Afif sampai di rumahnya tepat pada pukul 19.24 WIB. Saat menekan bel, ia di sambut oleh BI Yuni yang tengah membukakan pintu untuknya."Bi, bagaimana keadaan Dinda?" tanya Afif"Nyonya tetap tidak mau keluar dan tidak mau makan tuan," lapor Bi Yuni seraya menunduk."Baiklah, bi. Saya ke kamar dulu," pamit Afif kepada ART nya itu."Silahkan tuan!"Afif pun melangkahkan kakinya menuju kamar Dinda, belum jauh ia melangkah bi Yuni memanggilnya"Ada apa bi?" tanya Afif sambil menolehkan kepalanya."Emm, nyo-nyonya Arumi dimana tuan?"Wajah Afif berubah menjadi murung mendapat pertanyaan seperti itu dari BI Yuni."Aku belum sempat ketemu dengannya, bi," lirih Afif dengan wajah sendunya."Astaga, tuan.
Arumi, Andra, Tante Rita dan Silvin kini sudah ada di bandara untuk kembali ke tanah air. Seminggu yang lalu, Silvin menyusul Andra ke Singapura karena kangen dan sekalian untuk berlibur. Mereka sedang ada di cafe di dekat bandara untuk mengisi perut sebelum sejak berikutnya mereka akan melakukan penerbangan ke Indonesia. Tak lupa Darryl ikut serta makan bersama mereka karena Darryl mengantar mereka ke bandara. Berat rasanya bagi Darryl berpisah dengan wanita yang telah mencuri hatinya itu. tapi apa boleh buat, wanita pujaannya itu telah bersuami dan tak ada niatan dihatinya untuk merusak rumah tangga wanita pujaannya itu.Tiga jam kemudian, Mereka sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Mereka memesan taksi untuk mengantar mereka pulang. Arumi sudah di tawari oleh mereka untuk mengantarnya sampai pulang, tapi Arumi tak mau dan ia sudah meminta Maya untuk menjemputnya."Tante, Andra, Silvin terimakasih sudah meneman
Arumi perlahan membuka matanya, menatap jam dinding yang ada ujung tempat tidur, perlahan ia berusaha memindahkan sebuah lengan kekar yang melingkar di pinggangnya, bukannya lepas, tangan itu malah semakin erat memeluknya. Membuat Arumi kesulitan untuk bernafas. Arumi berusaha membuka tangan Afif, tapi tetap saja, tangan itu melingkar dengan kuat di perutnya."Mas, pindahkan tanganmu, aku mau mandi," pinta Arumi."Diem dulu, sayang." kata Afif degan suara seraknya."Mas, udah lah. Kalau kamu masih mau tidur ya tidur ajah, aku mau bangun, mau mandi, gerah!""Bentar ajah," kata Afif sambil mempererat pelukannya."Udah malam ini, mas. Bentar lagi makan malam, lagian aku udah laper banget nih,""Iya-iya, tapi mandinya berdua, ya?" Kata Afif sambil menarik turunkan alisnya."Serah!"
Kehangatan yang Arumi rasakan dalam rumah tangganya tak berlangsung lama, dua Minggu setelah kepulangannya dari Singapura, Afif selalu menunjukkan sikap posesifnya terhadap Dinda dan calon anak mereka. Kerap kali Afif menyalahkan Arumi atas keadaan Dinda yang kurang sehat. Berusaha memaklumi, tapi hatinya menolak keras, selalu rasa sakit yang ia rasakan saat suaminya itu lebih condong ke madunya.Seperti saat ini, Art rumah yang sedang mengambil cuti karena anaknya yang sakit, Arumi harus mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri tanpa sedikitpun bantuan dari Dinda, karena di larang oleh Afif."Dinda, bisa bantuin mbak bawa masakan ini ke meja makan?" pinta Arumi saat melihat Dinda dan Afif sudah duduk di meja makan, sedangkan dirinya masih sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka."Bisa, mbak""Sayang, kamu harus ngerti dong kalau Dinda itu gak boleh kecapean, kam
Happy reading✨✨✨Setibanya di rumah Maya, Afif langsung menekan bel dan pintu terbuka menampilkan sosok Maya yang sudah menggunakan baju tidur."Dimana Arumi?""Silahkan masuk, tuan. Nona ada di kamar saya.""Bolehkah aku menghampirinya?""Silahkan tuan!"Maya mengantar Afif ke kamarnya yang mana di sana terdapat Arumi yang tengah terlelap. Setelah itu, Maya meninggalkan mereka berdua menuju dapur untuk membuatkan Afif minuman.Afif menghampiri Arumi yang tengah terlelap, ia membelai wajah Arumi rasa bersalah menghantui dirinya."Sayang, bangun." kata Afif membangunkan Arumi sambil menepuk pelan pipi Arumi.Arumi melenguh dan perlahan membuka matanya, di lihatnya wajah Afif yang begitu dekat dengan wajahnya. 
