Siti melempar nampan yang wanita itu bawa masuk ke dalam. Asisten sekaligus pengasuh Mian dan Jessen itu terlalu kaget menyaksikan Tuan Mudanya. “Ya Tuhan Mas Vero! Mas!!” Jerit Siti. Ia kalut. Saat ini Vero terlihat seperti ikan cupang yang terdampar ke atas tanah. Kaki dan tangannya menghentak ranjang, mulutnya terbuka lalu tertutup kembali layaknya orang kekurangan oksigen di dalam paru-parunya. Ini gawat! Sangat malahan!Malaikat maut tampaknya sedang mengincar anak majikannya. “Nggak boleh!” Pekik Siti sembari menggelengkan kepalanya berulang kali. Jika nyawa Adennya yang petakilan walau sudah memiliki buntut ini lewat, pasti akan ada dua orang lagi yang menyusul ke alam baka– menyandang gelar Almarhum dan Almarhumah di batu nisannya. Nyonya Besar meskipun seringkali bertingkah layaknya ibu tiri yang kejam, tapi Siti tahu benar jika wanita itu sangat mencintai putra satu-satunya. Tuan Besarnya apalagi! Anaknya lecet saja sudah seperti kesurupan reog ditumpangi jin ifrit. Ini t
“Klakson!” Ray memerintahkan Jamal– salah satu supirnya untuk kembali menekan bel mobil. Sudah lima menit mereka menunggu dan sekuriti tak kunjung membukakan pintu gerbang. Kemana perginya manusia-manusia yang harus berjaga di depan. Sepertinya mereka tidak ada di pos saat ini. “Biar saya turun, Pak.” Daddy Vero itu hanya mengibaskan tangan, tanda ia setuju. Dirinya mengalihkan pandangan pada si sulung yang bersandar di tubuh istrinya. Diam-diam Ray mengucapkan syukur karena anak kesayangannya masih berpijak di bumi yang sama dengannya. “Abang yakin nggak apa-apa pulang ke rumah?! Infusnya tadi aja belum habis, Bang.” “Kita udah bahas ini tadi, Daddy!” Vero tidak menyukai rumah sakit– itu alasan pertamanya. Ke dua, ayah si kembar tersebut tidak ingin membuat Stefany-nya khawatir karena ia hilang mendadak. Ia tak juga sempat melarang Daddy dan Mommy-nya memberitahu Stefany. Bagaimanapun istri cantiknya sedang hamil muda. Sangat tidak baik jika wanita itu harus mendengar kabar buruk
“Jangan keras-keras, mereka masih anak kecil.” Bisik Ray ke telinga Mellia. Saat ini mereka tengah berada di ruang kerja pribadi Ray. “Nanti malah nangis, Mom.” Peringat Ray, takut jika cucunya justru membuat keributan baru. Mellia menutup matanya– hanya sebentar, sebelum kilat penuh amarah tertuju pada Ray. Hal seperti ini yang menjadi boomerang setiap ibu. Dikala mereka ingin meluruskan kelakuan nakal anak-anaknya, ada saja pengganggu dengan dalih ini-itu. Tidak tahukah hal seperti itu justru tidak baik dilakukan. “Diem Dad.” Balas Mellia serupa desisan. Kejadian seperti ini sudah sering Mellia temui ketika mengasuh Vero dulu. Ia tidak menyangka jika Ray akan mengucapkan kata-kata yang sama untuk menangani cucu mereka. “Vero itu nggak sekuat kamu bodinya. Anaknya baru ngabisin duitnya beberapa ratus juta aja, dia anfal! Apalagi kalau anaknya senakal dia dulu.” Ini memang belum seberapa dengan kelakuan mengguncang akal sehat Vero semasa kecil. “Kamu keluar Dad.. Biar aku sebagai Om
Vero mengambil cuti. Pria itu membutuhkan istirahat panjang dari dunia yang kejam. Berhubung Mommy-nya sedang baik hati, jadi ia bisa bertingkah semaunya. Kapan lagi waktu seperti ini datang. Vero rasa setahun sekali pun tidak akan mungkin. Ini keajaiban yang bisa di daftarkan pada Unesco agar dilindungi. “Papi Mami berangkat ke kantor dulu ya..” Stefany dengan setelan kerjanya berdiri di samping ranjang. Wanita itu menjinjing sebuah tas kerja yang di dalamnya Vero yakini terdapat laptop dan beberapa berkas penting. Vero mengulurkan tangannya untuk dicium Stefany. “Iya. Mami kerja yang rajin ya. Inget, ada atasan yang hidupnya bergantung dari hasil kerja Mami dan yang lain.” Ujarnya, dengan cekikikan yang mengudara. Tidak salah bukan?! Di perusahaan ialah pemegang kasta tertinggi setelah jabatan komisaris. Anak buah seperti Stefany dan yang lainnya merupakan aset berharga. Kerja keras mereka membuat orang yang menduduki manajemen puncak seperti dirinya menjadi semakin kaya raya. Un
“Pagi Mbak, Stef. Ini beneran Bos Vero cuti seminggu?” Fendi datang dengan segudang pertanyaannya di meja kerja Stefany. “Tumben banget libur nggak ngajak-ngajak Mbak Stef.” Fendi cukup heran ketika Vero mengatakan Stefany akan tetap bertugas seperti biasa. Tak biasanya hal tersebut terjadi. Secara Vero tergolong pada suami protektif. Dimana ada dirinya, disitulah seharusnya Stefany berada. “Disuruh kerja istrinya, Fen. Biar duitnya ngalir terus.” Fendi tergelak. Disampingnya Mischa hanya geleng-geleng kepala. Pagi tadi adik ipar Vero itu diberikan mandat spesial. Selain mengantarkan istrinya kuliah, ia juga harus menjadi supir pribadi Stefany selama Vero meliburkan diri. Ruang kerjanya bahkan berpindah di meja panjang sekretaris pribadi sekaligus istri Vero itu. “Kalau urusan duit Mas Vero emang bukan kaleng-kaleng.. Jadi kita bertiga kerjanya disini ya buat seminggu ke depan?!” “Bos Besar bertitah.” Ujar Mischa, “Fen kamu minta meja lagi sama stop kontak ke bagian perkap. Suruh
“Dia kok bisa masih tidur ya?” tanya Stefany. Tangan ibu hamil itu terlipat di atas perut. Matanya sejak tadi tidak berhenti mengawasi suaminya yang tetap terlelap meski dipindahkan. “Dia nggak ada pergerakan waktu kalian bopong?” “Sedikit,” jawab Mischa.“nge-geliat gitu Mbak pas kita angkat.” Fendi menambahi. Janu yang diberikan tatapan, akhirnya juga membuat kesaksian. “Sempet melek sebentar waktu dipindahinke dalem mobil, tapi Pak Vero kayaknya ngira dia mimpi, Bu.” Ini merupakan laporan terpanjang yang Stefany terima dan itu membuat Stefany merasa cukup. “Saya nggak nyuruh kalian bawa dia kesini buat pindah tidur, ya! Ngidam saya bukan ini.” Kepala Stefany tertunduk. Pasalnya memang bukan ini yang dirinya mau. Ia menginginkan Vero bekerja seperti biasa, bukannya tidur di atas meja kerjanya dengan bibir terbuka lebar. “Tutupin congornya! Air terjun Niagara bisa-bisa pindah ke kantor ini!” Mischa menyenggol Fendi, memberi kode agar Fendi segera melaksanakan perintah sang ibu ne
“JEMIMA HUSODO!!!”Vero menggeser airpods milik Mian, setelahnya ia bersiap memasang miliknya sendiri ke dalam lubang telinganya. Teriakan seperti ini sudah sangat sering terjadi. Bisa dibilang, jeritan Jessen merupakan sinyal dimulainya aktivitas pagi di kediaman miliknya.Sudah hampir dua belas tahun berlalu. Vero sudah melepaskan diri dari rumah mewah Daddy dan Mommy-nya. Ia membeli sebuah gedung berlantai dua tak jauh dari hunian Justine setelah Jemima— putrinya lahir ke dunia. Berbekal ingin mandiri, Vero mengusulkan agar Vallery saja yang tetap meninggali rumah orang tua mereka. Anak laki-laki seperti dirinya memang sepantasnya memiliki rumah sendiri agar tidak dipandang sebelah mata. Meski berat orang tuanya akhirnya menyetujui tekad baik tersebut asal dengan syarat— Siti si pengrusuh ikut serta dalam kepindahan.Pendepakan Siti dari rumah Raynald Husodo ditengarai oleh sebuah insiden terakhir, akibat mulut rombeng wanita itu yang mengabarkan jika Vero mati lalu hidup kembali.
“Foto ngapain emang?! Blue rate?!”Jessen yang baru saja masuk ke dalam mobil milik saudara kembarnya lantas mengalihkan tatapan. Kepalanya berputar ke samping kanan sebanyak tiga puluh derajat. “Udah gila lo! Ya nggak-lah!” Jawabnya sedikit tidak santai. Ada kesan marah pada suaranya yang membentak. Jessen mengacak rambutnya. Seharusnya ia menurut akan peringatan Marchellia untuk memasukan foto panas tersebut pada file tersembunyi. Siapa sangka pagi tadi ketika berganti baju Jemima masuk dan menyabotase ponselnya. “Adek lo bener-bener kelakuannya, Yan! Sekarang gue miskin! Motor aja disita sama Papi!”Yah, berkat mulut ember Jemima Husodo, Jessen harus menerima nasibnya. Dirinya dimiskinkan. Seluruh harta berharga yang mendukung ketampanannya diambil kembali oleh Vero dan Stefany. Jessen kini resmi menyandang status gembel anyaran.“Lo penasaran nggak sama fotonya?!” Tawar Jessen. Siapa tahu nanti dirinya memiliki pembela di saat seluruh keluarga menghujatnya. “Gue liatin sini!” Ta