KETIKA LUKA MENYAPA
6. Kejamnya Takdir
Arumi terbangun di pagi hari saat merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, ia mengerang mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Saat menoleh kesamping tempat tidur, Arumi tak mendapati Afif ada disana, padahal ini masih sangat pagi, dan malam ini harusnya Afif bersama Arumi. Arumi tersenyum kecut, ternyata suaminya mengibuli dirinya, fikirnya.
tes tes
setetes dua tetes darah keluar dari hidung Arumi, bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi.
"ya, Tuhan! Ada apa denganku? arrgh sakit!"
Dalam sakit yang kian mendera, satu nama terlintas dipikirannya 'Andra' sahabat sekaligus dokter spesialis penyakit dalam.
Arumi berusah mendial nomor Andra, dan syukurlah segera diangkat oleh pemuda itu.
"halo Ndra," sapa Arumi dengan suara lemah menahan rasa sakit.
"hei, Ar. Tumben Lo hubungin gue, ada apa?" sahut Andra diseberang sana.
"gue butuh bantuan Lo. sekarang Lo ada di rumah sakit atau di mana?" Arumi bertanya sambil membersihkan darah yang keluar di hidungnya dengan tisu
"biasalah, gue ada di rumah sakit, emangnya lu kenapa sih?"
"gue kesana sekarang!"
Tut
panggilan dimatikan sepihak oleh Arumi, ia segera beranjak menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri, setelah itu ia memakan sepotong roti yang ada di atas nakas sebelum ia menelan obat sakit kepala.
selesai bersiap-siap, Arumi segera turun dan mendapati Afif sedang membantu Dinda menyiapkan sarapan pagi. Yah, begitulah kebiasaan Afif setiap pagi, ia selalu membantu Arumi menyiapkan sarapan supaya terkesan romantis kata Afif waktu itu. Tapi sekarang bukan hanya dirinya yang di perlakukan seperti ini, ada wanita lain yang telah menduduki takhta yang sama di hati sang suami, yang juga akan mendapatkan perilaku romantis dari Afif.
"mas, aku berangkat dulu,"
"eh, dek, sarapan dulu ya,"
"maaf, mas. aku terburu-buru, aku sarapan di salon ajah," terpaksa Arumi berbohong karena tak mau suaminya itu khawatir.
"sebentar saja, sayang. Ini udah mau selesai Kok,"
"maaf, mas,"
"dek, tolong hargai Dinda yang mau masak buat kita sarapan!"
Arumi segera berlalu mengabaikan perkataan Afif karena ia sudah merasa tak tahan dengan sakit yang ada dikepalanya juga dihatinya, bagaimana ia bisa sanggup sarapan bertiga dengan adik madunya?
Arumi segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit AKSARA tempat Andra bertugas.
"argh, kenapa kepalaku semakin sakit,"
Setibanya di rumah sakit, Arumi segera memarkirkan mobilnya dan segera masuk, tak lupa ia menghubungi Andra terlebih dahulu.
"Andra gue udah sampai,"
"langsung ajah keruangan gue,"
"oke,"
Arumi mempercepat langkahnya menuju ruangan Andra, setibanya di depan ruangan sahabatnya itu, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu.
Andra yang menyadari Arumi telah memasuki ruangannya tanpa mengetuk pintu merasa jengkel.
"eh, lu kebiasaan ya gak ad...... Arumi!!!" Omelan pemuda ini berhenti dan berubah menjadi teriakan mendapati Arumi telah jatuh pingsang di ambang pintu dengan darah yang keluar dari hidungnya.
Andra segera menghampiri Arumi, dan memanggil beberapa suster untuk membantunya menangani Arumi, Andra meletakkan tubuh Arumi di brankar rumah sakit dan segera membawa ke ruang ICU.
"Ar, bertahan ya, gue akan segera mengobati elo."
Beberapa jam kemudian Andra sudah menangani Arumi, dan ia sudah mengantongi hasil lab tentang penyakit yang bersarang di tubuh Arumi, sungguh ia merasa sangat prihatin melihat sahabatnya ini tampak tak berdaya dan begitu kaget Dangan apa yang telah terjadi pada Arumi. Selam beberapa menit, Arumi sudah siuman dan ia mendapati Andra sedang duduk di sofa sambil memegang sebuah kertas.
"Ndra," suara Arumi tampak lemah memanggil sahabatnya tersebut
"eh, Ar, lu udah sadar?"
"hm,"
"gue boleh tanya sesuatu sama Lo?"
"tanya apa?"
"sejak kapan Lo mimisan dan di sertai sakit kepala?"
"udah agak lama sih, Ndra,"
"what, agak lama? kenapa Lo gak segera periksa?"
"gue fikir itu hanya gara-gara gue kelelahan, makanya gue mimisan,"
"lu bukan hanya kecapean, Ar. Lu.... ah, gue hubungi suami Lo dulu,"
"jangan!!!"
"kenapa?"
"tolong beritahukan saja padaku apa penyakitku!"
"suami Lo perlu tahu tentang kondisi Lo,"
"Ndra, please, jangan beritahu mas Afif, katakan saja kepadaku!"
"tapi, Ar,"
"Ndra, gue mohon??! gue gak mau suami gue khawatir sama gue dan pekerjaannya jadi terbengkalai,"
"itu bukan alasan yang tepat, Ar, sesibuk apapun dia, dia harus tahu kondisi Lo."
"Andra, gue mohon kepada Lo sebagai sahabat gue," Arumi memohon dengan tampang yang sangat melas, membuat Andra mengiyakan permintaan Arumi.
"huft, baiklah wanita keras kepala,"
"terimakasih, Ndra, terus sekarang tolong katakan sama gue, gue sakit apa?"
"Ar, gue harap lu berlapang dada menerima kenyataan ini,"
"gak usah bertele-tele ndra, cepet katakan!"
"Lo, Lo sakit kanker otak stadium satu, Ar,"
jedaaar
Arumi menggelengkan kepalanya seiring dengan air matanya yang kian menetes,
"nggak, Lo bercanda kan, Andra?"
"Ar, buat apa gue bercanda dengan penyakit seperti ini,"
"Andra, hiks hiks!"
Andra membawa Arumi dalam pelukannya, ia menenangkan berusaha menenangkan sahabat ini, ia tau pasti Arumi begitu terpukul dengan kondisinya saat ini.
"kenapa takdir begitu kejam terhadap gue, Ndra,"
"shutt, gue yakin Lo akan sembuh, ini masih stadium satu, bisa sembuh jika Lo berusaha dan mau menuruti semua perkataanku demi kesembuhan, Lo,"
"Gue rasa gue biarin ajah sakit ini menggerogoti tubuh ku. Toh jika aku mati, mas Afif tak akan sedih berkepanjangan karena ia udah memiliki penggantinya,"
"gak usah ngawur kalo ngomong, gue pastiin Lo bakalan sembuh. Dan yah, apa maksud Lo kalau Afif udah memiliki pengganti?"
"mas Afif nikah lagi dengan Dinda, adik angkatnya,"
"what?? trus Lo mau nyerah gitu ajah?"
"gue gak tau, Andra,"
"hei, tatap gue!" kata Andra sambil memegang kedua bahu Arumi.
"kalau Lo mau nyerah maka jangan salahkan gue kalau gue aduin penyakit Lo kepada Afif, tapi kalau Lo mau berjuang maka gue akan tutup mulut asal Lo mau dengerin omongan gue, inget Ar, gue gak akan pernah tinggal diam jika itu menyangkut Lo, sahabat kesayangan gue!"
"makasih, Andra,"
"Hm, sekarang Lo makan dulu, gue tau sedari tadi perut Lo gak ada isinya,"
Arumi menggelengkan kepalanya pertanda ia menolak untuk sarapan makan.
"aaa," kata Andra hendak menyuapi Arumi, Arumi terpaksa menerima karena tatapan tajam dari Andra.
Dengan telaten Andra menyuapi Arumi, walaupun harus dengan sedikit paksaan karena Arumi selalu enggan membuka mulutnya, hingga pada suapan ke lima, Arumi menggelengkan kepalanya dengan keras meminta untuk berhenti, hingga Andra memberhentikan suapannya dan memberikan air minum kepada Arumi.
"sekarang minum obat dulu, baru istirahat,"
Arumi menuruti perintah Andra, ia meminum empat butir obat entah apa fungsi dari masing-masing Obet tersebut Arumi tak tahu.
"Andra, gue mau pulang,"
"keadaan Lo masih lemah seperti ini, istirahat ajah dulu,"
"aku takut mas Afif marah kalau aku pergi berlama-lama,"
"Ar,"
"Andra, please, Izinin gue pulang. Berikan ajah gue obat untung menghilangkan rasa sakit di kepala jika sewaktu waktu sakit gue kambuh,"
"baiklah baiklah, Lo diem dulu disini, gue urus Administrasi bentar!"
"Andra, pake ini ajah," kata Arumi sambil menyodorkan kartu ATM kepada Andra.
"udah gak usah,"
"tap..." belum selesai Arumi berbicara, Andra sudah melenggang pergi dari hadapan Arumi.
'ya, Tuhan! inikah jalan bagiku untuk terbebas dari semua luka ini? akankah aku segera menyusul mama dan papaku, aku rindu mereka, Tuhan,'
✨✨
KETIKA LUKA MENYAPA7. MAMA INADinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina."eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina."kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah."iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,""terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?""emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?""iya juga sih,""eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,""kamu masak sendirian?""iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,""iya,""mama istirahat dulu gih,"setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesu
Ada perasaan menghangat di hati Arumi saat mendengar cerita dari Dinda, ternyata suaminya terpaksa menikah lagi karena kelicikan sang mertua, tapi bersamaan rasa itu, ada juga rasa sakit yang mendera takut jika suaminya akan mencintai Dinda, cepat atau lambat. Ah, atau mungkin sekarang Afif sudah mulai mencintai madunya ini? sehingga Afif mengajak Dinda tinggal bertiga dengannya."mbak," panggilan menghentikan lamunan Arumi"ah, iya?""apakah kita tidak bisa untuk akur seperti semula?" Tanya Dinda penuh harap."maaf, Din, mbak masih butuh waktu," lirih Arumi"huft, baiklah mbak, aku mengerti,""terimakasih," tak lupa senyuman yang begitu tulus Arumi berikan kepada Dinda."aku ke kebawah dulu, mbak," pamit Dinda yang di jawab anggukan oleh Arumi.selepas
Sebelum mereka keluar, Arumi cepat-cepat turun agar mereka gak tahu kalau Arumi tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka. Tak lama setelah Arumi duduk di kursi, keduanya sudah turun dan duduk berseberangan dengannya."kok lama banget?" tanya Arumi pura-pura gak tahu."eh, ehm, ma-maaf mbak,""lah, aku nanya kenapa lama kok malah minta maaf sih,""tadi mas masih minta Dinda buat pasangin dasi, mas,""oh,""maaf, mbak,""gapapa kok, justru bagus dong, agar mas Afif gak selalu bergantung padaku, agar saat aku pergi...ups," Arumi menutup mulutnya saat ia keceplosan mengatakan pergi."apa maksud kamu bicara seperti itu, dek?""ah, nggak mas, maksud aku kalau aku terburu-buru pergi salon, jadinya ada yang gantiin aku ngurus kam
Hari ini adalah hari keberangkatan Afif dan Dinda untuk melakukan bulan madu. Sungguh Arumi sangat iri pada Dinda yang bisa melakukan bulan madu, karena dirinya dulu tak pernah di ajak bulan madu oleh Afif, karena waktu itu, keadaan ekonomi tak seperti sekarang, yang serba kecukupan bahkan berlebihan. Sedangkan kedua orang tua Afif yang memang sudah kaya sejak awal, mereka enggan untuk sekedar membelikan tiket bulan madu untuk Afif dan Arumi.Yah, kedua orang tua Afif memang tak merestui hubungan mereka sejak awal, pernikahan mereka terjadi karena Afif meng iming imingi kedua orang tuanya dengan cucu, Afif berjanji akan segera memberikan kedua orang tuanya seorang cucu. Dengan terpaksa kedua orang tua Afif memberikan mereka izin untuk menikah, dengan syarat mereka harus memberikan seorang cucu dalam waktu satu tahun. Afif dan Arumi sangat bahagia karena restu sudah mereka dapatkan dari kedua orang tua Afif. Pernikahan pun terjadi, dan Afif serta Arumi
Berulang kali Andra berusaha menghubungi Arumi, akan tetapi, panggilannya selalu di tolak dan pesannya pun di abaikan oleh Arumi. Andra sangat khawatir kepada Arumi, karena hari seharusnya jadwalnya untuk kemo, tapi Arumi tak kunjung bisa di hubungi. Bahkan dari deringan yang kesekian kalinya, nomor Arumi sudah tak aktif."Arumi, ku mohon datanglah! aku gak mau kehilangan kamu, Ar."Sedangkan Arumi kini tengah meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang tak hentinya mengalir, hatinya di selimuti kecemburuan yang begitu besar. Apalagi seseorang selalu mengiriminya foto kemesraan Afif dan Dinda. Sungguh ia tak kuat dan tak mau jika harus berbagi suami, ia sangat mencintai Afif, ia hanya ingin Afif menjadi miliknya satu-satunya.Terhitung sudah lima hari Afif dan Dinda berbulan madu, dan selama itu pula, Arumi tak pernah beranjak dari tempat tidurnya. Ia begitu menikmati rasa sakit pada jiwa da
"mas, besok kita sudah pulang, gak nyangka ya kita udah hampir satu Minggu di sini." kata Dinda sambil bersandar di bahu Afif sebelum mereka menyelam ke alam mimpi."iya, sayang. apa kamu masih betah disini? kalau masih betah mas akan perpanjang waktu kita disini." tanya Afif sambil membelai rambut Dinda."nggaklah, mas. kasian mbak Arumi di rumah sendirian,"degMendengar nama Arumi di sebut, Afif teringat sesuatu bahwa selama mereka di sini, tak sekalipun Afif menghubungi istri pertamanya itu. Ah, dasar pria bodoh! mentang-mentang ada yang baru dia sampai melupakan istri pertamanya itu. Kenapa ia bisa menjadi pria pikun?Afif kini melamun, akankah istrinya itu mau memafkannya? akankah Arumi memahami posisinya? akankah Arumi mau mengerti? ataukah Arumi memang pengertian sehingga wanita itu tak pernah menghubunginya? yah, opsi yang terakh
happy reading✨✨✨Arumi sedang bersiap siap untuk pulang kerumah, setelah melewati perdebatan panjang dengan dokter yang tak mengizinkannya untuk pulang di karenakan kondisinya belum sepenuhnya membaik, dengan keras kepalanya seorang Arumi, akhirnya membuat dokter itu mengalah. Biasanya Andra yang menangani Arumi, tapi untuk hari ini dan seminggu kedepan Andra mendapatkan shift malam, jadi dokter Gani kah yang menggantikan Andra untuk menangani Arumi. Kini Arumi tinggal menunggu mama Ina menjemputnya.Seseorang masuk ke dalam ruangan Arumi, yang ternyata merupakan supir pribadi mama Ina."maaf, nyonya. Nyonya besar tak bisa menjemput anda di karenakan saat jni nyonya besar harus terbang ke Taiwan menemani tuan besar untuk mengurus perusahaan yang ada di sana." jelas si supir."ya, tak apa. Berapa lama mama di sana?""saya kurang tahu nyony
happy reading✨✨✨Setelah selesai dengan perdebatan mereka yang memakan waktu cukup lama, Arumi memilih untuk turun kebawah untuk menyiapkan makan siang karena sekarang sudah waktunya makan siang. Afif mengekor di belakang Arumi.Setibanya di dapur, ternyata disana sudah ada Dinda yang hendak mengeluarkan beberapa bahan masakan yang hendak ia masak untuk makan siang, mungkin Dinda baru saja tiba di sana. Dinda tak menyadari kehadiran Afif dan Arumi."Din," sapa Arumi kepada Dinda yang membuat wanita itu terlonjak kaget."Eh, mbak,""Gak usah tegang gitu, biasa ajah." kata Arumi seolah tak ada apa apa di antara mereka."Ehm, i-iya mbak," jawab Dinda gugup dan berusaha tersenyum."Mau masak, kan?""Iya, mbak,""Ya udah yuk, kit
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb