Home / Romansa / Ketika Suami Mulai Bosan / Izinkan Aku Menikahi Dia

Share

Izinkan Aku Menikahi Dia

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-01-12 20:54:07

“Jangan begitu, Bos! Ingat Nisa baru saja melahirkan. Wajarlah menurut gue. Apalagi si kembar masih kecil-kecil.” Nada bicara Haris terdengar lebih serius.

“Di rumah sudah disediakan asisten rumah tangga masa iya masih kewalahan?”

“Biarkan saja, pasti maulah dimadu secara Nisa kan salihah.” Fredi kali ini memainkan alisnya seolah meminta pembenaran atas pendapatnya. Nisa memang istri yang sempurna. Namun benarkah dia mau jika dipoligami?

“Enggak usah ikut-ikutan si Fredi Bos, kasihan Nisa,” ucap Haris sembari menepuk pelan pundakku.

“Bukan itu saja masalahnya Ris, selera Nisa itu kuno banget anak-anak saja sampai ikutan ketinggalan jaman.”

“Lu itu cuma bosan. Ajak istri jalan-jalan bukan malah cari yang baru,” ucap Haris yang malah menasihatiku.

“Ah enggak asyik lu, Ris.” Fredi pun langsung berlalu dari hadapan kami.

Hari semakin larut anak-anak masih belum juga mau pulang. Selesai makan-makan malah mau lanjut karaoke. Sungguh aku tidak terbiasa berada dalam keramaian seperti ini. Bagiku sepi dan senyap adalah tempat ternyaman untuk tinggal. Keramaian seperti ini hanya mendatangkan kesenangan sesaat. Berbeda dengan kesunyian hadirnya mampu menenangkan jiwa selamanya. Kuputuskan untuk pulang lebih dulu. Tidak enak juga dengan Nisa takut dia menungguku, karena terlalu asyik aku sampai lupa memberinya kabar.

Niat hati ingin sedikit berdamai dengan Nisa. Baru saja membuka pintu sudah disambut dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Apa Nisa juga tidak sempat menyalakan lampu. Sudah selarut ini dibiarkan gelap gulita. Kutekan saklar lampu hingga seketika membuat ruangan menjadi terang benderang. Mataku terbelalak menatap keadaan kamar yang sedikit berbeda. Ada tulisan “SELAMAT ULANG TAHUN PAPAH TERSAYANG” terpampang di tembok serta banyak balon berbentuk hati di mana-mana. Rasa penasaranku semakin menjadi. Ketika pandanganku beralih ke tempat tidur. Gegas aku berjalan mendekat. Rupanya tidak cukup sampai situ Nisa juga menaburi seprei dengan kelopak bunga mawar. Di tengah-tengah dia bentuk sedemikian rupa hingga terlihat seperti hati lalu di tengahnya ada sebuah kue ulang tahun. Seketika jantungku mendadak sakit ketika membaca kotak dari kue itu bertuliskan Lavanda Cake. Mungkinkah Nisa ada di sana, jadi dia mendengar semuanya? Aku mengatakan hal buruk tentangnya. Sekarang lihatlah yang dia lakukan. Aku yang bahkan lupa dengan hari ulang tahun sendiri, tapi dia mau susah payah mendekor kamar kami hingga tampak begitu indah. Di tengah rasa bersalah yang terus menjalar ke lubuk hati terdengar suara pintu terbuka.

“Selamat ulang tahun, Sayang.” Dia berkata dengan mata nanar. Perempuan yang beberapa jam yang lalu telah kubuka aibnya di depan teman-temanku lalu kami menertawakannya tanpa merasa berdosa sedikit pun. Sekarang bagaimana bisa dia tengah tersenyum manis, dengan segala persiapan yang cukup merepotkan. Aku merasa begitu tidak tahu diri.

“Abang tahu bagian paling menyakitkan dari kehilangan?” tanya Nisa, sekaligus memulai pembicaraan di antar kami.

