Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.
~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan. Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktuKata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan
“Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus
Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t
Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
“Dik, memangnya enggak bisa kalau rumah sehari saja enggak berantakan?” Rasanya kepalaku ingin pecah setiap kali pulang ke rumah. Selalu saja disuguhkan pemandangan seisi rumah yang porak-poranda seperti diterjang angin puting beliung. Mainan gelas plastik semuanya tercecer di lantai. Darahku rasanya ikut naik ke kepala. Lagi-lagi harus menahan emosi mati-matian agar tidak sampai meledak. Mengingat anak-anak yang pasti akan ikut menangis kalau sampai itu terjadi. Bukannya menyelesaikan masalah judtru kepalaku bertambah pening. Mendengar tangisan mereka yang tidak pernah usai hingga larut malam.“Maaf Bang, nanti adik bereskan. Mau makan sekarang?” tawar Nisa, istriku.“Maulah pakai tanya!” sungutku kesal. Hari ini rasanya kesabaranku telah habis melihat penampilannya yang acak-acakan ditambah bau pesing yang menyeruak masuk ke indra penciuman, membuatku tidak lagi bisa menahan emosi yang terlanjur naik.“Astaghfirrul
“Jangan begitu, Bos! Ingat Nisa baru saja melahirkan. Wajarlah menurut gue. Apalagi si kembar masih kecil-kecil.” Nada bicara Haris terdengar lebih serius.“Di rumah sudah disediakan asisten rumah tangga masa iya masih kewalahan?”“Biarkan saja, pasti maulah dimadu secara Nisa kan salihah.” Fredi kali ini memainkan alisnya seolah meminta pembenaran atas pendapatnya. Nisa memang istri yang sempurna. Namun benarkah dia mau jika dipoligami?“Enggak usah ikut-ikutan si Fredi Bos, kasihan Nisa,” ucap Haris sembari menepuk pelan pundakku.“Bukan itu saja masalahnya Ris, selera Nisa itu kuno banget anak-anak saja sampai ikutan ketinggalan jaman.”“Lu itu cuma bosan. Ajak istri jalan-jalan bukan malah cari yang baru,” ucap Haris yang malah menasihatiku.“Ah enggak asyik lu, Ris.” Fredi pun langsung berlalu dari hadapan kami.Hari semakin larut anak-anak masih be
“Enggak usah panggil Adik lagi Bang! Sekarang bagimu aku cuma orang asing ‘kan? Yang pendapatnya tidak perlu dihiraukan lagi.”Tiba-tiba kilatan cahaya sejenak menerangi seisi ruangan, lalu tidak lama suara petir menggelegar tepat di saat Nisa selesai bicara. Aku sedikit tersentak, sedangkan Nisa tak bergeming sedikit pun. Untuk menenangkan diri dari keterkejutan. Kuhembuskan nafas perlahan berkali-kali sembari memberi jeda untuk kami mendinginkan hati dan kepala yang mulai tersulut emosi. “Apa lagi? Pergi! Cari kebahagiaan Abang sendiri. Untuk apa lagi di sini, bukankah sudah seperti neraka bagimu?” "Dik, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Kuraih lagi tangannya yang sudah terlepas dari genggaman memaksanya berada dalam pelukan. “Untuk apa tetap mempertahankan aku, kalau hatimu telah milik orang lain.” “Enggak Sayang, Abang enggak akan maksa kalau kamu enggak mau.” Kuusap punggungnya perlahan, mungk
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t
“Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus
Kata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan
Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu
“Mana ada Sa, sampai mati pun kamu akan tetap jadi istriku.”Begitu mendengarnya Nisa malah duduk di trotoar menghadap pada tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar, hujan yang terus mengguyur kotaku akhir-akhir ini, membuat tanaman-tanaman liar ini tumbuh lebih cepat, padahal biasanya di musim kemarau tempat ini begitu gersang.“Aku udah gak mau, terlalu sakit Bang, buat hidup sama-sama lagi kayak dulu.” Nisa membuka suara lagi, netranya mulai mengembun.“Percaya sama Abang Sa, kali ini Abang janji gak akan pernah lagi nemuin Santi, apa pun alasannya,”“Terus yang di rumah sakit itu apa? Abang bilang mau melupakan Santi, tapi kenyataannya? Di saat aku percaya kalau Abang udah berubah, malah Abang....”Nisa terlihat menghirup nafas sejenak, lalu bibirnya sedikit bergertar, seolah yang dia katakan sangat menyakitkan.“Malah apa?&
Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu Sa, dulu memang kita hampir tak pernah sejalan, masih teringat dengan jelas saat kamu sering kali mengalah mengikuti kemauanku meski itu bertentangan dengan dirimu, seperti saat kamu tak ingin menunda kehamilan dengan mengikuti program keluaganya berencana, kamu menurut saja saat kubilang aku tak ingin punya anak dulu sebelum kehidupan kita membaik.Tuhan ternyata mendengar doaku, Dia mengabulkannya 11 tahun penantian, setelah kami punya segalanya, Tuhan baru berkenan menitipkan amanahnya pada kami, Raina dan Reina. Ucapan itu mampu menjadi penentu takdir kehidupan, di masa depan.~~“Gak akan ada kata pisah di antara kita Sa,” ucapku.Nisa tak menjawab, hanya menatapku datar tanpa ekspresi.“Ayo bangun kita salat subuh, abis itu lari pagi!” Kutarik lengannya agar dia segera bangkit dari tempat tidur.“Lari pagi? Enggak ah Abang aja.&
Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”