Hari sudah pagi, hanya di temani Maya dan Andra, keadaan Arumi semakin kritis. Sampai saat ini, Arumi belum juga sadarkan diri. Membuat kedua orang itu sangat khawatir.Waktu sudah menunjukkan pukul Dua belas, tapi Afif belum ada tanda tanda akan datang."Dokter Andra, apakah tuan Afif harus kita beritahu tentang keadaan nona Arumi yang sesungguhnya?""Ku rasa tak perlu, dia tak mungkin peduli kepada Arumi. Aku tak ingin Arumi semakin terluka.""Lalu, apa yang harus kita katakan kalau dia datang?""Aku akan membawanya pulang ke rumahku, dia akan di rawat di rumah. Aku akan meminta agar alat alat yang di butuhkan Arumi di bawa ke rumah serta beberapa suster yang akan menjaganya.""Baiklah, dokter, saya setuju. Saya juga ingin nona Arumi bahagia. Lakukan yang terbaik untuk nona Arumi, untuk biayanya laporkan saj
Setelah di nasehati panjang kali lebar oleh mama Ina, Afif pun berangkat mencari Arumi. Tempat yang ia datangi pertama kali adalah rumah Maya. Tapi nihil, di sana Afif tak bertemu dengan siapa pun, rumah Maya tampak sepi tak berpenghuni. Selanjutnya ia menuju salon milik Arumi, Afif juga tak mendapati Arumi di sana. Afif hampir stres mencari Arumi, nomornya pun tak aktif sama sekali membuat Afif semakin cemas.Afif memilih pulang untuk mengecek apakah Arumi sudah ada di rumah atau tidak. Namun keadaan rumah sama seperti terakhir kali ia tinggali, sunyi dan sepi."Arumi, kamu di mana sayang? Maafkan mas yang sudah menyakiti kamu, maafkan sikap mas yang tidak adil. Pulanglah, sudah cukup kemaren selama tiga bulan kamu ninggalin mas, dan sekarang jangan lagi."Hari berganti Minggu, dan Minggu berganti bulan. Satu bulan sudah Arumi pergi tanpa kabar. Satu bulan sudah Afif mencoba mencari keberadaan
Setelah Darryl keluar dari kamarnya, Arumi tak benar benar tidur, ia merenung memikirkan nasib rumah tangganya kedepannya. Ia bukan istri yang sempurna, tak bisa berbuat apa apa untuk sang suami, ia tak bisa memberikan kebahagiaan bagi suaminya, dan ia sudah tersingkir dari hati sang suami. Cinta dan kasih sayang yang Afif katakan tak akan pernah berubah meskipun ada Dinda, itu hanyalah bualan belaka. Apalagi semenjak Dinda hamil, kasih sayang Afif sudah bukan lagi kepadanya. Dirinya sudah tidak lagi menjadi prioritas suaminya. Kehadiran Dinda dan calon buah hati mereka mampu mengalihkan dunia Afif dari Arumi.Air mata sudah menjadi teman setianya saat ini. Beban fikiran dan tekanan batin, membuat kondisinya tak kunjung membaik. Luka di hatinya seakan memaksanya untuk berhenti berjuang melawan penyakitnya. Luka itu seolah mengajak Arumi untuk mati bersamanya. Pergi meninggalkan dunia sambil memeluk luka.Tidak! Ia tak boleh
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb