Saat ini pikiranku langsung tertuju pada dua pengkhianat itu.Pesanku dibaca dan langsung dibalas.[Aku hanya ingin kamu gila dan hancur!]Emosiku langsung meroket saat ini. Tak lagi berpikir panjang, aku pun langsung mencoba menelepon nomer baru itu. Yang kupastikan salah satu dari Mas Asep atau pun Eka.Tut Tetapi panggilan dariku malah langsung ditolak oleh dia."Kurang ajar!" Aku mendesis dengan begitu geram. Keluar dari kamar sembari tetap berusaha untuk menelepon, karena aku tak ingin nanti membangunkan Ais yang saat ini masih tertidur lelap. Segala amarah sudah memberontak, dan pasti, saat nanti panggilan ini diterima, aku akan sangat marah.Namun kembali, sampai beberapa kali percobaan itu, dia tak menerima dan menolak.[Terima panggilanku, jika kamu memang hebat!] Ŕarah kusematkan begitu banyak. Kurang ajar, ternyata dia malah membalas dengan cepat pesanku itu.[Wah kamu panik ya? Hahaha ... itu yang aku mau. Kamu terus panik dan takut, hingga jadi gila nantinya!]Kutarik
"Belajar yang rajin ya, Sayang." Kukecup pelan dahi Ais. Putri kecilku itu mengangguk sambil tersenyum. "Nanti ibu jemput ya."Setelahnya, aku pun meninggalkan Ais. Gadis kecil itu melambai dan berlari masuk bersama dengan teman temannya."Ibu akan terus membersamai, hingga cita cita kamu tercapai, Nak." Sebuah janji terucap dengan tulus. Janji seorang ibu yang akan berjuang seorang diri demi anaknya. Setelah kejadian dengan Mas Asep dan juga Eka, aku sungguh tak ingin kecolongan lagi.Hari ini aku mulai bekerja pada Ryan, proyek pembangunan pabrik itu sudah harus dimulai hari ini. Setelah beberapa hari terakhir terus mempelajari tentang proyek itu, akhirnya aku mantap. Aku bisa, demi masa depan yang lebih cerah."Saya tahu kamu cerdas, dan mudah belajar hal baru." Kalimat penyemangat itu diucapkan tidak sekali dua kali oleh Ryan, sungguh seperti menjadi mood booster untukku.Beruntung pula aku mendapatkan bos seperti Ryan, karena dia memperbolehkan aku mengajak Ais. Jadi, sepulang
"Sebenarnya aku begitu berat melepas kamu jadi TKW, Dek. Hanya saja ini demi masa depan kita dan Ais, anak kita. Pergilah Dek, aku janji akan selalu setia dan menjaga Ais dengan baik."Teringat akan kalimat yang terucap beberapa tahun yang lalu itu, air mata menetes di netra ini. Dari kalimat itu aku tahu jika Mas Asep, suamiku, begitu berat melepasku, hanya saja demi masa depan, ini adalah jalan yang terbaik.Senyum terus terkembang di wajahku sejak turun dari pesawat tadi. Membayangkan bisa bercengkrama dengan keluarga yang begitu aku rindukan setelah sekitar dua tahun lebih tak bertemu.'Mas Asep juga pasti kangen sama aku,' gumamku sambil kembali mengulas senyum. Tebakanku tentu rasanya tidak akan salah, adalah hal yang sangat mungkin jika sepasang suami istri saling merindu ketika menjalin hubungan LDR. Apalagi ketika kami bertelepon, Mas Asep selalu mengatakan rasa kangennya itu padaku. Membuat rindu ini semakin berat. Jika tak ingat ingin memperbaiki ekonomi keluarga, tentu a
"Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."Sesak.Itulah yang saat itu juga kurasakan. Dada ini terasa bagai dihimpit batu besar. Meski semua terdengar begitu jelas, tetapi aku masih berharap semua ini tidak nyata.“Ibu bercanda, ‘kan?”“Bercanda gimana, Nis? Buat apa Ibu bercanda soal beginian sama kamu! Ini soal rumah tangga orang, Ibu juga nggak mau sembarangan.” Bu Endang langsung berucap.Kutatap wajah Bu Endang dan masih ada ragi ragu. Wanita tua itu memang terlihat serius. Hal itu membuat hatiku kembali dingin dan tangannya bergetar.Dengan usaha tetap tenang, aku berkata, "Apa ... apa ada bukti, Bu? M-maaf, bukan maksud saya tidak percaya, tapi ... tapi saya ...."Melihatku tidak bisa menyelesaikan ucapan Bu Endang memberikan minuman kepadaku."Minumlah dulu." Bu Endang menyodorkan padaku segelas air mineral yang sudah diberi sedotan. "Biar kamu sedikit tenang, Nis."Tanpa menjawab segera kuminum air tersebut, semoga saja memang bisa sedikit menentramkan hati i
Eka ... ya, perempuan yang ditunjukan oleh Bu Endang itu tak lain adalah teman baikku. Lebih tepatnya adalah sahabat baik. Sejak SMP kami selalu duduk di bangku yang sama. Sudah seperti kakak adik.Eka, wanita yang sudah sejak SMP kuanggap sebagai saudariku sendiri. Seorang yatim yang ibunya bekerja sebagai penjual gorengan keliling lantaran ayahnya pergi entah ke mana. Tak sekali dua kali aku membantunya. Membayar uang SPP sekolahnya saat dia tak mampu dengan uang jajan yang kusimpan dari orang tuaku, memberikan pakaianku yang sebenarnya masih layak pakai karena bajunya sudah banyak tambalan, bahkan memberikannya modal untuk usaha yang sayangnya berakhir gagal.Lalu, ini kah balasan yang dia berikan? Menjadi simpanan suamiku?!"Apa kamu mengenal perempuan jahat ini Nisa?" Kembali, suara Bu Endang seolah membuyarkan lamunanku.Tanpa dikomando, kepalaku langsung mengangguk.Bu Endang membelalakkan matanya, sepertinya wanita paruh baya itu begitu kaget. "Siapa? Teman kamu?"Terdengar b
POV Asep"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.Plakkk"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih."Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.Hufft ...Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah."Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan."Memangnya dia kenapa?"Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak se
[Mas, aku dalam perjalanan pulang.]“Kenapa dia mendadak pulang!?”Tanpa dikomandoi, aku dan Eka spontan berucap secara bersamaan.Entah kenapa membaca pesan dari Nisa itu, rasanya badanku jadi panas dingin. Bukannya aku suami-suami takut istri, tapi karena aku sudah membuat begitu banyak sandiwara dan kebohongan. Jika sampai Nisa benar-benar pulang mendadak, bisa buyar semuanya! "Aduh, mati aku!" ucapku lagi sambil memukul dahi, tiba-tiba juga kepala jadi pening. "Yank, kita harus siap-siap banyak hal. Jangan sampai keduluan si Nisa!"Kalau benar Nisa pulang mendadak, bisa marah besar dia sama aku. Aku sudah mengkhianatinya, memeras tenaga dan menghabiskan uangnya. Belum lagi aku juga selalu mengabaikan Ais. Dia pasti akan sangat marah dan tidak bersedia menjadi ATM berjalanku lagi!Tidak, hal itu tak boleh terjadi!Tinggal selangkah lagi dari rencanaku merebut semua aset Nisa. Kalau dia tahu tentang perselingkuhanku dengan Eka, bisa hancur semua rencana yang kususun begitu lama!T
"Heh kamu, sini!" Eka langsung kasar narik tangan Ais."Sakit Tante ...." Ais langsung meringis kesakitan. Sedikit pun Eka tak perduli dengan rintihan Ais. "Ibu kamu mau pulang. Awas ya, jangan ngomong macam macam kamu! Kamu harus diam dan nggak boleh ngadu!" ucap Eka dengan penuh penekanan. Ais menunduk, raut wajah gadis itu menunjukkan gurat kesedihan. Sepertinya dia begitu kaget sehingga terdiam beberapa saat. "Ibu mau pulang?" tanya Ais lagi dengan mata berbinar penuh harap.Melihat hal itu, Eka mendengus kasar. “Kamu kalau dikasih perintah, jawab iya aja susah banget sih!?” omelnya sembari menjewer telinga Ais. “Iya, Ibu jalang kamu itu mau pulang!”Karena jeweran kuat Eka, putriku itu makin meringis dan kembali mulai menangis."Yank, jangan keterlaluan. Jangan sampai ada bekas tertinggal," ucapku mengingatkan. Jangan sampai nanti Nisa jadi curiga karena ada lebam di tubuh Ais. Karena biasanya Eka jika sudah seperti ini, akan khilaf dan menghajar Ais. Biasanya sih aku biarka