"Daniel sudah aku beresin! Dia tidak akan mengganggumu lagi," teriak Mas Ilham mengagetkanku. Dia baru kembali setelah lama pergi menelpon Pak Daniel gara-gara meminta fotoku dengan tujuan tidak jelas. Mulai selesai pemotongan sampai tomat hampir selesai direbus. Lama juga dia menelpon."Aduh, aku ketinggalan, ya? Ini direbusnya pakai apa?" tanya Mas Ilham. Dia ambil alih pengaduk panjang yang aku pegang, meneruskan pekerjaanku."Setelah tomat dibersihkan tangkai dalamnya, kemudian direbus pakai air. Tetapi airnya super dikit, ya. Itu cuma untuk memancing air tomat untuk keluar. Nah, sekarang sudah tersisa tomat saja," ucapku menunjuk rebusan tomat yang sudah matang. Kulit tomat mulai terkelupas dengan sendirinya. Aku matikan kompor tetapi Mas Ilham masih mengaduk sampai rebusan tomat tidak terlalu panas. Ini untuk menghindari bau gosong karena panci masih panas."Sekarang, aku ngapain?" "Waktunya rehat. Tunggu dingin baru di juice, memisahkan sari tomat dengan kulit arinya. Sekar
"Kartika, kita harus mulai membuat proposal. Daniel tadi sudah mengingatkan. Kita jadi buat proyek agrowisata, kan?" tanya Mas Ilham. Baru saja Pak Lurah menghubunginya, dia memastikan rencana program dinas."Iya agrowisata, khususnya komoditi utama di kampung ini, tomat. Awalnya kita buat lahan percontohan di kebun kelurahan, nanti diikuti petani lainnya. Selain itu, kita harus siapkan apa saja yang akan disajikan ke orang yang datang ke sini," terangku."Kita rangkul pelaku UMKM yang kemarin untuk jual produknya yang disesuaikan dengan produk unggulan kita. Tomat. Memang bisa?" tanya Mas Ilham. Dia memang jago untuk pengembangan bisnis, tetapi tentang tomat, dia masih belum paham."Sangat bisa, Mas. Seperti Mas Kripik kemarin, kita bisa buat produknya yang dicampur tomat. Ada kok. Resepnya. Banyak juga, pilihannya. Nanti aku siapkan dan rekap. Mas Ilham yang susun proposalnya."Seingatku dulu ketika kuliah, pengolahan tomat tidak hanya untuk sambal dan saus. Bisa diolah menjadi pro
Persiapan pernikahan yang dadakan membuat kami semua kalang kabut. Untuk Ibu Aisyah menyerahkan semua ke WO, walaupun kasihan mereka mondar-mandir memastikan semua beres. Tadi pagi sudah ada yang datang ke tempat kami untuk mengukur baju, mereka tinggal mengepaskan saja. Karena baju sudah ada stok. Ibu dari tadi malam sibuk menghubungi sanak keluarga, memberi tahu rencana ini."Ibu, Mas Firman sudah di hubungi?""Sudahlah. Kalau tidak, siapa yang jadi walimu? Mas Firman besuk pagi sampai," ucap ibu, langsung melanjutkan acara telponnya."Assalamualaikum! Mbak Kartika ...!""Waalaikumsalam! Lo, Kang Bejo. Ada apa?" tanyaku melihatnya sudah berdiri di depan pintu."Saya diutus Pak Lurah untuk menjemput Mbak Kartika, ada pertemuan di Balai Desa."Bukannya kemarin, aku tidak boleh datang karena ada Mas Ilham dan kami masih masa pingitan. Aku tidak boleh percaya langsung, walaupun dengan Kang Bejo. Bisa jadi ini akal-akalan Mas Ilham."Benar Mbak Tika. Saya diutus Pak Lurah, bukan Mas Il
"Iya betul yang dikatakan saudari Kartika. Warga desa harus disiapkan atas kedatangan wisatawan dari luar daerah. Dari cara komunikasi, tingkah laku, bahkan bagaimana mereka harus membentengi diri ketika ada yang tidak sesuai," tambah Mas Ilham."Maaf, yang terakhir, kok seperti wisatawan adalah ancaman. Padahal itu kan aset?" tanya Pak Daniel."Betul wisatawan adalah aset yang berharga. Namun bukan berarti kita menyerap habis apa yang dibawa mereka. Jangan sampai budaya kami rusak karena ulah pihak tidak bertanggung jawab. Padahal, yang kita tawarkan sekarang adalah budaya kami ini. Ada batasan tertentu yang harus di hormati wisatawan, dan itu merupakan daya tarik tersendiri," ucapku memberi penjelasan."Mbak Kartika dan Mas Ilham ini kelihatan kompak, ya," kata orang Dinas Pariwisata."Iya ya, lah. Besuk mereka menikah," celetuk salah satu perangkat desa. Diikuti pertanyaan-pertanyaan seputar kami.Aduh, bakalan jadi bulan-bulanan."Bapak dan Ibu terhormat, Ilham ini keponakan saya.
Pagi-pagi, aku sudah diculik team perias pengantin. Rombongan keluargaku, Ibu, Mas Firman dan sanak keluarga akan menyusul kemudian.Masuk di halaman rumah Bu Aisyah, semua kru terlihat sibuk. Mereka memasang tenda, penjor-penjor dan di sudut sana sudah ada mobil penuh dengan bunga menunggu gilirannya. Luar biasa kerja mereka cepat dan rapi. Aku diarahkan ke ruangan khusus merias pengantin wanita. Entah, dimana Mas Ilham berada. Semua membisu ketika aku mengajukan pertanyaan.“Sebelum sah tidak boleh bertemu dulu, Neng. Sudah kangen?” ledek mereka, sukses membuat pipi ini menghangat.Pukul sepuluh pagi acara akad nikah dan dilanjutkan resepsi setelah waktu Duhur. Kami sudah sepakat untuk melaksanakan acara sederhana, walaupun tetap persiapan apabila tamu membludak. Maklumlah, walaupun Mas Ilham pendatang, tetapi dia kerabat Pak Lurah Jarot."Pantesan Mas Ilham pingin buru-buru sah. Neng Kartika cantik," kata Mbak Perias."Mbak, jangan menor, ya. Yang sederhana saja," pintaku. Aku t
"Mbak Kartika dan Mas Ilham ada waktu sekitar satu jam, setelah itu dilanjutkan acara resepsi," ucap Mbak Perias sebelum meninggalkan kami di depan pintu kamar yang sudah disiapkan. Kamar tamu yang dirombak menjadi kamar kami.Tanganku diraihnya sebelum membuka pintu yang bertuliskan,HAPPY WEDDINGKartika & IlhamBerlahan didorong pintu itu, bau harum menyeruak menyambut kami. Ruangan ini dirombak menjadi indah sekali. Tiang ranjang di hias kain-kain putih transparan dengan rangkaian bunya lily dan mawar putih dibeberapa tempat. Ranjang ditutup kain putih dengan renda-renda. Kelopak mawar bertebaran di atasnya. Pipiku seketika memanas, menyadari apa yang akan terjadi di sana. Terasa gugup, walaupun itu bukan yang pertama untukku."Suka?" tanya Mas Ilham. Aku berpaling ke arahnya, mengangguk dan tersenyum."Cantik ...." "Iya, penataannya cantik. Aku suka.""Bukan itu. Kamu yang cantik."Terhenyak aku dibuatnya. Bukan karena kata-kata gombalnya. Bisikan dan nafas hangatnya yang sudah
Resepsi digelar dengan sederhana dan penuh kekeluargaan. Walaupun begitu, seluruh penduduk kampung datang memberikan selamat. Sungguh, tangan kami sampai pegal di buatnya. ***Pagi yang indah, dibangun tidurku sudah ada seseorang yang menemaniku. Aku terbangun dalam dekapan hangatnya, Mas Ilham. Dia sudah menjadi suamiku.Aku beringsut menjauh darinya, tetapi tertahan dengan tarikan tangannya."Mas ...""Hmmm .... Jangan pergi," ucapnya dengan mata masih tertutup. Dekapannya semakin erat, terasa hirupan hidungnya di pucuk kepalaku."Aku mau mandi dan salat Subuh. Ayo kita bangun," bisikku dengan memainkan kancing piyamanya. "Lima menit. Aku ingin memastikan kalau ini bukan mimpi!" bisiknya dengan tersenyum dan membenamkan kepala ini ke dalam pelukannya. Detakan jantungnya terasa jelas terdengar seiring dengan desiran hatiku yang semakin keras. Terasa indah dan nyaman.Tadi malam, kami menerima tamu sampai tengah malam, tidak henti-hentinya tamu berdatangan. Teman-teman Mas Ilham dar
"Maaf, Ma. Saya baru keluar," ucapku mendekati Mama Aisyah yang menyiapkan makan siang. Malu rasanya, hari pertama di rumah mertua, keluar kamar di siang hari.Rumah bersih dan tertata rapi, hanya tersisa beberapa peti milik WO yang belum di ambil. Kerja mereka sangat cepat, teratur dan rapi."Kartika, Mama mengerti lah. Sudah biar Mama yang siapkan makanan. Pasti kamu capek, duduk saja," ucap Mama Aisyah tersenyum penuh arti dan mendorongku ke kursi makan."Kamu diam saja di sini. Ilham pasti membuatmu kecapekan, kan. Ini di minum, ya."Mama Aisyah menyodorkan minuman hangat kepadaku. Aku langsung meminumnya, air putih hangat dengan madu untuk rasa manisnya."Terima kasih, Ma.""Mamaku, Sayang!" teriak Mas Ilham memeluk Mamanya, dibalas dengan acak lembut di rambut basahnya.Kami makan bertiga, sup kacang merah dengan irisan daging dan sayuran yang disiapkan Mama Aisyah. Bumbu pala dan merica terasa dominan, membuat badan ini segar kembali. "Kartika, tambah lagi supnya. Tidak usah