“Apa?” 

“Dilupakan, meski kenyataannya ragaku selalu disisimu. Dulu kita tidak saling mengenal hingga seiring berjalannya waktu. Aku jadi segalanya buat Abang tapi kemudian rasa itu mulai memudar. Hingga datang hari ini. Ketika hadirku tidak lagi berarti dan bukan lagi jadi prioritasmu. Meski tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. Aku tahu hatimu telah lama berpaling. Entah di bagian mana namaku tersimpan atau jangan-jangan sekarang sudah terhapus seutuhnya?" Tidak menyangka dia akan mengatakan kalimat itu. Bukan salahnya lagi juga bukan salahku. Entah salah siapa yang jelas kami tidak bisa menolak ketika rasa bosan itu mulai menyapa. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Mengakuinya atau tidak semua itu berawal dariku. Sengaja menabur api ke dalam rumah tanggaku sendiri. Kejenuhan ini membuatku lupa akan arti cinta sesungguhnya.

“Maafkan Abang, Dik.” Aku berjalan mendekatinya sembari berusaha memeluk tubuh mungil yang berbalut daster kumal yang menjadi gaya khasnya ketika di rumah. Mengabaikan bau pesing yang sekali lagi menyeruak masuk mengganggu Indra penciuman. Aku tetap merengkuhnya, membenamkan tubuh itu ke dalam dada. Untuk beberapa saat, kami larut dalam suasana yang entah. Sampai akhirnya dia berusaha melepaskan diri.

“Kalau aku maafkan. Maukah Abang menautkan hati padaku lagi seperti semula?” tanya Nisa seraya menahan tanganku yang hendak memeluknya kembali.

“Dik.” Aku tidak mau kalah, tetapi lagi-lagi Nisa menahan sekuat tenaga hingga tanganku tidak kuasa memeluknya.

“Aku tahu pasti tidak mungkin ‘kan?” Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa.

“Benar kata Abang aku ini istri yang membosankan dan seleraku itu kampungan, kuno! Sampai anak-anak pun ikut kelihatan kampungan.”

“Siapa yang berani mengatakan seperti itu, Dik?” Mataku kian lekat menatapnya tapi dia malah tertunduk. Aku bisa tahu ada kesedihan yang mendalam di sana. Nisa bersandar pada dinding, sedang tangannya mengepal kuat. Seperti berusaha menahan emosi yang sebentar lagi mungkin akan meledak.

“Abang sendiri yang bilang tadi sore, di depan semua teman-teman.”

“Tadi sore? Jadi Adik ada di situ?” Melihatnya begitu hancur mendadak sekelebat bayangan Fredi dan Haris yang tertawa di Cafe tadi sore melintas tanpa dapat kucegah. Tawa mereka yang nyaring itu. Kenapa justru membuat rasa bersalah kian menjalar ke dalam dada?

“Aku sama anak-anak ada di belakang, melihat saat kami jadi bahan lelucon teman-teman Abang.”

Nisa menatap lekat, tidak ada lagi tangisan hanya badannya yang sedikit bergetar.

“Kenapa enggak bilang, kita mungkin bisa pulang sama-sama?”

“Enggak usah pura-pura, kami sudah dengar semuanya kok tadinya kami mau buat pesta kejutan ulang tahun. Kebetulan di sana ada banyak kue kesukaan Abang. Niatnya mau beli beberapa potong untuk dibawa pulang, tetapi di sana malah melihat orang yang begitu kami hormati menjadikan kami bahan tertawaan,” ujarnya  sedikit tercekat. Tatapannya yang memilukan seakan menghipnotisku hingga ikut larut dalam kesakitan yang ia rasakan.

“Harusnya bilang. Abang enggak tahu kalau Adik ada di sana.”

“Untuk apa, kalau dengan kehadiranku cuma bikin malu?”

