"Maaf kejadian tadi, ya. Kita jadi tertunda ke rumahmu," ucapku setelah semuanya menjadi tenang. Mamanya pasti menunggu kami sejak tadi pagi."Tidak apa-apa. Tadi aku sempat mengabarkan ke Mama, kalau kita tidak bisa datang pagi. Kita berangkat sekarang?""Iya, berangkat sekarang saja. Sebelum panas. Kasihan Bu Aisyah menunggu kalian," ujar ibu.Kami berangkat menuju rumah Mas Ilham dengan menggunakan motor. Benar dugaanku, sepanjang jalan orang memandang kami. Tak jarang mereka menghentikan aktifitasnya hanya sekedar menyapa kami. Mas Ilham terlihat menikmati itu. Tanganku ditangkup di pinggangnya, dan sesekali dipastikan kembali seperti semula ketika aku menariknya. Dia malah melajukan motor dengan pelan, menebar senyuman dan sapaan ke semua orang yang menatap kami.Aku merasa menjadi tontonan orang sekampung.Setiba di rumahnya, kami langsung disambut Ibu Aisyah. Benar apa yang dikatakannya, Ibu Aisyah cantik, lembut dan baik. Kami langsung digiring ke meja makan dengan hidangan
"Kartika, aku tidak bisa ikut pertemuan. Kamu temani Pak Lurah, ya. Saya ke kantor ada yang harus diselesaikan, kamu tidak marah, kan?" tanya Mas Ilham ketika menjemputku."Aku tidak apa-apa, Pak Lurah bagaimana?""Tadi malam sudah aku telpon. Tidak apa-apa, kok. Yang penting kamu datang karena yang dibahas bidang pertanian. Aku antar kamu sekarang.""Lebih baik aku berangkat dengan rombongan kelurahan," usulku. Karena kalau dia ke kantornya akan mengambil jalan memutar. Tidak efektif."Tidak! Aku harus mengantarmu. Pakde tadi sudah berangkat. Nanti pulangnya, kamu juga aku jemput," tandasnya.Semakin lama aku merasa sikapnya semakin protektif. Kemana-mana harus berdua. Alasan tidak aman, atau sekedar hanya kangen. Awalnya aku merasa senang sih, dilindungi dan dirindukan oleh seseorang seperti Mas Ilham. Walaupun kadang-kadang merasa risih.Dahulu Mas Faiz walaupun sering cemburu, dia tidak seprotektif ini. Aku bisa melaksanakan kegiatanku tanpa dikuntitnya."Di pertemuan nanti kamu
Aku mengikutinya ke panggung diiringi tatapan semua peserta. "Kartika, saya mau bertanya. Kenapa anda bilang kalau kita harus fokus dengan pengolahan hasil pertanian. Kenapa tidak di pemasaran saja yang diperluas?" tanya Pak Pemateri.Ini sebenarnya yang menjadi pemateri siapa sih. Kok sekarang aku yang ditanya? Apa dia tidak suka dengan apa yang aku bicarakan tadi dan sekarang dia membalasku? Tetapi dari ekspresi wajahnya yang tersenyum, tidak menunjukkan hal demikian.Okey, aku tanggapi tantangannya. Aku tarik nafas dalam-dalam kemudian menjawabnya."Pertama, hasil pertanian tidak tahan lama. Pilihannya menjual atau mengolah. Menjual berarti menyerah dengan harga yang rendah. Mengolah berarti kita membutuhkan kreatifitas dan tehnologi. Pemasaran tetap diperluas, tetapi dengan produk yang beragam. Bisa produk yang segar dan bisa juga hasil olahan," terangku. "Kalau sudah tahu solusinya, kenapa tidak dilaksanakan?" tanyanya kembali.Aku menoleh ke arahnya dengan membulatkan mataku,
"Kamu bertemu dimana dengan baj*ngan itu?" Akhirnya, dia mulai bersuara dan dengan nada yang rendah."Dia pemateri di pertemuan tadi. Mas Ilham jangan salah paham. Tadi aku duduk di sini menunggumu dan orang itu datang. Akupun sudah bilang kalau sa ....""Stop! Aku tahu kamu tidak salah. Aku tidak marah dengan kamu, Tika," ucapnya dengan nada mulai lembut.Dia mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku tahu benar siapa baj*ngan itu. Penjahat wanita yang kemana-mana tebar pesona. Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya?" ucapnya dengan geram.Aku semakin heran, kemungkinan mereka pernah bertemu atau, bahkan pernah berurusan. Sikap dan perkataan Mas Ilham seperti punya dendam terhadapnya."Mas ... lebih baik kita pergi. Mencari tempat yang tenang," ucapku. Dia mengangguk dan segera berdiri. Kami menuju tempat dimana dia memarkir mobil, dengan tanganku masih tergenggam erat olehnya."Ilham ...! Tunggu!" Pak Pemateri lagi, dia berlari menghampiri kami, entah apa maunya dia. Mas
"Beri kesempatan aku menjelaskan," ucapnya sambil duduk kembali ke kursi. Disekanya sisa airmata di pipinya.Setelah dia memergoki mereka, Mas Ilham memutuskan tidak berhubungan dengan Elysia lagi. Semenjak itu dia tidak pernah menginjakkan kaki di kantornya, pertama kali ketika bersamaku saat itu. Bahkan dia sempat menghilang di Kalimantan sekedar untuk menenangkan diri. Beruntung dia, pekerjaannya sudah mempunyai sistem dam bisa berjalan tanpa dipantai secara langsung.Setiap sudut kantor selalu mengingatkan akan dia. Bukan ingat akan kenangan manisnya, tetapi ingat akan kenangan buruk dan membuat hatinya semakin sakit. Mengingat penghianatan kekasih dan sahabatnya itu.Keadaannya menjadi lebih baik setelah dia bersamaku. Lambat laun, hatinya penuh dengan namamu. Aku sebagai penghuni satu-satunya. Itu yang dia katakan.Senyuman mulai tercipta dengan sendirinya di wajahku. Hatiku berbunga kembali. Desiran hangat menggelitik ketika dia menatapku"Kartika. Jangan tinggalkan aku. Dalam
Aura kemarahan masih menguar dari wajah Mas Ilham. Berbanding terbalik dengan Pak Daniel yang menebar senyuman.Kami semua berkumpul di pendopo rumah Pak Lurah Jarot. Rumah ini, ada tiga bangunan besar. Khusus rumah paling depan dipakai untuk menerima tamu. Begitu luas, bisa menampung banyak orang, bahkan bisa muat sekitar lima puluh orang.Rombongan Dinas ini, untuk memastikan bahwa desa yang dituju untuk program pengembangan adalah tepat. "Untung kalian ke sini. Saya ada yang menemani menyambut tamu-tamu ini," ucap Pak Lurah.Kami dijelaskan tentang program pemerintah itu. Jenis pengembangan bisa dirumuskan sendiri dari pihak desa berupa proposal. Pengajuan proposal ditujukan ke Dinas yang dibawahi oleh Pak Daniel. Kabar yang menggembirakan sekaligus mengkawatirkan.Sesekali aku melirik raut wajah Mas Ilham yang berusaha senormal mungkin. Lain halnya dengan Pak Daniel, dia begitu semangat menjelaskan secara detail dengan apa yang akan dilakukan. Senyuman selalu menghiasi wajah ber
Ucapanku yang sekedar tadi membuat laki-laki di depanku terdiam dan menatap tajam ke arahku. Seperti ingin mengulitiku dan menelan bulat-bulat saja. "Ada apa?" tanyaku heran menatapnya."Apa yang kamu bilang? Kamu sudah mulai memperhatikan dia? Sampai tahu dia keren, dewasa, pintar dan mapan. Nanti kamu bisa beneran suka kalau sering bertemu dengannya!""Tidaklah. Kan ada kamu, yang selalu jadi satpam!" ucapku sambil tertawa dan dia cemberut lucu."Aku tanya, kamu pernah ngobrol panjang dengan Daniel? Atau, melawan perkataannya? Dia terlihat penasaran denganmu," tanyanya serius.Kalau mengobrol tidak pernah. Interaksi paling lama ketika pertemuan di Dinas. Aku menceritakan kejadian di pertemuan itu, dimana aku harus duduk di panggung menemaninya. Mas Ilham mengangguk seperti mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Kalau kejadiannya seperti itu, aku harus tetap mendampingimu untuk program desa ini. Aku kenal benar siapa Daniel, kami pernah bersahabat, pernah jalan dan berbincang bersam
"Daniel sudah aku beresin! Dia tidak akan mengganggumu lagi," teriak Mas Ilham mengagetkanku. Dia baru kembali setelah lama pergi menelpon Pak Daniel gara-gara meminta fotoku dengan tujuan tidak jelas. Mulai selesai pemotongan sampai tomat hampir selesai direbus. Lama juga dia menelpon."Aduh, aku ketinggalan, ya? Ini direbusnya pakai apa?" tanya Mas Ilham. Dia ambil alih pengaduk panjang yang aku pegang, meneruskan pekerjaanku."Setelah tomat dibersihkan tangkai dalamnya, kemudian direbus pakai air. Tetapi airnya super dikit, ya. Itu cuma untuk memancing air tomat untuk keluar. Nah, sekarang sudah tersisa tomat saja," ucapku menunjuk rebusan tomat yang sudah matang. Kulit tomat mulai terkelupas dengan sendirinya. Aku matikan kompor tetapi Mas Ilham masih mengaduk sampai rebusan tomat tidak terlalu panas. Ini untuk menghindari bau gosong karena panci masih panas."Sekarang, aku ngapain?" "Waktunya rehat. Tunggu dingin baru di juice, memisahkan sari tomat dengan kulit arinya. Sekar