“Foto ngapain emang?! Blue rate?!”Jessen yang baru saja masuk ke dalam mobil milik saudara kembarnya lantas mengalihkan tatapan. Kepalanya berputar ke samping kanan sebanyak tiga puluh derajat. “Udah gila lo! Ya nggak-lah!” Jawabnya sedikit tidak santai. Ada kesan marah pada suaranya yang membentak. Jessen mengacak rambutnya. Seharusnya ia menurut akan peringatan Marchellia untuk memasukan foto panas tersebut pada file tersembunyi. Siapa sangka pagi tadi ketika berganti baju Jemima masuk dan menyabotase ponselnya. “Adek lo bener-bener kelakuannya, Yan! Sekarang gue miskin! Motor aja disita sama Papi!”Yah, berkat mulut ember Jemima Husodo, Jessen harus menerima nasibnya. Dirinya dimiskinkan. Seluruh harta berharga yang mendukung ketampanannya diambil kembali oleh Vero dan Stefany. Jessen kini resmi menyandang status gembel anyaran.“Lo penasaran nggak sama fotonya?!” Tawar Jessen. Siapa tahu nanti dirinya memiliki pembela di saat seluruh keluarga menghujatnya. “Gue liatin sini!” Ta
“Hai Mian..”“Ya,” balas Mian cuek. Ia tidak seperti Jessen yang akan menebarkan senyum pada setiap wanita yang menyapa. Ia mungkin ramah, tapi bukan berarti memberikan kesempatan untuk orang lain menaruh harapan. Baginya hanya ada satu orang gadis yang boleh mendapatkan senyum hangat dari bibir indahnya. Sialnya, sosok itu sekarang sedang tertawa bersama sekumpulan pria. Tangannya yang lentik bahkan tak segan mampir untuk memukul pundak lawan jenisnya.Princess Darmawan.. Gadis nakal yang mencuri hatinya sejak ia masih mengenakan popok di dalam celananya tersebut memang kerap menguji iman. Kadar emosinya tak pernah stabil melihat kelakuan gadis tomboy itu.“Bubuuuy!!”Lihatlah betapa tenangnya tangan yang melambai memanggil namanya itu?! Princess bertingkah seolah-olah dirinya tidak sedang membuat masalah. Dan jujur saja, Mian benci. Ia tidak suka merasakan perasaan yang membakar seluruh hatinya. Sebut saja ia cemburu— karena memang begitulah adanya.Mian berdehem. Pria itu menegakk
“Sakit banget! Bingcit Mian! Gue aduin ke Mami biar ditebas lehernya. Kalau gue nggak bisa produksi cucu lagi gimana!” Jessen merapatkan kaki-kakinya. Rasa ngilu masih bersarang hebat di pusat tubuhnya. “Masih untung Bos cuman ditendang. Kalau gue jadi Mian, gue abisin sekalian lo, Bos!” Pacar mana yang tidak akan mengamuk kalau secara terang-terangan jika pria lain ingin menikung kekasihnya. Dodit yang diberi laporan oleh kakak seniornya tentu mendukung aksi yang Mian lakukan. Sekali-kali Bosnya memang harus diberi pelajaran supaya tidak bertingkah seenaknya. “Diem lo, Dit! Bos lo gue, bukan Mian!” Jessen kembali mengerang kesakitan. Gara-gara Mian ia jadi tidak bisa mengikuti kuis yang dia kan dosennya. Nilainya terancam jelek sekarang. Dosennya yang terkenal galak itu pasti tidak mau memberikan ujian susulan. “Pacar gue udah lo chat belom?” “Nggak berani gue Bos. Pacar lo dosen. Masa iya gue tiba-tiba chat tanpa keperluan.” Jessen menarik bantal di kepalanya lalu melemparkan pa
Ketukan pintu membuat Vero meminta siapapun yang berada di luar ruangannya untuk masuk. Tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptopnya, Vero bisa merasakan siapa orang yang mengganggunya dalam membaca berkas penting perusahaan.“Mas.. Ada telepon dari pihak kampus Mas Jessen.” Vero melepaskan genggamannya dari mouse tanpa kabel miliknya. “Kenapa Fen? Dia berantem sama kakak tingkatnya lagi? Saya nggak mau diganggu sama masalah sepele.” Ujar Vero pada Fendi yang kini telah sepenuhnya beruban.“Kasusnya beda Mas. Mas Vero harus hadir dengan pengacara terbaik kita.” Jessen dan aksi pukul-pukulan memang tidak dapat dipisahkan. Anak itu bernyali besar. Siapa saja yang membuat kesal pasti akan berakhir dengan lebam. Setahu Vero hanya sampai disana. Anak keduanya tidak pernah sampai melumpuhkan lawan sampai keterlaluan. “Sampai masuk rumah sakit? Tutup aja mulut keluarganya. Beginian aja masa kamu nggak bisa handle, Fen.” “Pelecehan seksual, Mas. Ada bukti kuat yang diberikan langsung ke