“Enggak seperti itu.” Aku berusaha meraih tangan Nisa menggenggamnya erat supaya membuatnya percaya padaku.

“Abang mau menikah lagi?” tanya Nisa.

“Kamu mengizinkannya?” Nisa refleks merenggangkan tanganku. Namun, aku tetap mengeratkannya kembali.

“Kasih kesempatan Abang sekali saja.” Aku meletakkan tangannya di depan dadaku. Nisa menatap Nanar, bibirnya mulai bergetar.

“Untuk apa?” tanyanya lirih hampir saja tidak terdengar.

“Izinkan aku menikahi Santi Dik.” Bulir bening yang sedari tadi dia tahan akhirnya mengalir tanpa dapat dicegah. Tidak ada jawaban hanya air matanya yang seakan bicara. Aku tahu bukan hal mudah baginya memberikan izin untuk menikah lagi tapi rasa ini tidak mampu lagi dicegah. Bukankah aku hanya laki-laki normal yang butuh asupan. Hidupku berantakan karena pikiran yang tak karuan. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya hampa bagai mati rasa. Aku bukan tak mencintainya tapi Nisa bahkan dia tak lagi mampu menyediakannya untukku.

“Aku tidak mengizinkannya, Bang.”

“Kenapa? Bukannya Adik sendiri yang bilang dari pada melakukan sesuatu yang diharamkan Tuhan akan lebih baik menghalalkannya.”

“Kalimat itu Abang ucapkan sebelum memintaku untuk jadi istri dan sekarang kenapa mengatakannya lagi sebelum melamar perempuan lain?”

“Dik, Abang tidak bisa menahannya kali ini. Takut nantinya terjerumus dalam dosa. Bukannya Adik pernah bilang tidak akan pernah menentang poligami.” Aku masih ingat dengan jelas dahulu saat kami sering diskusi tentang poligami hal itulah yang Nisa katakan. Bisa kurasakan dari tangannya yang masih dalam genggaman. Tubuh Nisa bergetar hebat. Apakah ini terlalu menyakitkan?

“Aku enggak pernah menentangnya bukan berarti aku harus mengamalkan sunah itu? Aku belum siap. Selamanya aku tidak akan siap.” Nisa mengentakkan tangannya cukup keras membuatnya terlepas dariku.

“Tapi Dik ....”

“Ini demi anak. Kamu yang meminta untuk punya banyak keturunan tapi kamu malah mau menikah lagi hanya karena syahwatmu tak tuntas. Ini hanya soal waktu. Tidak bisakah kamu menunggu sebentar lagi?” Nafasku tercekat semua yang dia katakan benar. Aku telah memilih seseorang untuk masuk ke dalam rumah tanggaku hanya karena alasan nafsu yang tak tersampaikan. Apa bedanya aku dengan pria brengsek.

“Kamu tidak mengerti bagaimana laki-laki, Nisa.”

Sudah tiga bulan dia tak kunjung memberi hakku. Aku mencoba mengerti kalau dia belum suci tapi ini sudah terlalu lama. Apakah melahirkan membuatnya trauma? Kurasa tak mungkin bukankah dia baik-baik saja saat melahirkan putri kembar kami sebelumnya.

“Aku tidak pernah memintamu mengerti perasaan perempuan, tapi yang kamu minta sama saja merenggut kebahagiaan hidupku,” kata Nisa. Kali ini bahunya ikut naik turun seolah larut dalam emosi.

“Abang bisa adil, kalaupun kamu tak mau ....”

“Abang mau bilang laki-laki tidak perlu izin istri untuk berpoligami? Lain kali tidak perlu minta izinku. Lakukan saja semaumu! Sesuai hukum yang kamu tahu.”

Related chapters

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Apa Alasannya?

    “Enggak usah panggil Adik lagi Bang! Sekarang bagimu aku cuma orang asing ‘kan? Yang pendapatnya tidak perlu dihiraukan lagi.”Tiba-tiba kilatan cahaya sejenak menerangi seisi ruangan, lalu tidak lama suara petir menggelegar tepat di saat Nisa selesai bicara. Aku sedikit tersentak, sedangkan Nisa tak bergeming sedikit pun. Untuk menenangkan diri dari keterkejutan. Kuhembuskan nafas perlahan berkali-kali sembari memberi jeda untuk kami mendinginkan hati dan kepala yang mulai tersulut emosi. “Apa lagi? Pergi! Cari kebahagiaan Abang sendiri. Untuk apa lagi di sini, bukankah sudah seperti neraka bagimu?” "Dik, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Kuraih lagi tangannya yang sudah terlepas dari genggaman memaksanya berada dalam pelukan. “Untuk apa tetap mempertahankan aku, kalau hatimu telah milik orang lain.” “Enggak Sayang, Abang enggak akan maksa kalau kamu enggak mau.” Kuusap punggungnya perlahan, mungk

    Last Updated : 2022-01-12
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Kenapa Tak Kau Izinkan Saja?

    “Aku laki-laki Nisa, jangan membuatku seperti ini. Kamu menyiksaku tanpa alasan,” lirihku, walau amarah ini sudah naik sampai ke puncak melihatnya serapuh ini, hatiku tak kuasa melampiaskan kekesalan ini padanya.“Maaf sudah bikin Abang menunggu selama ini,” lirih Nisa sambil terisak. Kulepaskan pelukannya dengan kasar. Dia sedikit tersentak ke belakang. Tak tahan rasanya berada dalam satu ruangan dengan wanita yang sudah jadi mahramku, tapi tak bisa kusentuh.“Mau ke mana, Bang?” tanya Nisa ketika aku sudah sampai daun pintu.“Panggil aku kalau kamu sudah siap!” Kututup pintu dengan kerar. Biarkan saja kalau gebrakannya membuat terkejut seisi rumah. Aku tak peduli. Apa kurangku, aku sudah tak menarik lagi bagimu?“Papah?” Kutengok ke arah sumber suara. Ternyata Reina berada tepat di depanku, dipeluknya kaki kananku dengan kedua lengannya.“Kenapa Papah

    Last Updated : 2022-01-12
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Obat Siapa?

    Kamu ke mana, Nisa? Kenapa selalu membuatku kesal! Ada baiknya kutelepon Nisa saja, tapi dering ponselnya malah terdengar di telinga. Dia bahkan meninggalkan ponselnya di rumah. Bisa-bisanya dia pergi seperti ini. Sial, aku tidak henti-hentinya mengumpat. Segera kucari ponsel Nisa. Kuperiksa saja sekalian barangkali saja dia meninggalkan jejak di sana. Di mana ponselnya aku terus mencari ponsel itu mengikuti nada deringnya. Di lemari? Sejak kapan dia menyembunyikan ponsel di lemari? Aneh. Gegas kuperiksa ponselnya. Pesannya kosong. Tidak ada riwayat chat sama sekali. Hanya ada 5 panggilan tak terjawab dari Indri. Setahuku dia tak pernah punya teman dengan nama Indri. Tidak ada salahnya bukan, kalau aku melakukan panggilan dengan Indri. Mungkin saja dia tahu sesuatu tentang Nisa.“Hallo selamat malam, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucapku. Ini memang sudah larut malam aku tahu ini bukan waktu yang baik untuk menelepon.“Selamat malam juga, maaf in

    Last Updated : 2022-01-13
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Jangan Salahkan Aku

    “Loh Pak, itu obat siapa?” Bi Sumi sedikit terkejut, sampai-sampai bola matanya nyaris saja keluar.“Ini obat Khalid Bi, kayaknya sakit deh. Pantas rewel. Nih kasih aja, saya menemukan obat ini di tumpukan pakaiannya.” Bi sumi segera mengambil obat yang aku sodorkan. Terlihat dia membolak-balikkan lembar demi lembar obat-obatan itu. Wajahnya terlihat bingung hingga sesekali melihat ke arahku, kemudian dia membaca lagi tulisan yang tertera dalam obat-obatan itu. Kali ini dia meraba kening bayiku. Hingga bisa kulihat dia mengerutkan dahinya. Lagi-lagi ekspresi heran dia tunjukkan padaku.“Kenapa, Bi?”“Maaf Pak, ini kayaknya bukan obat Khalid.”“Loh, tahu dari mana? Memangnya dia itu dokter. Kenapa yakin sekali kalau itu bukan obat untuk Khalid?“Saya juga punya anak di rumah. Waktu anak saya sakit pasti obatnya di kasih yang sirop, kalau pun ada yang tablet pasti sudah dalam bentuk serbuk.&

    Last Updated : 2022-01-13
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Ketahuan

    Sepulang kerja penyakit vertigoku sepertinya kambuh lagi, pasti karena semalam tidak bisa tidur, dan tadi pagi lupa sarapan di tambah lagi aku malah mengambil lembur. Aku berpegangan pada dinding, terus berjalan perlahan menuju area parkir.Di sana aku lagi-lagi bertemu dengan Santi, rupanya dia juga lembur. Area parkir sudah sepi hanya tinggal beberapa karyawan yang masih di dalam, wanita itu sepertinya sadar dengan keadaanku yang tak baik-baik saja. Santi dengan sigap menghampiriku, lalu memapah sampai ke mobil.“Saya antar Bapak pulang, ya. Saya bisa nyupir kok.”“Terus motor kamu?” Seingatku dia biasa pergi ke kantor dengan scooter matic merah muda.“Enggak apa-apa saya tunda saja di sini.”“Terus nanti kamu pulangnya bagaimana, saya enggak bisa nganter kamu lagi?”“Banyak ojek Pak, lagian baru jam 8. Belum terlalu malam. Mari biar saya bantu!”Aku hanya mengangguk semba

    Last Updated : 2022-01-14
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Apa Syaratnya

    “Kenapa melihatku seperti itu, Nisa. Mau marah?” tanyaku hati-hati, sakit di kepalaku belum reda sepenuhnya akan bertambah runyam urusannya kalau sampai Nisa marah-marah.“Enggak.” Nisa malah menggeleng pelan suaranya tak kalah lembut dengan Santi, bibirnya bahkan tersenyum lagi. Kali ini terlihat ada ketulusan di dalamnya. Meski tidak bisa di bohongi matanya berkaca-kaca.“Terima kasih sudah membantu suami saya,” ucap Nisa sembari menatap Santi.“Oh iya Mbak, sama-sama.”“Lain kali anda tidak perlu repot-repot membukakan kancing bajunya, masih gadis ‘kan? Perbuatan yang kamu lakukan bisa mengundang syahwat?”“Hmm iya Mbak, saya minta maaf.” Santi langsung tertunduk malu, suaranya tercekat dia terlihat sangat gugup, hingga kulihat berkali-kali jarinya bergerak-gerak tanpa kontrol, gerakan khas seseorang

    Last Updated : 2022-01-14
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Kenapa Harus Bulan Depan

    “Apa syaratnya?” Nisa terdiam entah syarat apa yang akan dia berikan, tapi apakah aku tidak sedang bermimpi dia benar-benar mengizinkanku untuk menikah lagi?“Menikahlah bulan depan, jangan sekarang!” kata Nisa setelah itu dia meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan apa pun lagi. Hanya itu syarat yang dia ajukan. Itu artinya tinggal 20 hari lagi. Aku menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.“Kamu mengikhlaskanku menikah lagi?”“Iya.”“Apa alasannya?”“Apa itu perlu dijelaskan, bukannya Abang yang terus memaksaku buat setuju?” Nisa melepaskan lenganku dengan perlahan.“Khalid nangis, aku ke atas duluan. Telepon saja calon istri Abang, pastikan dia bersedia.” Nisa mengusap pundakku dengan lembut. Senyumnya lagi-lagi mengembang sempurna. Aku tahu itu hanya senyum palsu,

