REVISI
Semalaman Arumi tak bisa tidur, air matanya tak jua berhenti membasahi wajah Arumi, sehingga matanya sudah tampak bengkak akibat kelamaan menangis. Afif semalam tak pulang ke rumah, Arumi mengerti jika semalam adalah malam pertama mereka dan saat membayangkan semua itu hatinya menjerit, meronta, meraung-raung agar waktu bisa diulang kembali. Bahkan jika mengikuti bisikan setan, Arumi pasti sudah mendatangi rumah mertuanya itu dan mengacaukan semuanya sehingga malam pertama mereka menjadi gagal. Namun hati nuraninya melarang untuk melakukan itu, ia tak mau mertuanya semakin benci kepadanya. Pun juga tak mau menjatuhkan harga dirinya, ia harus berusaha untuk ikhlas walau terkadang keikhlasan itu tampak begitu mustahil di fikirannya.
Biasanya setiap pagi dengan begitu semangatnya ia membuatkan sarapan untuk suami tercintanya sebelum suaminya itu berangkat ke kantor, tapi untuk hari ini Arumi merasa tubuhnya begitu lemas, ia enggan untuk beranjak dari tempat tidur walau pun ia sendiri tak bisa memejamkan matanya itu. Bahkan untuk ke kamar mandi pun ia begitu malas.
Matahari mulai merangkak naik, membuat teriknya semakin menyengat dikala bersentuhan dengan kulit. Arumi? perempuan itu tetap pada posisinya, bahkan ia melewati sarapannya. Tak ada secuilpun makanan atupun minuman yang masuk ke tubuhnya. Ia kehilangan semangat hidupnya, ia telah rapuh, ia merasa putus asa. Rasa pusing yang sedari semalam menderanya kini semakin menjadi-jadi, bahkan ia sampai menjambak rambutnya berharap rasa sakit di kepalanya bisa menghilang dengan cara seperti itu, tapi nihil, rasa sakit itu semakin membuatnya tersiksa bahkan ia sampai menjerit merasakan sakit itu. Sebuah cairan yang terasa hangat keluar dari hidung Arumi yang dirasanya itu adalah ingus karena ia tengah menangis. Namun saat ia mengelapnya, ternyata cairan itu berupa darah yang keluar dari hidungnya. 'Mimisan' pikirnya. Bukan cuma sekarang ia mengalami seperti ini, sudah lebih dari lima kali ia mengalami hal seperti ini, tetapi dia mengabaikan saja karena dia berfikir bahwa dia hanya kelelahan sehingga menyebabkan dirinya mimisan. Ia beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan bekas darah yang ada di hidungnya.
****
Siang ini, Afif berencana pulang kerumah Arumi, setelah semalaman ia menghabiskan waktunya dengan Dinda, adik angkatnya sekaligus istri mudanya. Sudah sejak pagi Afif ingin menemui istri pertamanya itu, karena ia tahu pasti istrinya itu sangat membutuhkan dirinya, istrinya itu butuh perhatian lebih darinya, mengingat luka yang begitu dalam telah ia torehkan kepada wanita yang selama delapan tahun ini mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, bahkan wanita itu adalah cinta pertamanya. Namun mamanya berusaha menghalangi Afif dengan segala cara agar Afif tidak bisa menemui Arumi, dengan alasan hari ini adalah waktunya berbahagia bersama Dinda karena mereka masih pengantin baru.
Saat Afif tiba dirumah yang selama ini ia tempati bersama Arumi, ia segera masuk kedalam dan menuju ruang makan karena sekarang adalah waktunya makan siang, langkah Afif terhenti mendapati meja makan masih bersih dan kosong tidak ada satupun makanan disana, ia memasuki dapur mengira istrinya sedang memasak, tapi lagi-lagi ia mendapati dapur itu masih bersih seperti tak terpakai, bahkan bekas sarapan pun tak ada di sana. Bergegas Afif menaiki tangga dan menuju kamarnya, saat membuka pintu l, Afif mendapati istrinya sedang meringkuk di balik selimut tebal yang membungkus istrinya sampai ke leher. Ia segera menghampiri istrinya itu dan menaiki ranjang seraya membawa Arumi kedalam dekapannya. Pandangannya tak lepas dari wajah Arumi yang tampak pucat dengan bekas air mata yang terlihat baru mengering dan tak luput mata Arumi yang tampak begitu bengkak menandakan ia telah lama menangis. Bahkan disaat tertidurpun tiba-tiba air mata Arumi membasahi hidung mancungnya.
