Bab 57Pak Gunawan masuk ke dalam ruangannya setelah beberapa jam meninggalkan kantor. Matanya memicing melihat sang putra sudah tertidur di atas sofa yang terletak di sudut ruangan.Urung melangkah menuju meja kerjanya, Pak Gunawan berhenti di dekat sofa itu. Ia meletakkan beberapa barangnya di atas meja, lalu duduk tak jauh dari tempat Abi terbaring."Sakit tadi cuma alasan berarti?" Suara Pak Gunawan seketika membuat Abi yang baru saja terlelap langsung tersentak. Ia bangkit tanpa persiapan. Matanya mengerjap, mengumpulkan kesadaran untuk menghadap orang tuanya."Pa," sapa Abi sambil meraup wajahnya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk."Sedang apa kamu?""Aku ... Emm ... Aku mau bicara sama Papa," ucap Abi terbata.Pak Gunawan menatap sang putra dengan tatapan menelisik. Tak biasanya sang putra bersikap seperti ini. Rasa cemas bercampur rasa bersalah membuat sikap Abi berbeda."Katakan, apa yang mau kamu
Bab 58"Sayang," panggil Bu Rumaisha lagi. Setelah beberapa saat ia berhenti bercerita Abi tak kunjung merespon.Abi tersentak dari lamunan. "Iya, Ma.""Rina kemana?"Abi tercengang dengan pertanyaan mamanya. Bagaimana jika mamanya tahu akan kepergian Nisrina yang tiba-tiba."Bi, kamu masih di sana kan?" tanya Bu Rumaisha lagi."Iya, Ma. Abi masih di sini.""Nisrina kemana, Sayang?""Rina? Emm ... Anu ... Dia lagi ... Emm ... Tadi baterai ponselnya lowbat, Ma. Mungkin ponselnya sudah kehabisan daya."Bu Rumaisha terdiam sejenak. Ia merasa ada yang tidak beres dengan putranya."Baiklah kalau gitu. Mungkin besok atau lain kali," ucap Bu Rumaisha sebelum menutup panggilannya.Abi lega seketika. Ia melempar ponselnya di atas kursi samping, lalu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sambil memijat keningnya yang terasa nyeri."Kemana kamu, Rin?" gumam Abi.Helaan napas berat keluar dari bibir Abi. Semuanya jadi rumit karena tingkahnya. Perbuatannya yang asal itu menyebabkan keadaan maki
Bab 59Hari terus berlalu, hingga genap sebulan kepergian Nisrina. Kini Abi sudah kembali ke rumah kedua orang tuanya. Ia kembali mengurung diri. Rasa menyesal bercampur rasa kehilangan membuatnya merasa tak berarti menjadi manusia, terlebih sebagai seorang suami.Seharusnya Abisatya menyentuh istrinya dengan cinta dan kasih yang penuh kelembutan, bukan dengan buas tanpa ampun, apalagi cinta."Sayang, sudah jangan begini," ucap Bu Rumaisha yang turut sedih akan apa yang menimpa putranya.Abi bersikukuh untuk diam, tidak mau bercerita apa yang menyebabkan dirinya jadi seperti ini. Mulutnya bungkam. Setiap ditanya orang lain, ia hanya diam membisu meskipun dalam hatinya sedang bergelut dengan rasa bersalah."Papa sudah bantu cari Nisrina. Kamu jangan khawatir, ngga lama lagi pasti akan ketemu," ucap Bu Rumaisha berusaha meyakinkan putranya. Tangannya mengusap pucuk kepala Abisatya dengan pandangan yang penuh dengan kabut kesedihan."Abi salah, Ma. Abi yang sudah membuat Nisrina pergi. A
Bab 60"Rin," panggil Abi keras.Sayangnya, perempuan yang dimaksud sudah masuk ke dalam angkutan umum yang baru saja melaju.Abi melempar tangannya ke udara. Rasa penasarannya kian tinggi, apakah benar perempuan tadi adalah Nisrina. "Kenapa, Bi?" tanya Pak Gunawan merasa aneh dengan tingkah putranya. "Kamu lihat Nisrina?"Abi menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. "Sepertinya. Abi yakin itu Nisrina.""Belum dilihat secara jelas, mungkin itu hanya pikiran kamu aja yang lagi kangen sama dia. Semua orang kamu kira mirip istrimu. Sudah sana masuk, cari yang mau dibeli," titah Pak Gunawan lagi.Abi mengangguk. Ia lantas masuk ke minimarket untuk membeli sesuatu.Selepas mendapatkan apa yang dibutuhkan, Abi kembali melanjutkan perjalanannya yang kurang separuh. Ia sudah tak sabar untuk pindah di tempatnya yang baru dan suasana baru.Sebuah desa di lereng gunung menjadi tempat yang dituju oleh Abisatya. Di sana terdapat pabrik yang belum lama didirikan tapi memiliki karyawan yang cukup
Bab 61Nisrina tercengang mendengar pertanyaan dokter. Kepalanya sedang mengingat kapan terakhir kali datang bulan.Malam itu. Ya, malam itu Nisrina baru saja bersih dari menstruasi. Dan tepat hari ini, sudah lebih dari satu minggu ia tak mendapatkannya lagi."Bu," panggil dokter itu saat Nisrina hanya diam melamun.Mata Nisrina mendadak terasa panas. Ia tahu kemana arah pertanyaan dokter itu dan hal itu adalah hal yang paling ditakutkannya."I-iya, Dok?" jawab Nisrina tergagap."Kapan terakhir kali menstruasi? Dari tanda-tanda yang Ibu sebutkan, seperti mengarah ke tanda-tanda kehamilan. Apa ibu mau kita tes saja?" tanya dokter itu lagi.Nisrina mengerjapkan matanya. Ia mengangguk dengan cepat. "Boleh, Dok. Biar sekalian jelas di sini," jawab Nisrina itu.Dokter pun bangkit dari duduknya. Ia mengambil alat tes kehamilan dalam lemari yang ada di dekat ranjang tempatnya memeriksa Nisrina."Ibu ke kamar mandi dulu, bawa alat ini." Dokter memberi Nisrina sebuah alat serta botol kecil unt
Bab 62Bian mengajak Nisrina keluar dari dalam mobilnya. Ia membawa mantan kekasihnya itu ke atas trotoar yang di atasnya terdapat kursi besi panjang.Lebih nyaman bicara di luar dari pada di dalam mobil yang hanya ada mereka berdua saja."Kita bicara di sini ya?" ucap Bian setelah keduanya berada di luar mobil.Nisrina mengangguk. Ia segera duduk sebelum diminta oleh Bian. Perempuan yang sedang hamil muda itu duduk menunduk, menutup mukanya dengan kedua telapak tangan."Pergi saja, Mas. Nanti istrimu tahu," usir Nisrina. Ia tahu bagaimana Ratih dan tak mau keadaan ini membuat rasa benci Ratih kian dalam padanya."Hey kamu lupa kita berada di mana? Ini kota yang jauh dari tempat tinggal kita," balas Bian, yang seketika mengembalikan kesadaran Nisrina.Nisrina mengarahkan pandangannya pada sosok yang ada di sampingnya. Sorot mata penuh tanya itu terpancar dari mata Nisrina yang sayu. "Lalu, Mas sedang apa di sini?""Mas harus mengantar staf kembali ke gerai setelah ada training produk
Bab 63"Nak? Kok diem? Barangkali butuh bantuan, bilang saja. Itu nanas segitu banyak mau diapain? Biar Ibu bantu," tanya Bu Rahmi lagi sebab Nisrina hanya diam. Wanita paruh baya itu melangkah kian dekat ke arah Nisrina."Ah tidak kok, Bu. Ini ... Emm ... Mau dibuat ... Emm ... Mau dibuat selai," balas Nisrina tergagap. Ia melihat ke arah kantong yang sedang dibawanya. Tumpukan nanas dalam kantong itu membuat tenggorokan Nisrina tercekat."Selai?" Dahi Bu Rahmi mengerut dengan tatapan penuh tanya. "Mau buat kue?"Nisrina membelalakkan mata sebab kaget dengan jawaban Bu Rahmi yang sama sekali tak ada dalam pikirannya."Iya, Rina mau praktek buat selai," jawab Nisrina. Ia melihat wajah Bu Rahmi yang masih tampak tak percaya. "Barangkali gagal, bisa ulang dari awal. Makanya Rina beli banyak buat stok," sambung Rina lagi agar Bu Rahmi percaya.Kepala Bu Rahmi manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu. Barangkali butuh bantuan bilang saja ya? Jangan sungkan. Ibu nganggur di rumah, kalau kam
Bab 64"Rin," panggil Bu Rahmi sambil mengetuk pintu rumah. "Gimana selainya? Sudah matang?"Namun tak ada sahutan di dalam rumah. Hening. "Rin," panggil Bu Rahmi lagi. Ia tak melihat Rina keluar dari rumahnya sejak berjumpa beberapa waktu lalu."Masak keluar sih? Tapi aku ngga lihat," ucap Bu Rahmi yang sejak tadi hanya duduk di ruang tamu menunggu sang suami pulang berdagang.Urung masuk, Bu Rahmi membalikkan badannya. "Kenapa, Bu?" Pak Mahfudz merasa aneh dengan sikap istrinya. "Ngga jadi masuk?""Ngga ada suara, Pak. Tapi Ibu ngga lihat Nak Rina keluar dari rumah.""Lagi di belakang mungkin, Bu.""Dari tadi rumahnya sepi lo, Pak. Kayak ngga ada penghuninya padahal tadi bilangnya mau bikin selai. Mana Ibu ngga dengar suara blender bunyi.""Tidur mungkin, Bu." Pak Mahfudz menjawab dengan kemungkinan-kemungkinan yang terlintas di kepalanya."Nak Rina itu gampang dibanguninnya, Pak. Diketuk sekali juga dia pasti bangun. Kok Ibu mendadak khawatir ya, Pak?" Bu Rahmi mulai cemas.Pak M
Bab 87Abi benar-benar mengantar Nisirina pulang. Ia merasa tak mampu menahan wanita itu untuk menuruti keinginannya setelah permintaan maaf yang dia ucapkan.Sebagai seorang suami, Abi merasa gagal. Semakin merasa gagal lagi setelah melihat respon Nisrina usai ia meminta maaf.Sebuah pesan dikirim Nisirina untuk seseorang. Ia pun menahan bibirnya untuk tidak banyak bicara di dalam mobil. Rencananya berhasil membuat Abi merasa menjadi orang yang telah abai pada tanggung jawab.Sebagai lelaki, Nisrina mau Abi gentleman. Sebentar lagi ia akan memasuki babak baru dalam hidupnya. Apa jadinya seperti kepala keluarga jika selalu mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah. Nisrina wanita yang mandiri dan tegas. Ia mau lelaki yang menjadi suaminya adalah lelaki yang tegas, berwibawa dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sayangnya, suami yang ia dapatkan jauh berbeda dari apa yang ia inginkan.Setibanya di rumah Nisrina, tampak banyak orang yang berada di rumah itu."Kok rumah
Bab 86Bu Rumaisha seketika menoleh setelah mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Senyum sumringah seketika terkembang di wajahnya yang masih tampak cantik meski termakan usia."Duduk sini, Nak. Mama sudah pesan makanan buat kamu," titah Bu Rumaisha sambil menepuk kursi yang ada di sisi meja sebelahnya.Wajah milik Abisatya itu seketika berubah canggung. Ia kepayahan mengatur napas yang memburu bercampur kaget karena pemandangan di depannya."Iya, Ma," ucap Abi salah tingkah. Ia canggung duduk di sisi Nisrina yang langsung menunduk setelah pandangan mereka bersitatap."Kapan jadwal kamu periksa, Sayang?" tanya Bu Rumaisha pada Nisrina yang tak kalah salah tingkahnya."Sebelum balik kemarin udah periksa, Ma. Tapi kayaknya harus cari dokter lagi di sini buat persiapan lahiran beberapa bulan lagi.""Waah nanti kabari Mama ya? Mama pengen antar kamu. Mama pengen tahu gimana wajah cucu Mama itu. Ganteng apa cantik.""Selama periksa Nisrina ngga pernah tanya, Ma. Biar jadi s
Bab 85"Masya Allah anakku," teriak Bu Rumaisha saat melihat wanita hamil yang ada di depannya. Ia merentangkan tangannya untuk memeluk menantunya itu.Tangis Nisrina pecah seketika. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya kesepian dan merasa butuh pelukan keluarga. Bu Rahmi sudah melakukannya, tapi tentu beda dengan mereka yang sudah kenal lebih lama dan terikat tali pernikahan seperti Abi dan keluarganya."Mama, maafkan Rina," ucap Rina dalam pelukan Bu Rumaisha."Enggak, Nak. Kamu ngga salah. Abi yang salah. Tapi tenang, Mama sudah marahi dia. Sudah Mama hajar dia sampai kapok," balas Bu Rumaisha dengan tegas dan mantap."Mama hajar Mas Abi?" tanya Rina mengulang ucapan mertuanya. Kepalanya mendongak, menatap wajah yang sedang berbicara itu untuk mendapatkan kejelasan.Ekor mata Bu Rumaisha melirik ke arah laki-laki paruh baya di sampingnya. "Itu, dia yang hajar sampai berdarah wajahnya.""Papa hajar Mas Abi?" tanya Rina setelah pandangannya mengikuti arah mata Bu Ru
Bab 84Nisrina sedang bersiap untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan rumah itu tanpa penghuni. Ia tak lagi mendapatkan alasan untuk menghindar dari orang-orang di masa lalunya. Akan tetapi, untuk kembali ke rumah Abisatya itu tak mungkin dilakukan sebab hubungan keduanya masih terbilang panas."Kamu jadi pergi, Nak?" Bu Rahmi menghampiri Nisrina di ruang tengah. Nisrina yang sedang duduk sambil memegang ponsel seketika mendongak, melihat sosok yang baru saja datang ke rumahnya."Jadi, Bu. Rina harus kembali. Tidak mungkin Nisrina selamanya ada di sini, toh badan Rina sudah sehat. Mbak Nur saya ajak ikut pulang tapi beliau tidak bisa.""Nur masih ada keluarga di sini. Ngga bisa pergi begitu saja.""Iya, Bu. Rina paham.""Ibu pasti akan merindukanmu, Nak," sahut Bu Rahmi dengan tatapan sendu. Ia lantas duduk di samping Nisrina yang sudah lebih dulu menggeser badannya."Ibu ngga ikut antar Rina?" tanya Nisrina saat perempuan paruh baya itu sudah du
Bab 83Bu Rumaisha tak sengaja menemukan story Nisrina yang baru saja di posting itu. Dengan penuh semangat, beliau membukanya untuk melihat apa yang dibagi menantunya setelah sekian lama tak sapat dihubungi.Sebuah video yang menampakkan perut besar Nisrina yang sedang bergerak-gerak membuat Bu Rumaisha tersenyum penuh rasa haru."Pa, bangun, Pa!" bisik Bu Rumaisha tak sabaran. Ia menepuk-nepuk pundak suaminya untuk menunjukkan video tersebut."Apaan sih, Ma! Papa ngantuk!" elak Pak Gunawan menepis tangan Bu Rumaisha agar tak mengganggu tidurnya."Pa, lihatlah. Kita akan punya cucu, Pa!" Bu Rumaisha tak putus asa untuk membangunkan sang suami."Abi juga sudah bilang kemarin. Menantumu saja pergi dan menghilang, bagaimana kita bisa ketemu sama dia." Pak Gunawan kembali memejamkan matanya."Tapi ini story di nomor yang lama, Pa. Kayaknya sudah aktif lagi. Coba lihat dulu," ucap Bu Rumaisha makin memaksa.Tak punya pilihan lain, Pak Gunawan pun mengubah posisi tidurnya. Ia melihat layar
Bab 82Nisrina menatap geram wajah yang sedang ada di depannya. Ia tak menyangka jika kebaikannya dianggap seolah membuka celah untuknya bisa kembali dekat."Rin!" panggil Bian saat Nisrina berlari menjauh dari hadapan laki-laki itu.Tak peduli suara teriakan Bian, Nisrina berlari menuju sebuah angkutan umum yang tak sengaja berhenti tak jauh dari rumahnya."Cepat berangkat, Pak!" titah Nisrina setelah ia duduk di atas kendaraan roda empat itu.Nisrina kepayahan mengatur napas. Bahunya naik turun sebab ritme jantungnya tak tak beraturan. Dalam hati Nisrina merasa kesal pada Bian. Ia merasa telah kecolongan terhadap lelaki yang ia kira bisa dijadikan teman baik.Beberapa saat setelah duduk, perut Nisrina terasa nyeri. Tak biasanya ia merasakan nyeri yang hebat seperti itu.Sekuat tenaga Nisrina berusaha menahan rasa nyeri di perutnya itu hingga suara teriakan orang yang duduk di depannya membuat Nisrina terkaget."Mbak, di kakinya ada darah," ucap seorang wanita berhijab.Nisrina refle
Bab 81Hati Nisrina bak diiris sembilu membaca pesan yang dikirim oleh Abisatya. Tak mau membalas pesan itu, Nisrina lebih memilih diam dan menangis dalam diam. Bagaimana pun dia salah karena terlalu keras pada Abi."Maafkan aku, Mas. Aku terlalu keras padamu," gumam Nisrina sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi wajah.Nisrina tenggelam dalam tangisnya hingga matanya terlelap. Badan yang letih itu tak lagi sanggup menopang bobot tubuhnya yang sekarang mudah sekali terasa letih.Keesokan harinya, Nisrina bersiap hendak memeriksakan diri. Janin dalam rahimnya sudah diajak bepergian dan menghabiskan waktu banyak di perjalanan beberapa hari lalu. Ia harus memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun. Terlebih sebentar lagi, ia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya dan membutuhkan tenaga yang fit untuk membawa beberapa baju dan barang bawaan."Pagi sekali sudah rapi, Nak? Mau kemana?" tanya Bu Rahmi ketika sedang menyapu halaman. Ia meletakkan sapunya d
Bab 80Nisrina tersedu dalam pelukan Bu Rahmi. Ia tak kuasa menahan rasa sesal yang kian menambah dalam luka di hatinya. Selama ini, perempuan yang sedang hamil muda itu terlalu menuruti egonya hingga kini ia terjerembab dalam penyesalan yang membuatnya tak henti menitikkan air mata."Tidak apa-apa kamu merasa bersalah. Yang penting setelah ini kamu mau berubah menjadi lebih baik. Bagaimana pun dia bapak dari anakmu, yang masih memiliki hak atas dirimu dan bayi dalam kandunganmu.""Tapi Rina takut, Bu. Rina sudah terlalu kasar padanya kemarin. Wajah Mas Abi yang semula mengiba, saat kami berpisah berubah menjadi penuh emosi." Nisrina memejamkan matanya, mengingat kembali urat-urat yang makin tercetak tebal di leher Abisatya."Kalau begitu datangi dia, minta maaf padanya," sambung Bu Rahmi lagi.Rina seketika mendongakkan kepalanya, lalu mengurai pelukan dari wanita paruh baya yang sedang menasehatinya itu. "Rina takut, Bu. Rina takut."Air mata Nisrina makin deras membanjiri wajahnya.
Bab 79Abi kembali ke rumah dengan kondisi hati dan pikiran yang tak baik. Harapannya bisa kembali bersama sang istri seketika lenyap setelah mendengar penolakan Nisrina yang keras itu.Ucapan Nisrina itu, bak tombak yang menancap tepat sasaran. Nyeri, perih dan terasa tak berarti sebagai seorang lelaki.Mobil yang ditumpangi Abi itu melaju dengan kencangnya. Tak peduli dengan kendaraan lainnya, Abi terus memacu mobilnya dengan kecepatan yang tak biasanya.Setibanya di rumah yang lama tak ditempati, Abi membawa masuk beberapa botol minuman yang sudah dibelinya di luar. Ia tak mau mengambil resiko seperti yang kemarin. Lelaki yang sedang hancur itu butuh sesuatu untuk melampiaskan amarahnya.Abi memilih melampiaskan emosinya dengan menenggak minuman kerasnya di rumah. Tak peduli soal halal dan haramnya, Abi terus menikmati minuman yang melenakan itu dengan hati yang penuh emosi. Padahal tak ada manfaat dari minuman itu sekalipun hanya sedikit.Kadang bibir Abi itu berteriak sambil mena