    Last Updated : 2022-01-14
  • Ketika Suami Mulai Bosan   Diabaikan

    “Belum tentu juga Santi mau jadi istri ke dua.” ucap istriku.“Siapa bilang?” Tentu saja dia mau kulihat dia sepertinya menyukaiku.“Kalau Santi malah menyuruh Abang menceraikanku. Apa yang bakal Abang lakukan?” Pertanyaan macam apa ini. Meski rasa cintaku pada Nisa kian memudar, tapi tak sampai hati kalau harus berpisah dengannya, terlebih anak-anakku.“Ah sudahlah enggak usah dibahas. Kemarin Abang menemukan obat di tumpukan baju Khalid, itu punya siapa?”“Obatku, Bang.”“Oh.”“Cuma Oh?”“Syukurlah Abang pikir Khalid yang sakit.”“Abang enggak mau tanya aku sakit apa?”“Bukannya kamu memang sering minum obat itu sejak melahirkan?” Nisa malah tersenyum, tapi di sana ada garis kecewa yang terukir jelas. Apa lagi ini, kenapa dia jadi begitu emosional?“Iya.”“Memangnya kam

    Last Updated : 2022-01-14

Latest chapter

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Tak Ada Cinta yang Sempurna

    “Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Cuma ini yang Bisa Kulakukan

    Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Asalkan Kamu Baik-baik Saja

    Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Andai Saja Dapat Memutar Waktu

    “Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Aku cuma Mau Kita Pisah

    Kata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Sarapan

    Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Perjuangan Belum Berakhir

    “Mana ada Sa, sampai mati pun kamu akan tetap jadi istriku.”Begitu mendengarnya Nisa malah duduk di trotoar menghadap pada tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar, hujan yang terus mengguyur kotaku akhir-akhir ini, membuat tanaman-tanaman liar ini tumbuh lebih cepat, padahal biasanya di musim kemarau tempat ini begitu gersang.“Aku udah gak mau, terlalu sakit Bang, buat hidup sama-sama lagi kayak dulu.” Nisa membuka suara lagi, netranya mulai mengembun.“Percaya sama Abang Sa, kali ini Abang janji gak akan pernah lagi nemuin Santi, apa pun alasannya,”“Terus yang di rumah sakit itu apa? Abang bilang mau melupakan Santi, tapi kenyataannya? Di saat aku percaya kalau Abang udah berubah, malah Abang....”Nisa terlihat menghirup nafas sejenak, lalu bibirnya sedikit bergertar, seolah yang dia katakan sangat menyakitkan.“Malah apa?&

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Tak akan Ada Pisah

    Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu Sa, dulu memang kita hampir tak pernah sejalan, masih teringat dengan jelas saat kamu sering kali mengalah mengikuti kemauanku meski itu bertentangan dengan dirimu, seperti saat kamu tak ingin menunda kehamilan dengan mengikuti program keluaganya berencana, kamu menurut saja saat kubilang aku tak ingin punya anak dulu sebelum kehidupan kita membaik.Tuhan ternyata mendengar doaku, Dia mengabulkannya 11 tahun penantian, setelah kami punya segalanya, Tuhan baru berkenan menitipkan amanahnya pada kami, Raina dan Reina. Ucapan itu mampu menjadi penentu takdir kehidupan, di masa depan.~~“Gak akan ada kata pisah di antara kita Sa,” ucapku.Nisa tak menjawab, hanya menatapku datar tanpa ekspresi.“Ayo bangun kita salat subuh, abis itu lari pagi!” Kutarik lengannya agar dia segera bangkit dari tempat tidur.“Lari pagi? Enggak ah Abang aja.&

  • Ketika Suami Mulai Bosan   Tak Sejalan

    Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status