"Sayang, sebegitu sakitkah hatimu sehingga kau tak henti-hentinya menangis, bahkan dalam tidurmu pun kau tetap saja menangis. Bahkan wajahmu tampak sangat pucat, apakah kau tak makan dari kemarin? Arumi, maafkan mas yang telah menciptakan luka yang begitu dalam dihatimu, maafkan mas sayang. Ya, Tuhan! betapa jahatnya aku kepada istriku yang selama ini selalu setia berada di sampingku." Afif semakin mengeratkan pelukannya dan tak lupa ia mengecup kening serta kedua mata Arumi yang begitu bengkak itu. Air mata Afif turun begitu saja membasahi pipinya.
Merasa begitu sesak untuk bernafas, Arumi membuka matanya dan mendapati dirinya tengah berada dalam pelukan suaminya. lagi-lagi air mata itu mengalir begitu mudahnya membasahi wajah serta bantalnya. Tiba-tiba tangan Afif bergerak menghapus air mata Arumi.
"Sayang, shhuutt sudah ya nangisnya, nanti cantiknya hilang loh."
"Sejak kapan mas disini?"
"Sejak kamu tertidur dengan pulas nya, tanpa berniat untuk bangun dan membuatkan suamimu ini makan siang,"
"Maaf, mas. Aku kira selama beberapa hari kedepan mas gak akan pulang," lirih Arumi.
"Terus kamu berniat gak mau masak gitu?" pertanyaan Afif hanya di jawab dengan anggukan oleh Arumi
"Sayang, apakah tadi pagi kamu masak buat sarapan?" Arumi menggelengkan kepalanya.
"Jadi kamu gak sarapan, dan bahkan sekarang sudah jam makan siang dan kamu gak mau masak?" Arumi menggeleng lagi
"Tunggu-tunggu! wajahmu terlihat sangat pucat apakah dari kemaren perutmu tak kamu isi?" lagi-lagi Arumi menggelengkan kepalanya.
"Arumi, lihatlah mata, mas! gak mungkin mas gak akan pulang kerumah ini dalam waktu berhari-hari. Mas akan tetap pulang kesini, kamu tetap istri mas, istriku tercinta. Mas gak akan melalaikan tanggung jawab mas kepada kamu, sayang."
"Tak usah bilang istri tercinta, jika akhirnya engkau mendua,"
"Sayang, maafkan mas, Arumi. Mas gak bermaksud menyakiti hati kamu."
"Tapi kenyataannya memang begitu, mas."
Afif membawa Arumi kedalam pelukannya, sungguh istrinya kini sangat rapuh, wanita yang selama ini begitu ceria, kini sinar itu telah redup. Hati Afif begitu sakit melihat keadaan istrinya.
"Maaf, maafkan mas sayang." berkali kali Afif mengecup kening Arumi berharap luka dihati istrinya itu sedikit terobati walau dirinya sendirilah yang menciptakan luka itu.
"Sakit, mas sakit! Harus aku apakan rasa sakit ini agar menghilang, mas?"
Afif tak bisa menjawab, sungguh hatinya ikut terluka. Ia terdiam tak tahu harus berucap apa.
"Mas, bolehkah aku menyerah?"
deg
Afif terkejut bukan main mendengar pertanyaan istrinya itu, ia menggelengkan kepalanya dan semakin mengeratkan pelukannya kepada Arumi.
"Tidak, tidak, dek! tolong jangan katakan itu lagi, jangan, jangan tinggalin mas, mas sangat mencintaimu, Arumi! Mas mencintaimu sayang!" Afif kini menangis dalam pelukan Arumi, sungguh ia tak ingin kehilangan istrinya itu.
***
"Dinda, kemana suamimu? sudah malam kok gak pulang-pulang?" tanya mama Ina.
"Bang Afif pulang kerumah mbak Arumi, ma."
"apa??? Kenapa kamu Izinin dia, Dinda. Seharusnya dia itu sekarang ada disini bersama kamu menikmati malam pengantin baru kalian,"
"Ma, mbak Arumi juga istri mas Afif, dan juga pasti mbak Arumi sekarang masih terluka, biarkan mas Afif malam ini bersama mbak Arumi, ma. Biarkan mas Afif bersikap adil kepada kami,"
"Tidak bisa, perempuan itu harus mengerti kalau sekarang adalah masa-masa kamu bersama Afif. Huh, dasar perempuan sundal."
"Ma, berhenti mengatai mbak Arumi, bagaimana pun mbak Arumi juga mantu mama dan istri dari mas Afif. Dinda gak mau nanti di akhirat mas Afif masuk neraka gara-gara gak bisa adil."
"Huft, serah kamu lah. Mama mau istirahat."
Mama Ina pergi meninggalkan Dinda yang sedang nonton televisi.
****
ššš
KETIKA LUKA MENYAPA4. Tinggal seatap dengan maduPagi ini, Arumi memasak ayam kecap kesukaan Afif, suaminya, karena sekarang adalah waktunya Afif untuk pulang kerumah Arumi. Setelah kemaren suaminya itu menghabiskan waktunya bersama adik madunya tersebut. Kini saatnya Afif menghabiskan waktunya bersama Arumi. Setelah hampir sebulan ia harus rela berbagi suami, kini dihatinya ada setitik keikhlasan untuk berbagi suami. Tak ada lagi tetesan air mata yang keluar karena Afif tak disisinya saat malam menjelang.Arumi begitu asyik berkutat dengan alat alat dapur, ia sangat mahir dalam memasak. Ia kini memasak seorang diri, karena dirumah itu tak ada art untuk membantu pekerjaan rumah, sebenarnya Afif sudah mengusulkan agar mereka memasang art, tapi Arumi menolak dengan alasan agar ia tak bosan dirumah. Sebenarnya Arumi memiliki sebuah salon kecantikan. Namun karena permintaan Afif, agar Arumi berdiam saja dirumah, akhirnya Arumi menyerahkan kepengurusan salonnya kepa
KETIKA LUKA MENYAPA5. Sebuah Harapan"Selamat pagi, Nona." sapa para karyawan saat Arumi tiba di salon miliknya.Ia memasuki salon dan senyum cerah terbit di wajahnya dikala melihat betapa banyak pengunjung salon miliknya ini. Semua karyawan tampak sibuk memberikan pelayanan kepada para pengunjung."pagi juga," jawab Arumi sambil memberikan seulas senyum."dimana Maya?" tanya Arumi"Ada di ruangannya, Nona." jawab salah satu karyawan."baiklah, aku masuk dulu,"Arumi berlalu dari hadapan mereka menuju ruangan Maya asisten pribadinya. Saat tida di depan ruangan Asistennya, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Kalau mau mas....... Eh, Nona Arum, ma-maaf saya tidak tahu kalau Nona yang datang," gugup Maya"tak apa, May. Aku kesini cuma mau ngomongin sesuatu,""Ada apa, Nona? tak biasanya Anda datang kemari kecuali untuk perawatan. Oh, apakah anda ingin perawatan, kalau begitu saya
KETIKA LUKA MENYAPA6. Kejamnya TakdirArumi terbangun di pagi hari saat merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, ia mengerang mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Saat menoleh kesamping tempat tidur, Arumi tak mendapati Afif ada disana, padahal ini masih sangat pagi, dan malam ini harusnya Afif bersama Arumi. Arumi tersenyum kecut, ternyata suaminya mengibuli dirinya, fikirnya.tes tessetetes dua tetes darah keluar dari hidung Arumi, bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi."ya, Tuhan! Ada apa denganku? arrgh sakit!"Dalam sakit yang kian mendera, satu nama terlintas dipikirannya 'Andra' sahabat sekaligus dokter spesialis penyakit dalam.Arumi berusah mendial nomor Andra, dan syukurlah segera diangkat oleh pemuda itu."halo Ndra," sapa Arumi dengan suara lemah menahan rasa sakit."hei, Ar. Tumben Lo hubungin gue, ada apa?" sahut Andra diseberang sana."gue butuh bantuan L
KETIKA LUKA MENYAPA7. MAMA INADinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina."eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina."kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah."iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,""terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?""emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?""iya juga sih,""eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,""kamu masak sendirian?""iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,""iya,""mama istirahat dulu gih,"setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesu
Ada perasaan menghangat di hati Arumi saat mendengar cerita dari Dinda, ternyata suaminya terpaksa menikah lagi karena kelicikan sang mertua, tapi bersamaan rasa itu, ada juga rasa sakit yang mendera takut jika suaminya akan mencintai Dinda, cepat atau lambat. Ah, atau mungkin sekarang Afif sudah mulai mencintai madunya ini? sehingga Afif mengajak Dinda tinggal bertiga dengannya."mbak," panggilan menghentikan lamunan Arumi"ah, iya?""apakah kita tidak bisa untuk akur seperti semula?" Tanya Dinda penuh harap."maaf, Din, mbak masih butuh waktu," lirih Arumi"huft, baiklah mbak, aku mengerti,""terimakasih," tak lupa senyuman yang begitu tulus Arumi berikan kepada Dinda."aku ke kebawah dulu, mbak," pamit Dinda yang di jawab anggukan oleh Arumi.selepas
Sebelum mereka keluar, Arumi cepat-cepat turun agar mereka gak tahu kalau Arumi tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka. Tak lama setelah Arumi duduk di kursi, keduanya sudah turun dan duduk berseberangan dengannya."kok lama banget?" tanya Arumi pura-pura gak tahu."eh, ehm, ma-maaf mbak,""lah, aku nanya kenapa lama kok malah minta maaf sih,""tadi mas masih minta Dinda buat pasangin dasi, mas,""oh,""maaf, mbak,""gapapa kok, justru bagus dong, agar mas Afif gak selalu bergantung padaku, agar saat aku pergi...ups," Arumi menutup mulutnya saat ia keceplosan mengatakan pergi."apa maksud kamu bicara seperti itu, dek?""ah, nggak mas, maksud aku kalau aku terburu-buru pergi salon, jadinya ada yang gantiin aku ngurus kam
Hari ini adalah hari keberangkatan Afif dan Dinda untuk melakukan bulan madu. Sungguh Arumi sangat iri pada Dinda yang bisa melakukan bulan madu, karena dirinya dulu tak pernah di ajak bulan madu oleh Afif, karena waktu itu, keadaan ekonomi tak seperti sekarang, yang serba kecukupan bahkan berlebihan. Sedangkan kedua orang tua Afif yang memang sudah kaya sejak awal, mereka enggan untuk sekedar membelikan tiket bulan madu untuk Afif dan Arumi.Yah, kedua orang tua Afif memang tak merestui hubungan mereka sejak awal, pernikahan mereka terjadi karena Afif meng iming imingi kedua orang tuanya dengan cucu, Afif berjanji akan segera memberikan kedua orang tuanya seorang cucu. Dengan terpaksa kedua orang tua Afif memberikan mereka izin untuk menikah, dengan syarat mereka harus memberikan seorang cucu dalam waktu satu tahun. Afif dan Arumi sangat bahagia karena restu sudah mereka dapatkan dari kedua orang tua Afif. Pernikahan pun terjadi, dan Afif serta Arumi
Berulang kali Andra berusaha menghubungi Arumi, akan tetapi, panggilannya selalu di tolak dan pesannya pun di abaikan oleh Arumi. Andra sangat khawatir kepada Arumi, karena hari seharusnya jadwalnya untuk kemo, tapi Arumi tak kunjung bisa di hubungi. Bahkan dari deringan yang kesekian kalinya, nomor Arumi sudah tak aktif."Arumi, ku mohon datanglah! aku gak mau kehilangan kamu, Ar."Sedangkan Arumi kini tengah meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang tak hentinya mengalir, hatinya di selimuti kecemburuan yang begitu besar. Apalagi seseorang selalu mengiriminya foto kemesraan Afif dan Dinda. Sungguh ia tak kuat dan tak mau jika harus berbagi suami, ia sangat mencintai Afif, ia hanya ingin Afif menjadi miliknya satu-satunya.Terhitung sudah lima hari Afif dan Dinda berbulan madu, dan selama itu pula, Arumi tak pernah beranjak dari tempat tidurnya. Ia begitu menikmati rasa sakit pada jiwa da
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb