"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?"
"Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?"
"Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?"
"Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!"
"Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"
Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?
"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
"Arumi, datanglah kerumah mama!" mama Ina mertua dari Arumi meminta agar menantunya itu berkunjung kerumahnya."Kapan ma? Dan ada apa?" tanya Arumi"Sekarang, nak. Datanglah dulu!" kata mama Ina di sebrang telefon."Tapi, Mas Afif belum datang, Ma. Dia masih di kantor, apalagi sekarang masih siang. Bolehkah Arumi menunggu mas Afif datang dulu, ma?""Gak usah nunggu Afif, kamu sendiri saja! Mama sudah Izinin kamu ke Afif.""Benarkah? Oke baiklah! Arumi siap-siap dulu ya, ma." jawab Arumi bersemangat. Ya, karena memang Arumi adalah gadis yang ceria dengan segala kebaikannya."Iya, Nak. Hati-hati di jalan, ya!""Asiaaap, Maa!"Dengan segera Arumi bersiap-siap menuju rumah mertuanya. Ia menggunakan dres biru laut selutut tanpa lengan yang menampilkan bahu mulusnya. Sedangkan rambut sebahunya ia biarkan tergerai indah. Sedikit polesan make up serta lipstick yang senada dengan warna bibirnya, membuat ia tampak begitu an
Satu jam berikutnya, Arumi sudah sadar dari pingsannya. Perlahan ia membuka mata dan menatap sekeliling, secara perlahan kesadarannya terkumpul penuh. Kejadian-kejadian sebelum ia pingsan mulai muncul di pikirannya hingga tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Sungguh hatinya teramat sakit menyaksikan suaminya mengikrarkan janji suci untuk yang kedua kalinya. Hatinya begitu perih, jiwanya begitu terguncang mendapati kenyataan yang begitu menyakitkan ini.Disini, di dalam kamar ini, ia hanya hanya seorang diri, tak ada satupun orang yang menemaninya. Lagi dan lagi hal ini membuat air matanya mengalir semakin deras. Ia tersenyum miris.'Ah,kenapa ini begitu menyakitkan? Tuhan, kuatkah aku menjalani hari-hariku berikutnya!'Pikirannya kembali melayang pada saat dulu ia pingsan dalam jangka waktu yang lama gara-gara kepergian mamanya di saat usia pernikahannya yang ke empat. Saat itu ketika tersadar ia mendapati Afif berada di sisinya sedang ketidur
REVISISemalaman Arumi tak bisa tidur, air matanya tak jua berhenti membasahi wajah Arumi, sehingga matanya sudah tampak bengkak akibat kelamaan menangis. Afif semalam tak pulang ke rumah, Arumi mengerti jika semalam adalah malam pertama mereka dan saat membayangkan semua itu hatinya menjerit, meronta, meraung-raung agar waktu bisa diulang kembali. Bahkan jika mengikuti bisikan setan, Arumi pasti sudah mendatangi rumah mertuanya itu dan mengacaukan semuanya sehingga malam pertama mereka menjadi gagal. Namun hati nuraninya melarang untuk melakukan itu, ia tak mau mertuanya semakin benci kepadanya. Pun juga tak mau menjatuhkan harga dirinya, ia harus berusaha untuk ikhlas walau terkadang keikhlasan itu tampak begitu mustahil di fikirannya.Biasanya setiap pagi dengan begitu semangatnya ia membuatkan sarapan untuk suami tercintanya sebelum suaminya itu berangkat ke kantor, tapi untuk hari ini Arumi merasa tubuhnya begitu lemas, ia enggan untuk beranjak dari tempat tidur w
KETIKA LUKA MENYAPA4. Tinggal seatap dengan maduPagi ini, Arumi memasak ayam kecap kesukaan Afif, suaminya, karena sekarang adalah waktunya Afif untuk pulang kerumah Arumi. Setelah kemaren suaminya itu menghabiskan waktunya bersama adik madunya tersebut. Kini saatnya Afif menghabiskan waktunya bersama Arumi. Setelah hampir sebulan ia harus rela berbagi suami, kini dihatinya ada setitik keikhlasan untuk berbagi suami. Tak ada lagi tetesan air mata yang keluar karena Afif tak disisinya saat malam menjelang.Arumi begitu asyik berkutat dengan alat alat dapur, ia sangat mahir dalam memasak. Ia kini memasak seorang diri, karena dirumah itu tak ada art untuk membantu pekerjaan rumah, sebenarnya Afif sudah mengusulkan agar mereka memasang art, tapi Arumi menolak dengan alasan agar ia tak bosan dirumah. Sebenarnya Arumi memiliki sebuah salon kecantikan. Namun karena permintaan Afif, agar Arumi berdiam saja dirumah, akhirnya Arumi menyerahkan kepengurusan salonnya kepa
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb