Share

7. Mama Ina

last update Last Updated: 2021-09-08 14:52:40

KETIKA LUKA MENYAPA

7. MAMA INA

Dinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina.

"eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina.

"kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah.

"iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,"

"terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?"

"emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?"

"iya juga sih,"

"eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,"

"kamu masak sendirian?"

"iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,"

"iya,"

"mama istirahat dulu gih,"

setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesukaan Arumi berharap siang ini Arumi pulang dan mau makan siang bersama, juga memasak soup ayam kesukaannya dan di tambah udang crispy kesukaan mama Ina. Selesai memasak ia menghidangkan masakannya di meja makan dan segera memanggil mama Ina untuk menemaninya makan siang.

Mereka kini sudah ada di meja makan, saat hendak menyendokkan nasi ke piring terdengar suara salam menghentikan aktivitas mereka.

"assalamualaikum,"

"waalaikumsalam," jawab Dinda sambil menuju ruang tamu, sedangkan mama Ina melanjutkan makannya.

"eh, mbak udah datang, ya udah yuk kita makan siang dulu," ya, yang datang adalah Arumi. Besar harapan Dinda agar kembali dekat dengan sang kakak. Namun ia sadar tak mudah bagi Arumi untuk menyembuhkan lukanya.

"mbak udah makan, Din,"

"mbak, apakah mbak jijik makan masakanku?"

Arumi menatap dalam mata Dinda, sungguh kasih sayangnya masih sama seperti dulu kepada adiknya ini, tapi luka itu masih belum sembuh dan menutupi kasih sayangnya kepada Dinda.

"bukan begitu, tapi tadi mbak sudah makan siang sama Maya,"

"baiklah, mbak,"

"aku keatas dulu,"

Dinda hanya mengangguk dan kembali ke meja makan. sedangkan Arumi kini melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, bukan karena jijik, tapi selera makannya kini hilang pun kepalanya yang masih terasa sedikit pusing membuat ia ingin segera beristirahat. Namun saat hendak menaiki tangga ia menoleh ke ruang makan dan mendapati mama Ina sedang makan siang disana.

"eh, ada mama, apa kabar ma?" sapa Arumi sambil menyalami mertuanya tersebut.

"dari mana ajah kamu? main ninggalin Dinda sendirian di rumah, seorang istri itu harusnya di rumah gak usah keluyuran. Mentang mentang ada Dinda kamu seenaknya keluar rumah, mau kamu jadikan anakku pembantu, heh?" bukannya menjawab pertanyaan Arumi, mam Ina malah memarahi Arumi.

"ma, aku ke salon tadi, aku juga udah bilang kok ke mas Afif,"

"kamu berani menjawab perkataanku, Arumi! dasar mantu durhaka!" nada bicara mama Ina kini naik satu oktaf

"maaf, ma, aku gak bermaksud menjadi mantu durhaka, aku hanya menjawab pertanyaan mama,"

plak

satu tamparan mendarat di pipi Arumi, membuat tubuh Arumi oleng karena kepalanya pun masih pusing di tambah tamparan keras dari mama mertuanya ini. Ya, sudah sering Arumi mendapatkan tamparan dari mama Ina.

tanpa pamit Arumi segera menaiki tangga dan dan memasuki kamarnya, air matanya luruh merasakan sakit di pipinya juga sakit dihatinya karena kata kata kasar dari sang mertua.

"heh, mau kemana kamu? dasar perempuan sundal, mandul, gak ada akhlak, kurang ajar!" sakit! tentu saja sakit saat kata kata itu terlontar dari mulut mertuanya, bukan hanya sekali sudah sering ia dikatan mandul oleh mertuanya. Tapi Arumi bisa apa, ia hanya bisa pasrah dan memaafkan sang mertua dan berharap suatu saat mertuanya itu mau menerimanya.

"ma, sudah ya, kasian mbak Arumi, ma.  Dia pasti capek baru datang dari salon,"

"wanita seperti itu gak pantas di kasihani,"

"ma, udah ya, sekarang mama istirahat ajah deh!"

Dinda pun mengantar mama Ina ke kamar tamu, setelah itu, ia menyusul Arumi ke kamarnya berharap hubungannya dengan Arumi segera membaik.

****

Arumi merebahkan badannya di kasur dengan telungkup, ia menangisi takdirnya, keratapi hidup yang terasa tak adil baginya.

"mbak," panggil Dinda dari depan pintu

"masuk!" kata Arumi sambil menghapus sisa sisa air mata dan duduk di tepi ranjang.

Dinda pun masuk dan tanpa di duga Dinda bersimpuh di kaki Arumi.

"apa yang kamu lakukan, Dinda?"

"mbak, maafkan Dinda mbak, maafkan Dinda sudah merusak rumah tangga mbak, maafkan Dinda yang sudah membuat mbak terluka, maafkan Dinda yang sudah merebut kebahagian mbak, maafkan Dinda mbak,"

"bangunlah! jangan seperti ini!"

"nggak! sebelum mbak maafin Dinda, Dinda nggak bakalan bangun,"

"Dinda, bagunlah! jangan membuat aku merasa seolah olah aku yang paling jahat,"

Dinda masih enggan untuk berdiri, membuat Arumi memegang kedua bahu Dinda fan berusaha membantu adik madunya itu berdiri, tanpa Dinda duga ternyata Arumi memeluk erat Dinda tangis Arumi pun pecah di pelukan Dinda, begitupun Dinda tangis kesuanya pecah.

"Dinda, kasih sayang mbak sama kamu tetap sama seperti dulu, tapi sekarang mbak masih butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini,"

"jadi, mbak gak benci sama Dinda?"

"nggak dek, mbak gak benci sama kamu, hanya saja mbak......... kecewa,"

"Dinda benar-benar minta maaf mbak, maafkan Dinda,"

"mbak, izinkan Dinda menceritakan yang sebenarnya, agar mbak gak terus terusan membenci mas Afif,"

"cerita yang mana yang tidak aku ketahui, Dinda?"

flashback on

Pagi buta mama Ina sudah membangunkan Dinda, memintanya untuk segera mandi. Selesai mandi, saat keluar dari kamar mandi, Dinda di kaget kan dengan keberadaan beberapa perempuan di kamarnya membawa beberapa kotak kecil dan besar, ada pula yang menghias tempat tidurnya.

"eh, ada apa ini?"

"ah, mbak sudah selesai ya mandinya, sini duduk biar kami rias dulu," kata salah satu dari mereka

"lah, buat apa di rias, emangnya ada acara apaan? ntu lagi tempat tidurku, kenapa di taburin bunga segala kek kamar penganten ajah,"

"aduuuh, mbaknya ini gimana sih, jelas-jelas mbaknya yang mau nikah, malah bingung sendiri,"

"lah, siapa yang mau nikah, boro-boro mau nikah, calon ajah kagak ada, salah orang kali nih mbak-mbak nya,"

saat Dinda kekeuh menolak untuk dirias, mama Ina memasuki kamarnya

"lah, Dinda! kok Dindanya belum dirias sih?"

"mbaknya gak mau, nyonya,"

"Dinda, cepetan duduk dan turuti apa kata mereka!"

"mah, ini maksudnya apaan sih?"

"gak usah banyak tanya, kamu ingat kalau dulu mama pernah mengatakan 'apapun yang menjadi keinginanku maka aku harus mendapatkannya' kamu ingat itu, putriku sayang?"

"mah, jangan bilang..."

"yups! kamu memang bener-bener pinter ternyata. ya udah kalau udah tau cepetan duduk dan gak usah banyak protes,"

"mah, gim...."

belus selesai Dinda bertanya, mama Ina tampak menghubungi seseorang.

"halo Afif,"

"iya ma?"

"kamu ada dimana?"

"Afif lagi dalam perjalanan mau berangkat ke kantor,"

"mama boleh minta tolong nggak?"

"minta tolong apa, mah?"

"mama mintar antar bentar dong ke butik, soalnya papa udah berangkat dari pagi,"

"kok gak minta antar sama supir, ma?"

"supir mama lagi cuti, dia lagi sakit,"

"oh, oke tunggu bentar ya, ma!"

"terimakasih, nak,"

"sama-sama, ma,"

Afif memutar balikkan mobilnya dan segera menuju ke kediaman orang tuanya, sesampainya disana Afif heran kenapa rumahnya tampak ramai dan ruang tamu di penuhi dengan dekor. Bahkan semua keluarganya hadir di sini kecuali Oma dan opa ya yang berada di luar negeri.

"siapa yang mau menikah, ma? tadinya mama bilang mama mau minta antar ke butik," tanya Afif saat memasuki rumahnya.

"Dinda, Fif,"

"lah kok gak ngundang Afif sama Arumi, ma? terus kok gak di beri tahu jauh jauh hari ma?"

"udah mama kasih tahu kok dari jauh jauh hari,"

"memangnya Dinda mau nikah sama siapa ma?"

"kamu!"

"ap-apa maksud mama?"

"dulu kan mama udah bilang, kamu harus nikah sama Dinda supaya kalian bisa beri mama fan papa cucu,"

"udahlah ma, gak usah bercanda, candaan mama nggak lucu."

"siapa yang bercanda? udah sana gih cepetan ke kamar Dinda buat ganti baju,"

"mama makin ngawur deh ngomongnya," kesal Afif sambil berjalan menjauh hendak pulang.

"Afif, mau kemana kamu?"

"kalau kamu gak nurutin mama, siap-siap kamu melihat mayat mama sekarang juga!"

Afif menghentikan langkahnya dan menoleh ke mama Ina yang entah dapat dari mana, mama Ina sudah memegang pisau yang hendak di goreskan ke tangannya.

"mama gila!!"

"ya, mama memang gila karena kamu gak bisa beri mama cucu!"

Afif menghampiri mamanya dan hendak merebut pisau yang ada di tangan mamanya itu. Disana bukan tak ada orang, tapi semua keluarganya hanya diam saja tak ada yang berniat untuk ikut campur, bahkan untuk menghentikan aksi mama Ina yang hendak menyayat tangannya itu mereka terasa enggan.

"jangan mendekat, jika kamu gak mau menuruti kata kata mama!"

"ma, please jangan seperti ini, Afif gak mau menyakiti Arumi ma, Afif sangat mencintainya, ma."

"mama gak mau tau," acuh mama Ina sambil menekan pisau hingga tangganya mulai sedikit tergores.

"ma," lirih Afif sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

melihat pergerakan mama Ina yang tampak semakin menekan pisau, membuat Afif kelabakan dan terpaksa menyetujui.

"ma, oke oke oke. oke Afif mau, puaass!!!"

mama Ina menyeringai mendengar jawaban Afif,

"sangat puas,"

Afif memasuki kamar miliknya yang ada disana, perasaannya bercampur aduk.

"aaaaarrrggggggghhhhhh, mama jahaaaaat!!!!"

"Arumi, maafkan mas sayang, jangan membenci mas,"

akhirnya pernikahan itu pun terjadi, yang menciptakan sesal yang teramat dalam di hati keduanya.

flashback off

******

🙏🙏🙏🙏 semoga masih ada yang suka.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Zakiya Paundra
gak mau nikah tapi langsung tidur brg
goodnovel comment avatar
Sriyanti Ela
kok ngk bisa di buka iklannya kak,mulai ke marin malam padahal data ku masih ada
goodnovel comment avatar
Widia Wati
lbh baik arumi~cerai aja,,, knl pelakor yg happh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ketika Luka Menyapa   8. Mulai Terbagi

    Ada perasaan menghangat di hati Arumi saat mendengar cerita dari Dinda, ternyata suaminya terpaksa menikah lagi karena kelicikan sang mertua, tapi bersamaan rasa itu, ada juga rasa sakit yang mendera takut jika suaminya akan mencintai Dinda, cepat atau lambat. Ah, atau mungkin sekarang Afif sudah mulai mencintai madunya ini? sehingga Afif mengajak Dinda tinggal bertiga dengannya."mbak," panggilan menghentikan lamunan Arumi"ah, iya?""apakah kita tidak bisa untuk akur seperti semula?" Tanya Dinda penuh harap."maaf, Din, mbak masih butuh waktu," lirih Arumi"huft, baiklah mbak, aku mengerti,""terimakasih," tak lupa senyuman yang begitu tulus Arumi berikan kepada Dinda."aku ke kebawah dulu, mbak," pamit Dinda yang di jawab anggukan oleh Arumi.selepas

    Last Updated : 2021-09-13
  • Ketika Luka Menyapa   9. Tiket Bulan Madu Dari Mama Ina

    Sebelum mereka keluar, Arumi cepat-cepat turun agar mereka gak tahu kalau Arumi tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka. Tak lama setelah Arumi duduk di kursi, keduanya sudah turun dan duduk berseberangan dengannya."kok lama banget?" tanya Arumi pura-pura gak tahu."eh, ehm, ma-maaf mbak,""lah, aku nanya kenapa lama kok malah minta maaf sih,""tadi mas masih minta Dinda buat pasangin dasi, mas,""oh,""maaf, mbak,""gapapa kok, justru bagus dong, agar mas Afif gak selalu bergantung padaku, agar saat aku pergi...ups," Arumi menutup mulutnya saat ia keceplosan mengatakan pergi."apa maksud kamu bicara seperti itu, dek?""ah, nggak mas, maksud aku kalau aku terburu-buru pergi salon, jadinya ada yang gantiin aku ngurus kam

    Last Updated : 2021-09-14
  • Ketika Luka Menyapa   10. Semain Terluka

    Hari ini adalah hari keberangkatan Afif dan Dinda untuk melakukan bulan madu. Sungguh Arumi sangat iri pada Dinda yang bisa melakukan bulan madu, karena dirinya dulu tak pernah di ajak bulan madu oleh Afif, karena waktu itu, keadaan ekonomi tak seperti sekarang, yang serba kecukupan bahkan berlebihan. Sedangkan kedua orang tua Afif yang memang sudah kaya sejak awal, mereka enggan untuk sekedar membelikan tiket bulan madu untuk Afif dan Arumi.Yah, kedua orang tua Afif memang tak merestui hubungan mereka sejak awal, pernikahan mereka terjadi karena Afif meng iming imingi kedua orang tuanya dengan cucu, Afif berjanji akan segera memberikan kedua orang tuanya seorang cucu. Dengan terpaksa kedua orang tua Afif memberikan mereka izin untuk menikah, dengan syarat mereka harus memberikan seorang cucu dalam waktu satu tahun. Afif dan Arumi sangat bahagia karena restu sudah mereka dapatkan dari kedua orang tua Afif. Pernikahan pun terjadi, dan Afif serta Arumi

    Last Updated : 2021-09-16
  • Ketika Luka Menyapa   11. Kedatangan yang tak tepat waktu

    Berulang kali Andra berusaha menghubungi Arumi, akan tetapi, panggilannya selalu di tolak dan pesannya pun di abaikan oleh Arumi. Andra sangat khawatir kepada Arumi, karena hari seharusnya jadwalnya untuk kemo, tapi Arumi tak kunjung bisa di hubungi. Bahkan dari deringan yang kesekian kalinya, nomor Arumi sudah tak aktif."Arumi, ku mohon datanglah! aku gak mau kehilangan kamu, Ar."Sedangkan Arumi kini tengah meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang tak hentinya mengalir, hatinya di selimuti kecemburuan yang begitu besar. Apalagi seseorang selalu mengiriminya foto kemesraan Afif dan Dinda. Sungguh ia tak kuat dan tak mau jika harus berbagi suami, ia sangat mencintai Afif, ia hanya ingin Afif menjadi miliknya satu-satunya.Terhitung sudah lima hari Afif dan Dinda berbulan madu, dan selama itu pula, Arumi tak pernah beranjak dari tempat tidurnya. Ia begitu menikmati rasa sakit pada jiwa da

    Last Updated : 2021-09-19
  • Ketika Luka Menyapa   12. Rambutku mulai tontok

    "mas, besok kita sudah pulang, gak nyangka ya kita udah hampir satu Minggu di sini." kata Dinda sambil bersandar di bahu Afif sebelum mereka menyelam ke alam mimpi."iya, sayang. apa kamu masih betah disini? kalau masih betah mas akan perpanjang waktu kita disini." tanya Afif sambil membelai rambut Dinda."nggaklah, mas. kasian mbak Arumi di rumah sendirian,"degMendengar nama Arumi di sebut, Afif teringat sesuatu bahwa selama mereka di sini, tak sekalipun Afif menghubungi istri pertamanya itu. Ah, dasar pria bodoh! mentang-mentang ada yang baru dia sampai melupakan istri pertamanya itu. Kenapa ia bisa menjadi pria pikun?Afif kini melamun, akankah istrinya itu mau memafkannya? akankah Arumi memahami posisinya? akankah Arumi mau mengerti? ataukah Arumi memang pengertian sehingga wanita itu tak pernah menghubunginya? yah, opsi yang terakh

    Last Updated : 2021-09-21
  • Ketika Luka Menyapa   13. Berhenti Untuk Selalu Meminta Maaf, Mas

    happy reading✨✨✨Arumi sedang bersiap siap untuk pulang kerumah, setelah melewati perdebatan panjang dengan dokter yang tak mengizinkannya untuk pulang di karenakan kondisinya belum sepenuhnya membaik, dengan keras kepalanya seorang Arumi, akhirnya membuat dokter itu mengalah. Biasanya Andra yang menangani Arumi, tapi untuk hari ini dan seminggu kedepan Andra mendapatkan shift malam, jadi dokter Gani kah yang menggantikan Andra untuk menangani Arumi. Kini Arumi tinggal menunggu mama Ina menjemputnya.Seseorang masuk ke dalam ruangan Arumi, yang ternyata merupakan supir pribadi mama Ina."maaf, nyonya. Nyonya besar tak bisa menjemput anda di karenakan saat jni nyonya besar harus terbang ke Taiwan menemani tuan besar untuk mengurus perusahaan yang ada di sana." jelas si supir."ya, tak apa. Berapa lama mama di sana?""saya kurang tahu nyony

    Last Updated : 2021-10-04
  • Ketika Luka Menyapa   14. Berusaha Menerima

    happy reading✨✨✨Setelah selesai dengan perdebatan mereka yang memakan waktu cukup lama, Arumi memilih untuk turun kebawah untuk menyiapkan makan siang karena sekarang sudah waktunya makan siang. Afif mengekor di belakang Arumi.Setibanya di dapur, ternyata disana sudah ada Dinda yang hendak mengeluarkan beberapa bahan masakan yang hendak ia masak untuk makan siang, mungkin Dinda baru saja tiba di sana. Dinda tak menyadari kehadiran Afif dan Arumi."Din," sapa Arumi kepada Dinda yang membuat wanita itu terlonjak kaget."Eh, mbak,""Gak usah tegang gitu, biasa ajah." kata Arumi seolah tak ada apa apa di antara mereka."Ehm, i-iya mbak," jawab Dinda gugup dan berusaha tersenyum."Mau masak, kan?""Iya, mbak,""Ya udah yuk, kit

    Last Updated : 2021-11-23
  • Ketika Luka Menyapa   15. Siapa Yang Hamil?

    Happy reading✨✨✨Harap tahan emosi baca part yang ini!!!🤭🤭Tiga bulan sudah Arumi, Afif dan Dinda tinggal dalam satu atap. Merekapun sudah semakin rukun dan tak ada lagi kecanggungan yang tercipta saat mereka berkumpul. Walau masih ada rasa cemburu pada keduanya -- Rumi dan Dinda -- saat Afif bersama salah satu dari mereka, tapi rasa itu tak menyurutkan niat hati untuk berusaha seikhlas mungkin menerima.Arumi masih tetap dengan mengonsumsi obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakitnya jika se waktu waktu kambuh. Tak ada yang tahu penyakitnya kecuali dokter Andra, mama Ina dan Maya. Sungguh apik Arumi menyimpan sakitnya dari orang-orang yang tinggal seatap dengannya, ia tak mau membebani suami dan madunya. Arumi ingin menikmati masa masa bahagia bersama mereka tanpa ada beban yang mereka tanggung. Sebenarnya, dokter Andra sudah menyarankan untuk operasi pengangkatan sel kanker, tapi Arumi meno

    Last Updated : 2022-01-22

Latest chapter

  • Ketika Luka Menyapa   12. Selesai

    "Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada

  • Ketika Luka Menyapa   11. Memperjuangkan Kesetiaan

    Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb

  • Ketika Luka Menyapa   10. NEGATIF

    "Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi

  • Ketika Luka Menyapa   9. Menunggu kepulangan Arfan

    Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t

  • Ketika Luka Menyapa   8. Pengusiran

    "Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp

  • Ketika Luka Menyapa   7. Terbangun Dari Tidur Panjang

    Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer

  • Ketika Luka Menyapa   6. Malam Yang ....

    "Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F

  • Ketika Luka Menyapa   5. Keputusan Fika

    "Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal

  • Ketika Luka Menyapa   4. Pasrah

    "Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb

DMCA.com Protection Status