Pagi-pagi, aku sudah diculik team perias pengantin. Rombongan keluargaku, Ibu, Mas Firman dan sanak keluarga akan menyusul kemudian.Masuk di halaman rumah Bu Aisyah, semua kru terlihat sibuk. Mereka memasang tenda, penjor-penjor dan di sudut sana sudah ada mobil penuh dengan bunga menunggu gilirannya. Luar biasa kerja mereka cepat dan rapi. Aku diarahkan ke ruangan khusus merias pengantin wanita. Entah, dimana Mas Ilham berada. Semua membisu ketika aku mengajukan pertanyaan.“Sebelum sah tidak boleh bertemu dulu, Neng. Sudah kangen?” ledek mereka, sukses membuat pipi ini menghangat.Pukul sepuluh pagi acara akad nikah dan dilanjutkan resepsi setelah waktu Duhur. Kami sudah sepakat untuk melaksanakan acara sederhana, walaupun tetap persiapan apabila tamu membludak. Maklumlah, walaupun Mas Ilham pendatang, tetapi dia kerabat Pak Lurah Jarot."Pantesan Mas Ilham pingin buru-buru sah. Neng Kartika cantik," kata Mbak Perias."Mbak, jangan menor, ya. Yang sederhana saja," pintaku. Aku t
"Mbak Kartika dan Mas Ilham ada waktu sekitar satu jam, setelah itu dilanjutkan acara resepsi," ucap Mbak Perias sebelum meninggalkan kami di depan pintu kamar yang sudah disiapkan. Kamar tamu yang dirombak menjadi kamar kami.Tanganku diraihnya sebelum membuka pintu yang bertuliskan,HAPPY WEDDINGKartika & IlhamBerlahan didorong pintu itu, bau harum menyeruak menyambut kami. Ruangan ini dirombak menjadi indah sekali. Tiang ranjang di hias kain-kain putih transparan dengan rangkaian bunya lily dan mawar putih dibeberapa tempat. Ranjang ditutup kain putih dengan renda-renda. Kelopak mawar bertebaran di atasnya. Pipiku seketika memanas, menyadari apa yang akan terjadi di sana. Terasa gugup, walaupun itu bukan yang pertama untukku."Suka?" tanya Mas Ilham. Aku berpaling ke arahnya, mengangguk dan tersenyum."Cantik ...." "Iya, penataannya cantik. Aku suka.""Bukan itu. Kamu yang cantik."Terhenyak aku dibuatnya. Bukan karena kata-kata gombalnya. Bisikan dan nafas hangatnya yang sudah
Resepsi digelar dengan sederhana dan penuh kekeluargaan. Walaupun begitu, seluruh penduduk kampung datang memberikan selamat. Sungguh, tangan kami sampai pegal di buatnya. ***Pagi yang indah, dibangun tidurku sudah ada seseorang yang menemaniku. Aku terbangun dalam dekapan hangatnya, Mas Ilham. Dia sudah menjadi suamiku.Aku beringsut menjauh darinya, tetapi tertahan dengan tarikan tangannya."Mas ...""Hmmm .... Jangan pergi," ucapnya dengan mata masih tertutup. Dekapannya semakin erat, terasa hirupan hidungnya di pucuk kepalaku."Aku mau mandi dan salat Subuh. Ayo kita bangun," bisikku dengan memainkan kancing piyamanya. "Lima menit. Aku ingin memastikan kalau ini bukan mimpi!" bisiknya dengan tersenyum dan membenamkan kepala ini ke dalam pelukannya. Detakan jantungnya terasa jelas terdengar seiring dengan desiran hatiku yang semakin keras. Terasa indah dan nyaman.Tadi malam, kami menerima tamu sampai tengah malam, tidak henti-hentinya tamu berdatangan. Teman-teman Mas Ilham dar
"Maaf, Ma. Saya baru keluar," ucapku mendekati Mama Aisyah yang menyiapkan makan siang. Malu rasanya, hari pertama di rumah mertua, keluar kamar di siang hari.Rumah bersih dan tertata rapi, hanya tersisa beberapa peti milik WO yang belum di ambil. Kerja mereka sangat cepat, teratur dan rapi."Kartika, Mama mengerti lah. Sudah biar Mama yang siapkan makanan. Pasti kamu capek, duduk saja," ucap Mama Aisyah tersenyum penuh arti dan mendorongku ke kursi makan."Kamu diam saja di sini. Ilham pasti membuatmu kecapekan, kan. Ini di minum, ya."Mama Aisyah menyodorkan minuman hangat kepadaku. Aku langsung meminumnya, air putih hangat dengan madu untuk rasa manisnya."Terima kasih, Ma.""Mamaku, Sayang!" teriak Mas Ilham memeluk Mamanya, dibalas dengan acak lembut di rambut basahnya.Kami makan bertiga, sup kacang merah dengan irisan daging dan sayuran yang disiapkan Mama Aisyah. Bumbu pala dan merica terasa dominan, membuat badan ini segar kembali. "Kartika, tambah lagi supnya. Tidak usah
"Bisa kamu jelaskan apa hubunganmu dengan dia?" Mas Ilham melihatnya, kemudian menatap kembali ke Mas Firman. Aku melihat mereka bergantian mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Kamu ingat janjimu kepadaku, kan?" tanya Mas Firman menatapnya tajam."Pasti! Saya tidak akan pernah ingkar janji. Mas Firman ingin penjelasan tentang Pak Wardoyo Wijaya, pemilik Two Double U Group?" tanya Mas Ilham dengan menatap balik Mas Firman. Two Double U Group, yang tertulis dengan 2W Group yang tercantum di bawah foto tadi.Mas Ilham menarik nafas dalam dengan masih menghadap ke Mas Firman yang terlihat tegang. "Saya dulu calon menantu Pak Wardoyo Wijaya," jawab Mas Ilham mengagetkan kami, terutama Mas Firman yang menatapnya lekat.Mas Ilham bercerita, dulu dia pernah menjuarai kompetisi bisnis yang di sponsori oleh 2W Group. Sejak itu, Mas Ilham menjadi perhatian Pak Wardoyo. Mereka selalu bersama di setiap waktu luang. Pembawaan Mas Ilham yang gampang bergaul dan perhatian terhadap orang tua
Berpisah dengannya, tidak hanya kehilangan kekasih dan sahabat, aku juga kehilangan sosok yang sudah seperti ayahku sendiri. Pak Wardoyo Salim, Papa Elysia. "Ilham, kamu sudah bukan calon menantuku. Kamu adalah anak lelakiku. Aku sudah tidak sabar hari itu tiba, ketika kalian sudah sah menikah. Aku ingin berbagi tanggung jawab di perusahaan ini," ucap Pak Wardoyo saat itu. Beliau tidak mempunyai anak laki-laki, pertemuan kami semakin erat dengan ikatan perasaan. Beliau membutuhkan teman, dan aku merindukan sosok ayah. Seringkali Elysia cemburu karena pendapatku lebih diperhatikan daripada keinginannya. Pak Wardoyo tidak terima dengan perpisahan kami. Marahnya menimbulkan lontaran kata-kata yang mengusik harga diri seorang laki-laki. "Ilham, berapa saya harus kasih saham perusahaan untukmu? Agar kamu mau menikahi Elysia?" ucapnya saat itu. Aku terhenyak mendengarnya, aku merasa sebuah barang yang bisa diukur dengan materi. "Maaf. Saya tidak bisa. Elysia pasti akan bahagia dan itu
Kami sudah tiba di Balai Desa. Setelah menyerahkan proposal ke Pak Lurah, Kak Bejo sebagai utusan langsung berangkat ke kota. Penyerahan proposal terakhir di hari ini, setelah itu akan turun anggaran dana dari pemerintah."Sambil menunggu dana turun, kita siapkan semuanya. Lahan dan masyarakat kita. Ini menunjukkan keseriusan kita. Jangan apa-apa nunggu pemerintah," ujar Pak Lurah."Iya betul, masyarakat harus merasa ini adalah 'gawe' kita. Pemerintah sekedar membantu saja. Nanti saya yang isi materi ini, kan?" kata Mas Ilham. Dia sudah siap untuk brain wash masyarakat di sini. Untuk hal ini, dia jagonya."Untuk kamu Tika, lahan sudah di siapkan. Kamu bicara langsung dengan ketua kelompok tani, sekarang dipegang Pak Yanto. Juga prodak apa saja yang akan dikembangkan," tambah Pak Lurah."Ketua karang taruna di sini, Pak Bambang guru olah raga itu?" tanya Mas Ilham sambil menyerngitkan dahi."Tidak ada yang lain?" tambahnya."Iya. Bambang itu, yang pernah tak kenalin dulu itu, lo. Ingat
"Mas Ilham, giliranmu!" ucapku setelah namanya dipanggil Pak Lurah.Dia langsung berdiri, merapikan bajunya dan berjalan ke depan. Sebelum mulai, dia menyebar senyum lebarnya dan tertahan sejenak ke arahku. Aku mengacungkan jempol dan tersenyum memberi semangat kepadanya. Lama-lama aku ketularan gokilnya dia, ya. "Salam semangat semuanya!" teriak Mas Ilham dengan peserta masih terpaku menatapnya. Untuk sesi ini, peserta seluruh undangan datang. Tidak sepertiku yang hanya di kelompok tani saja. "Aduh kok masih lemas, ya. Kami saja yang pengantin baru saja sudah semangat! Semangaaat ...!" "Semangaaaatt ...!" teriak semua yang hadir dan berakhir gelak tawa mereka. Mas Ilham memang pintar membuka sesi dengan memaksa peserta untuk fokus dengan yang dia katakan. Kalau sudah di depan seperti ini, Mas Ilham yang kolokan, manja dan gokil hilang. Tergantikan sosok yang karismatik, aku tersenyum bangga melihatnya.Dia langsung menjabarkan tentang program agro wisata ini. Pelan, jelas dan mud