Masih segar di dalam ingatan Vero kenangan ketika istri tercintanya hamil si kembar. Dunia seakan meniupkan angin surga padanya. Terlebih kala betapa kuatnya dua janin di dalam perut istrinya bertahan di saat-saat tersulitnya yang harus keluar dari rumah untuk mencari jati diri. Belum lagi hari dimana mereka dilahirkan. Meski banyak isak tangis dan tragedi-tragedi di luar kendali, tangisan keduanya bisa meluruhkan segala lelah yang bersarang di pundaknya. Sekarang, mereka sudah besar dengan ulah-ulahnya yang meledakan kepala. Rasanya Vero ingin gila saja. Salah satu rumah sakit jiwa pasti mau menerimanya secara sukarela. “Bisa-bisanya kamu nggak bisa nahan diri, Jessen!! Cari tempat sepi kalau mau ngapa-ngapain anak orang. Jangan yang ada orang banyak apalagi CCTV-nya biar nggak ketahuan!” Vero menarik daun telinga Jessen, “udah gede masa yang begituan aja harus diajarin kamu!” “Papi! Udah berapa kali Jessen bilang. It’s was accident! Semuanya gara-gara Dodit yang nggak becus jadi p
“Mian jalanin mobilnya lagi!” Jeremian Husodo dapat menenangkan pikirannya ketika Papinya membelanya mati-matian dalam kasus pembongkaran aib yang dilakukan oleh saudara kembarnya. Taktik culas Jessen untuk menjeratnya agar ikut dinikahkan tidak berjalan sempurna. Jessen tidak membawa bukti sebagai alat sah dalam mengungkap suatu kebohongan. Jadi selagi tidak ada yang mengetahuinya, katanya terserah saja. Mereka sudah besar untuk bisa menentukan mana yang baik dan buruk.“Ini nggak adil! Kami kembar. Menikahnya juga harusnya samaan!” Setelah tidak berhasil menggunakan cara berpacaran Mian yang diduga terlewat batas, Jessen kini menggunakan kesetaraan hak asasi atas anak kembarnya. “Dikandungnya aja barengan!” “Lahirnya nggak tapi!” Diantara kedua anaknya yang berdebat Vero bergidik. Jawaban Mian yang terlewat cerdas itu membangunkan bulu romanya. “Dokter kandungannya pingsan kalau kalian barengan lewatin itunya Mami!” Sepertinya tidak hanya sang dokter yang dulunya meramalkan Jesse
“Kamu ngelamunin apa?!” Di meja bar, jari-jari Mian bahkan tidak berhenti mengetuk marmer meski gendang telinganya menangkap suara sang kekasih. Pria itu mendongak, sekedar melihat Princess-nya. “Buy..” Tegur Princess karena hanya menemukan senyum simpul. “Papi,” Mian mengambil jeda untuk berpikir– Haruskah ia memberitahukan jika Papinya telah mengetahui gaya berpacaran mereka di luar rumah? Di bangunan milik kakek muda wanitanya?- mengingat Papa sang wanita merupakan adik kembar dari calon mertua Jessen.Pikiran bodoh! Terlalu beresiko! Setiap dinding rumah yang dipijakinya pasti memiliki telinga. Belum lagi setiap kamera pengintai yang pasti terpasang di sudut-sudut ruangan. “Not in here, Buy. Soon as possible, di apart kamu aja.” Princess mendengus. Mian akan berbicara sangat panjang seperti sekarang hanya ketika laki-laki itu marah, cemburu, ada masalah dan terakhir ketika mereka berada di atas ranjang untuk bercinta. “Dasar nggak jelas kamu, Buy!” “Sampai kapan mau ngobrol d
"Mas Mian… Mbak Siti tadi udah suruh orang buat bikinin sarapan buat Mas. Sebentar ya."Siti yang tengah sibuk merangkum belanja bulanan di iPad pemberian Vero berdiri karena anak majikannya ternyata sudah rapi. "Ada kuliah pagi ya hari ini?!" Mian menggeleng. "Mau anter Incess, Mbak. Dia ada bimbingan sama dosennya. Jadi sekalian aja." Kemarin ia tidak bisa mendampingi kekasihnya karena ulah Jessen. Princess pasti akan sangat marah jika hari ini ia kembali melewatkan sesi antar jemput. "Mami, Papi sama yang lain belum bangun?" Jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi, tapi meja makan masih kosong tak berpenghuni. Hidangan juga tidak tersedia di sana. "Jam enam tadi berangkat ke rumah Nyonya Besar, Mas. Bu Mell ngamuk gede kayaknya sampai nyuruh Mami Papi kesana sambil nyeret Mas Jess. Kalau Mbak Mima udah berangkat dianterin supir. Minta roti bakarnya dimasukin kotak bekal aja tadi. Katanya mau dimakan di sekolah."Pantas saja tidak ada teriakan Mi