KETIKA LUKA MENYAPA
5. Sebuah Harapan
"Selamat pagi, Nona." sapa para karyawan saat Arumi tiba di salon miliknya.
Ia memasuki salon dan senyum cerah terbit di wajahnya dikala melihat betapa banyak pengunjung salon miliknya ini. Semua karyawan tampak sibuk memberikan pelayanan kepada para pengunjung.
"pagi juga," jawab Arumi sambil memberikan seulas senyum.
"dimana Maya?" tanya Arumi
"Ada di ruangannya, Nona." jawab salah satu karyawan.
"baiklah, aku masuk dulu,"
Arumi berlalu dari hadapan mereka menuju ruangan Maya asisten pribadinya. Saat tida di depan ruangan Asistennya, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Kalau mau mas....... Eh, Nona Arum, ma-maaf saya tidak tahu kalau Nona yang datang," gugup Maya
"tak apa, May. Aku kesini cuma mau ngomongin sesuatu,"
"Ada apa, Nona? tak biasanya Anda datang kemari kecuali untuk perawatan. Oh, apakah anda ingin perawatan, kalau begitu saya akan panggilkan karyawan terbaik disini, Nona."
"tidak, tidak usah. Aku kesini cuma mau menyampaikan sama kamu, kalau aku akan kembali menghandle sendiri kepengurusan salon ini,"
"oh, benarkah, Nona? Sungguh aku sangat senang bisa kembali bekerja bersama Anda,"
"Dan kamu akan mengurus salon cabang yang ada di Bandung,"
"Benarkah Nona?"
"iya, apakah kamu keberatan?"
"tidak! tidak sama sekali Nona, justru saya sangat berterimakasih karena telah diberi kepercayaan oleh Nona, tapi, bagaimana dengan Luna?"
"dia akan menjadi asistenmu."
"nona memang sangat baik, terimakasih, nona,"
"hm,"
setelah itu, mereka kini larut dalam pembahasan tentang salon milik Arumi yang katanya penghasilan mereka kian hari kian naik dikarenakan semakin banyaknya pelanggan tiap harinya, tentang bahan-bahan serta alat-alat yang berkualitas terbaik. Sungguh Arumi tak menyangka jika salon yang ia bangun dari nol itu kini berada di puncak kejayaan. Yang awalnya Arumi hanya membuka salon dirumah dengan mengambil alih sebagian ruang tamu, kini sudah memiliki gedung sendiri yang lumayan luas dengan fasilitas yang lengkap. Bahkan salon yang di beri nama 'A2 SALON' sudah memiliki beberapa cabang yang ada di berbagai kota, sungguh pencapaian yang luar biasa bukan?
tok tok tok
Suara ketukan pintu menghentikan cerita mereka.
"Masuk!"
"Maaf, nona, di luar ada tuan mencari nona," lapor salah satu karwayan yang bernama Sinta, Membuat Maya menatap heran kepada Arumi. Padahal Arumi baru sampai tapi kenapa kok sudah di cari oleh suaminya. Arumi yang mengerti dengan raut wajah Maya hanya tersenyum semanis mungkin.
"suruh dia keruanganku!"
"baik, Nona,"
"aku ke ruanganku dulu,"
"Anda berhutang penjelasan kepadaku, nona Arumi Permatasari,"
"baiklah, Maya Diandra,"
ya, sudah biasa bagi mereka untuk menceritakan apa yang tengah terjadi kepada mereka.
****
Arumi sudah sampai di ruangannya, dan ternyata Afif sudah ada di sana sambil menatapnya entah dengan tatapan seperti apa.
"ada apa kesini?" tanya Arumi
"kalau cuma mau ngelanjutin bahas yang tadi, aku rasa gak perlu, semua sudah jelas, silahkan keluar dari ruanganku!"
bukan mau niat kurang ajar kepada suaminya, tapi ia masih sakit hati dengan suaminya yang egois, tak mau meminta pendapatnya terlebih dahulu.
"Arumi, okey mas ngaku mas salah, maafkan mas, ya?!"
Arumi tak menanggapi, membuat Afif semakin merasa bersalah. Afif meraih tangan Arumi dan menggenggamnya.
"sayang, maafin mas, yah!"
"biarkan aku sendiri dulu, mas!"
"tap..."
"ku, mohon!"
"baiklah,"
Sebelum pergi, Afif memeluk erat tubuh Arumi dan mengecup seluruh wajah Arumi.
"kamu gak perlu takut, selamanya mas akan tetap mencintai dan menyayangimu,"
"mas, pulang dulu, jaga diri baik-baik, Assalamualaikum,"
"waalaikumsalam,"
Afif berlalu dari hadapan Arumi, Arumi menatap punggung suaminya itu dengan tatapan sendu, hingga punggung itu menghilang dibalik pintu. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ia tahan kini tumpah sudah. Ia tak tahu, kenapa sekarang ia serapuh ini. Wanita yang dulunya ceria kini berubah menjadi pemurung, senyum yang selalu menghiasi wajahnya kini sudah sirna.
"seandainya aku bisa memberikan anak untuk mas Afif, mungkin sekarang kita akan hidup bahagia bertiga dengan anak kita, bukan hidup bertiga dengan madu,"
Arumi termenung dengan berbagai macam pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya tak tenang. Meratapi nasib yang terasa tak pernah berpihak kepadanya. Dari awal menikah kedua orang tua Afif tak menerimanya, kecuali Oma Gina yang menetap di Korea. Ah, mengingat Oma Gina, Arumi jadi rindu akan Omanya itu. Meskipun Oma Gina adalah Oma dari Afif, tapi Oma selalu menganggapnya cucu sendiri. Bahkan disaat mama Afif memarahinya maka Omalah yang menjadi tameng baginya.
"seandainya Oma ada disini, mungkin aku sedikit lebih bahagia. Oma Arum rindu. Apakah Oma juga rindu sama Arum?"
******
Afif sampai dirumahnya, dan mendapati Dinda sedang duduk bermain handphone di ruang tamu, menyadari ada yang datang Dinda menghentikan aktifitasnya dan mendapatkan suaminya telah duduk di sofa.
"bagaimana, mas? apakah bak Arumi sudah memaafkan kita?"
"dia masih butuh waktu katanya,"
"mas, lebih baik Dinda kembali kerumah mama, aku gak mau bak Arumi semakin membenci aku, mas,"
"tidak, dek. Kita akan hidup bertiga disini, gak boleh ada yang keluar, itu sudah keputusan mas. Semoga saja lambat laun Arumi akan menerima kehadiran kamu,"
"ah, seandainya mama dan papa gak maksa kita untuk nikah, mungkin bak Arumi dan mas Afif akan baik-baik saja, aku ngerti perasaan bak Arumi mas, gak ada wanita yang rela di madu, termasuk diriku. Aku gak mau jadi yang kedua, tapi mama dan papa memaksaku untuk mau dengan dalih balas Budi karena mereka telah merawatku selama ini," Air mata Dinda luruh merasakan betapa sakitnya harus berbagi suami.
flashback
"Dinda, mama sama papa ada kepentingan sama kamu," kata mama Ina saat mereka baru selesai makan.
"baik, ma,"
mereka kemudian menuju ruang keluarga yang berada tak jauh dari ruang makan.
"ada apa, ma, pa?"
"kuliahmu sudah selesai kan?"
"iya, pa,"
"apakah kamu siap jika kami memintamu untuk menikah?"
"ma-maksud papa?"
"begini, kan kakakmu Afif sampai sekarang belum punya anak, padahal sudah delapan tahun menikah dan kami pun sangat menginginkan cucu, apakah kamu mau menikah dengan Afif?"
"pa, mas Afif sudah punya bak Arumi, Dinda yakin kalau Allah sudah berkehendak pasti mas Afif dan bak Arumi akan diberikan keturunan,"
"tapi, sampai kapan Dinda, kami sudah semakin tua," sela mama Ina
"kita hanya perlu bersabar, ma, pa."
"nggak! mama udah gak bisa bersabar lagi, mama harap kamu mau menerima permintaan mama untuk menjadi istri kedua Afif,"
"tapi, ma, Dinda gak mau jadi yang kedua pun gak mau menyakiti hati bak Arumi,"
"gak ada tapi tapian, anggap saja ini bentuk balas Budi kamu karena selama ini kami sudah merawatku,"
Setelah berkata seperti itu, mama Ina dan papa Aldo pergi meninggalkan Dinda di ruang tamu yang sedang meratapi hidupnya.
beberapa hari kemudian, papa meminta Afif untuk datang kerumah untuk membicarakan hal ini.
"Afif, apakah Arumi sudah ada tanda tanda kalau dia sudah hamil?" tanya mama Ina.
"belum, ma,"
"ah, padahal mama sama papa sangat ingin sekali memiliki cucu, apakah kamu gak kasian sama kami yang menantikan cucu dari ku selama bertahun-tahun?"
"ma, Afif dan Arumi juga sangat ingin memiliki anak, ma. Tapi Tuhan masih belum memberi kepercayaan kepada kami,"
"Afif, kami sudah semakin tua, dan mungkin entahlah tak tau kapan ajal akan menjemput kami, kami hanya ingin menimang cucu, nak,"
"Afif sudah berusaha semaksimal mungkin, ma, pa."
"bolehkah kami memberi usul kepada mu, nak?"
"apa, ma?"
"menikahlah dengan Dinda, mama yakin kalian akan segera diberi anak,"
"maksud mama apa? apakah Afif harus menikah dengan adik Afif sendiri?"
"dia bukan adik kandungmu, dia hanya adik angkat bagimu, jadi wajar-wajar saja jika kalian menikah,"
"tidak! Afif gak mau mengkhianati Arumi, ma, pa,"
"sayang, mengertilah! bukankah kamu ingin sekali memiliki seorang anak yang lahir dari bibitmu sendiri?"
"tapi, apakah harus dengan cara seperti ini, ma? gak bisakah kita bersabar sedikit saja menunggu keajaiban dari Allah?"
"Afif..."
"Afif pulang, assalamualaikum,"
ada rasa bahagia dalam hati Dinda karena Afif menolak keinginan mama dan papanya.
"kamu gak usah bahagia dulu, mama punya seribu cara agar kalian bisa menikah,"
flashback off
Afif menghampiri Dinda dan merengkuh istrinya itu, "tak perlu ada yang disesali, ini adalah takdir dan ujian untuk kita bertiga. Semoga kedepannya kita bertiga bisa menerima takdir dan hidup bahagia."
selama hampir sebulan ini, Afif tak pernah menyentuh Dinda, pun juga karena Dinda yang menolaknya karena belum siap. Sampai detik ini Dinda masih menganggap Afif adalah kakaknya. Begitupun dengan Afif yang belum sepenuhnya menerima Dinda sebagai istrinya.
***
yuk yuk yuk komen yang bawel supaya authornya makin semangat buat lanjutin👏👏
😘😘😘KETIKA LUKA MENYAPA6. Kejamnya TakdirArumi terbangun di pagi hari saat merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, ia mengerang mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Saat menoleh kesamping tempat tidur, Arumi tak mendapati Afif ada disana, padahal ini masih sangat pagi, dan malam ini harusnya Afif bersama Arumi. Arumi tersenyum kecut, ternyata suaminya mengibuli dirinya, fikirnya.tes tessetetes dua tetes darah keluar dari hidung Arumi, bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi."ya, Tuhan! Ada apa denganku? arrgh sakit!"Dalam sakit yang kian mendera, satu nama terlintas dipikirannya 'Andra' sahabat sekaligus dokter spesialis penyakit dalam.Arumi berusah mendial nomor Andra, dan syukurlah segera diangkat oleh pemuda itu."halo Ndra," sapa Arumi dengan suara lemah menahan rasa sakit."hei, Ar. Tumben Lo hubungin gue, ada apa?" sahut Andra diseberang sana."gue butuh bantuan L
KETIKA LUKA MENYAPA7. MAMA INADinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina."eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina."kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah."iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,""terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?""emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?""iya juga sih,""eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,""kamu masak sendirian?""iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,""iya,""mama istirahat dulu gih,"setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesu
Ada perasaan menghangat di hati Arumi saat mendengar cerita dari Dinda, ternyata suaminya terpaksa menikah lagi karena kelicikan sang mertua, tapi bersamaan rasa itu, ada juga rasa sakit yang mendera takut jika suaminya akan mencintai Dinda, cepat atau lambat. Ah, atau mungkin sekarang Afif sudah mulai mencintai madunya ini? sehingga Afif mengajak Dinda tinggal bertiga dengannya."mbak," panggilan menghentikan lamunan Arumi"ah, iya?""apakah kita tidak bisa untuk akur seperti semula?" Tanya Dinda penuh harap."maaf, Din, mbak masih butuh waktu," lirih Arumi"huft, baiklah mbak, aku mengerti,""terimakasih," tak lupa senyuman yang begitu tulus Arumi berikan kepada Dinda."aku ke kebawah dulu, mbak," pamit Dinda yang di jawab anggukan oleh Arumi.selepas
Sebelum mereka keluar, Arumi cepat-cepat turun agar mereka gak tahu kalau Arumi tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka. Tak lama setelah Arumi duduk di kursi, keduanya sudah turun dan duduk berseberangan dengannya."kok lama banget?" tanya Arumi pura-pura gak tahu."eh, ehm, ma-maaf mbak,""lah, aku nanya kenapa lama kok malah minta maaf sih,""tadi mas masih minta Dinda buat pasangin dasi, mas,""oh,""maaf, mbak,""gapapa kok, justru bagus dong, agar mas Afif gak selalu bergantung padaku, agar saat aku pergi...ups," Arumi menutup mulutnya saat ia keceplosan mengatakan pergi."apa maksud kamu bicara seperti itu, dek?""ah, nggak mas, maksud aku kalau aku terburu-buru pergi salon, jadinya ada yang gantiin aku ngurus kam
Hari ini adalah hari keberangkatan Afif dan Dinda untuk melakukan bulan madu. Sungguh Arumi sangat iri pada Dinda yang bisa melakukan bulan madu, karena dirinya dulu tak pernah di ajak bulan madu oleh Afif, karena waktu itu, keadaan ekonomi tak seperti sekarang, yang serba kecukupan bahkan berlebihan. Sedangkan kedua orang tua Afif yang memang sudah kaya sejak awal, mereka enggan untuk sekedar membelikan tiket bulan madu untuk Afif dan Arumi.Yah, kedua orang tua Afif memang tak merestui hubungan mereka sejak awal, pernikahan mereka terjadi karena Afif meng iming imingi kedua orang tuanya dengan cucu, Afif berjanji akan segera memberikan kedua orang tuanya seorang cucu. Dengan terpaksa kedua orang tua Afif memberikan mereka izin untuk menikah, dengan syarat mereka harus memberikan seorang cucu dalam waktu satu tahun. Afif dan Arumi sangat bahagia karena restu sudah mereka dapatkan dari kedua orang tua Afif. Pernikahan pun terjadi, dan Afif serta Arumi
Berulang kali Andra berusaha menghubungi Arumi, akan tetapi, panggilannya selalu di tolak dan pesannya pun di abaikan oleh Arumi. Andra sangat khawatir kepada Arumi, karena hari seharusnya jadwalnya untuk kemo, tapi Arumi tak kunjung bisa di hubungi. Bahkan dari deringan yang kesekian kalinya, nomor Arumi sudah tak aktif."Arumi, ku mohon datanglah! aku gak mau kehilangan kamu, Ar."Sedangkan Arumi kini tengah meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang tak hentinya mengalir, hatinya di selimuti kecemburuan yang begitu besar. Apalagi seseorang selalu mengiriminya foto kemesraan Afif dan Dinda. Sungguh ia tak kuat dan tak mau jika harus berbagi suami, ia sangat mencintai Afif, ia hanya ingin Afif menjadi miliknya satu-satunya.Terhitung sudah lima hari Afif dan Dinda berbulan madu, dan selama itu pula, Arumi tak pernah beranjak dari tempat tidurnya. Ia begitu menikmati rasa sakit pada jiwa da
"mas, besok kita sudah pulang, gak nyangka ya kita udah hampir satu Minggu di sini." kata Dinda sambil bersandar di bahu Afif sebelum mereka menyelam ke alam mimpi."iya, sayang. apa kamu masih betah disini? kalau masih betah mas akan perpanjang waktu kita disini." tanya Afif sambil membelai rambut Dinda."nggaklah, mas. kasian mbak Arumi di rumah sendirian,"degMendengar nama Arumi di sebut, Afif teringat sesuatu bahwa selama mereka di sini, tak sekalipun Afif menghubungi istri pertamanya itu. Ah, dasar pria bodoh! mentang-mentang ada yang baru dia sampai melupakan istri pertamanya itu. Kenapa ia bisa menjadi pria pikun?Afif kini melamun, akankah istrinya itu mau memafkannya? akankah Arumi memahami posisinya? akankah Arumi mau mengerti? ataukah Arumi memang pengertian sehingga wanita itu tak pernah menghubunginya? yah, opsi yang terakh
happy reading✨✨✨Arumi sedang bersiap siap untuk pulang kerumah, setelah melewati perdebatan panjang dengan dokter yang tak mengizinkannya untuk pulang di karenakan kondisinya belum sepenuhnya membaik, dengan keras kepalanya seorang Arumi, akhirnya membuat dokter itu mengalah. Biasanya Andra yang menangani Arumi, tapi untuk hari ini dan seminggu kedepan Andra mendapatkan shift malam, jadi dokter Gani kah yang menggantikan Andra untuk menangani Arumi. Kini Arumi tinggal menunggu mama Ina menjemputnya.Seseorang masuk ke dalam ruangan Arumi, yang ternyata merupakan supir pribadi mama Ina."maaf, nyonya. Nyonya besar tak bisa menjemput anda di karenakan saat jni nyonya besar harus terbang ke Taiwan menemani tuan besar untuk mengurus perusahaan yang ada di sana." jelas si supir."ya, tak apa. Berapa lama mama di sana?""saya kurang tahu nyony
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb