bu, ini hak Nisa sama anak-anak, saya gak bisa me
“Kamu ini bicara apa Santi? Kenapa enggak terus terang? Apa maksudmu?” Wanita itu menjauh selangkah dari tempatnya berdiri, saat mata kami bertemu cepat-cepat dia berpaling ke arah lain.“Memang kenyataannya begitu kok,” ucapnya enteng.Tapi masih tak berani menatap lawan bicara, malah memandang jendela Cafe, di sampingnya.Dia cantik tapi sayang munafik!Kupandangi gadis ini dengan detail, penampilannya sedikit berubah, lebih tertutup.Kini netraku berpindah ke bagian bawah, sesekali kakinya tampak di gerak-gerakkan asal, lalu kembali ke atas, raut wajahnya begitu tak enak dipandang ada gelisah yang terukir jelas di sana.“Kamu lebih percaya aku atau dia Sa?” tanyaku.“Aku percaya sama apa yang mataku lihat!” jawabnya tanpa menoleh.“Dan aku juga percaya apa yang aku lihat, bisa-bisanya kamu pacaran sama berondon
“Aku? Mancing apa?” Wanita itu malah memasang wajah suci tanpa dosanya.“Mancing lele di kubangan!” ucapku.Nisa hanya mengerutkan dahi, heran mungkin, sudah tak aneh bagiku, semoga saja dia tak melakukan hal ini pada laki-laki lain, terlebih pada Arga, bocah tengil yang tinggal di samping rumahku. Apa aku harus pindah? Sepertinya harus kupikirkan dari sekarang, bisa bahaya kalau dia semakin gencar mengejar Nisa.“Ayo sayang kita pulang!” Nisa menarik ke dua tangan putriku, terlihat sedikit memaksa.“Kamu gak mau nolong Abang?”Dia menghentikan langkahnya sedikit memutar kepala, melirikku sekilas tapi tak lama malah melanjutkan jalannya lagi.“Abang masih bisa jalan, pergi aja ke klinik, tuh sebelah sana! Kelihatan dari sini.”Memang benar yang dia katakan aku masih baik-baik saja, masih sanggup jalan
Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”
Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu Sa, dulu memang kita hampir tak pernah sejalan, masih teringat dengan jelas saat kamu sering kali mengalah mengikuti kemauanku meski itu bertentangan dengan dirimu, seperti saat kamu tak ingin menunda kehamilan dengan mengikuti program keluaganya berencana, kamu menurut saja saat kubilang aku tak ingin punya anak dulu sebelum kehidupan kita membaik.Tuhan ternyata mendengar doaku, Dia mengabulkannya 11 tahun penantian, setelah kami punya segalanya, Tuhan baru berkenan menitipkan amanahnya pada kami, Raina dan Reina. Ucapan itu mampu menjadi penentu takdir kehidupan, di masa depan.~~“Gak akan ada kata pisah di antara kita Sa,” ucapku.Nisa tak menjawab, hanya menatapku datar tanpa ekspresi.“Ayo bangun kita salat subuh, abis itu lari pagi!” Kutarik lengannya agar dia segera bangkit dari tempat tidur.“Lari pagi? Enggak ah Abang aja.&
“Mana ada Sa, sampai mati pun kamu akan tetap jadi istriku.”Begitu mendengarnya Nisa malah duduk di trotoar menghadap pada tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar, hujan yang terus mengguyur kotaku akhir-akhir ini, membuat tanaman-tanaman liar ini tumbuh lebih cepat, padahal biasanya di musim kemarau tempat ini begitu gersang.“Aku udah gak mau, terlalu sakit Bang, buat hidup sama-sama lagi kayak dulu.” Nisa membuka suara lagi, netranya mulai mengembun.“Percaya sama Abang Sa, kali ini Abang janji gak akan pernah lagi nemuin Santi, apa pun alasannya,”“Terus yang di rumah sakit itu apa? Abang bilang mau melupakan Santi, tapi kenyataannya? Di saat aku percaya kalau Abang udah berubah, malah Abang....”Nisa terlihat menghirup nafas sejenak, lalu bibirnya sedikit bergertar, seolah yang dia katakan sangat menyakitkan.“Malah apa?&
Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu