Happy reading✨✨✨"Bagaimana keadaan anak saya di dalam dok?" tanya Afif begitu antusias."Bayinya sehat pak, buk. Usianya memasuki Minggu ke enam. Untuk ibu hamil pada trimester pertama itu kehamilannya masih rentan, jadi buat ibu Dinda harus banyak istirahat dan jangan mengangkat beban yang berat-berat. Untuk mual muntah sudah hal yang biasa bagi ibu hamil, biasanya itu berlangsung sampai akhir trimester pertama, pada trimester ke dua sudah tak akan mengalami gejala mual muntah.""Terimakasih dok, penjelasannya.""Apa ada yang mau di tanyakan?""Tidak ada dok,""Oke kalau nggak ada, ini saya kasih resep untuk di tebus di apotik ya pak,""Terimakasih dokter, kami permisi,""Sama-sama pak, silahkan,"Afif dan Dinda pun keluar
Hari sudah menjelang malam, dan sudah tiba waktunya untuk makan malam, setelah ia menghabiskan waktunya bersama Dinda dan calon anak mereka, mereka merasa lapar, Dinda yang hendak memasak di larang oleh Afif karena gak mau dia kecapean. Afif hendak menaiki tangga menuju kamarnya dan Arumi, untuk meminta istri pertamanya itu memasak, tapi suara Dinda membuatnya mematung dengan jantung yang berdetak kencang."Mas, bu-bukannya mbak Arumi masih di rumah sakit?"Rasa bersalah kembali menguasai hatinya, sungguh teganya seorang Afif meninggalkan istrinya itu di rumah sakit. Ia sampai melupakan keadaan istrinya yang belum ia ketahui kabarnya. Dari pagi ia melupakan istri pertamanya itu, mengabaikan tanggung jawabnya akibat berita kehamilan Dinda yang membuat ia begitu bahagia dan lupa daratan. Bukan hanya sejam dua jam Afif melupakan Arumi, melainkan Berjam jam yang ia tak mengingat Arumi, ia pun lupa jika sekarang mungkin Arumi be
Simalakama, mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan perasaan Afif saat ini. Sungguh perasannya bingung harus pilih yang mana? kedua istrinya sama-sama membutuhkan kehadirannya. Jika ia pulang maka Arumi akan sendirian disini dan tentunya Arumi akan semakin terluka dan jika tak pulang tentunya Dinda sangat membutuhkan kehadirannya untuk menghadapi gejala morning sickness pada trimester pertama kehamilan nya. Ia tak mau menyakiti hati kedua wanita yang kini sama sama ia cintai, apa yang harus ia lakukan?Sekian menit ia berfikir, ia menatap punggung Arumi, entah apa yang ia pikirkan sehingga Afif memutuskan keluar dari ruangan Arumi dan melangkah menjauhi ruangan tempat dimana Arumi di rawat.Merasa ada suara pintu di tutup, Arumi yang memang belum tidur membalikkan badannya dan tak mendapati Afif ada di sana."Kamu benar-benar pulang, mas. Ternyata aku memang tak lagi berarti untukmu. Ah,
Pagi buta, Arumi sudah bangun untuk menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Selesai melaksanakan kewajiban, ia turun untuk membuat sarapan, setibanya di dapur, ia tak mendapati Dinda ada di sana. Dilihat dari pintu kamarnya pun tak ada tanda tanda pintu itu akan di buka, Arumi tak mempermasalahkan itu, ia segera menuju kulkas yang ada di samping pintu masuk dan mengambil beberapa bahan masakan mentah untuk di olah menjadi makanan untuk sarapan. Di pertengahan memasak, bel rumah berbunyi pertanda ada tamu, Arumi sedikit berlari menuju pintu dan membukakan pintu untuk tamunya. Seorang wanita paruh baya dengan menenteng tas ukuran sedang berada di hadapan Arumi."Maaf, nyonya. Apa benar ini rumah nyonya Arumi?""Ya, benar. Saya sendiri, ibu ini siapa ya?""Saya Yuni, yang di mintai Bu Maya untuk menjadi ART di rumah ini,""Owwh, ibu toh orangnya, mari masuk Bu, ya
Kurang lebih sekitar dua jam perjalanan telah mereka tempuh dan mereka sudah tiba di singapura, sekarang mereka sedang berada di dalam taksi untuk menuju rumah sakit. Tiga puluh menit kemudian, Arumi, Andra dan Tante Rita sudah sampai di rumah sakit SINGAPURE. GENERAL HOSPITALSesampainya di RS SGH, mereka bertiga disambut oleh dokter Darryl Aditya, seorang dokter muda spesialis kanker. Ya, sebelumnya Dokter Andra sudah memberitahukan kepada dokter Darryl perihal kedatangannya, sehingga dokter Darryl bisa meluangkan waktunya saat calon pasiennya akan tiba."Selamat datang dokter Andra," sapa dokter Darryl kepada Andra"Terimakasih, dokter Darryl,""Mari ikut keruanganku terlebih dahulu,""Baiklah,"Mereka pun menuju ruangan dokter Darryl, sesampainya di ruangan dokter Darryl, mereka di persilahkan duduk di seb
Tanpa terasa sudah tiga Minggu Arumi di rawat di RS Singapura General Hospital, keadaannya perlahan membaik. Namun, saat ini Arumi masih kesulitan untuk bicara, efek yang timbul pasca operasi membuat ia kesulitan bicara serta wajah yang tampak bengkak. Hal itu sudah biasa terjadi pada pasien yang baru selesai melakukan operasi kanker otak, tapi itu tak akan berlangsung lama, lambat laun keadaan pasien akan kembali normal seperti sediakala.Tante Rita sudah pulang ke Indonesia karena ada masalah di kantornya. Semenjak papa Noval -- papanya Andra -- meninggal dunia karena serangan jantung, Tante Ritalah yang mengambil alih kepemimpinan perusahaan milik suaminya itu. Tak mungkin jika Andra yang harus mengurus perusahaan, karena anaknya itu sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter."Tante gak akan lama, secepatnya Tante akan kembali," begitu kata Tante Rita kepada Arumi sebelum ia pulang ke Indonesia.
Sudah lima hari semenjak pesan balasan terakhir dari Afif yang mengatakan bahwa Afif tak akan peduli lagi kepadanya.Benar saja, semenjak saat itu, Afif tak pernah lagi menghubungi Arumi. Mengingat semua itu, Arumi tersenyum getir, malang nian nasibnya.Semenjak lima hari ini, Arumi tampak murung, enggan membuka suara bahkan saat di ajak ngobrol pun Arumi hanya menjawab seperlunya. Semua ini membuat kondisinya kembali drop karena semangat hidupnya telah hilang, tak ada lagi gairah untuk melanjutkan hidup.Bagaimana mungkin Arumi akan menerima dengan lapang dada atas semua perlakuan suaminya itu, mengingat sudah delapan tahun menjalani suka dukanya rumah tangga bersama, bahkan sebelum hadirnya Dinda di antara mereka Afif tak pernah mengabaikannya bahkan membentaknya pun tak pernah. Rasa cinta lelaki itu teramat besar kepada Arumi. Tak mudah untuk ikhlas, pun tak mudah untuk membenci.E
Tak lama setelah Darryl mengungkapkan perasaannya, entah kebetulan atau memang keajaiban Arumi menggerakkan jari jemarinya dan perlahan matanya terbuka. Darryl, adalah sosok pertama yang ia lihat saat membuka mata."Ar, kamu sudah sadar?""Kamu mau minum atau mau makan? Bagian mana yang sakit?"Arumi hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Darryl. Kemudian Darryl memeriksa kondisi Arumi dan ia bersyukur Arumi sudah mulai membaik. Hingga tanpa sadar Darryl memeluk Arumi yang kini masih terbaring.DegEntah kenapa jantung Arumi berdetak tak karuan dengan pelukan tiba-tiba dari darryl."Eh, mm maaf, aku refleks. Aku terlalu senang kau sudah sadar dan kondisimu sudah membaik,""Iya tak apa, terimakasih sudah merawat saya dokter Darryl,"
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb