Bab 124. Candu Asmara Yang Kuberikan, Begitu Memabukkan
“Diva tidak memilih siapa-siapa, Ma. Diva mau sendiri saja. Pergilah! Kapan-kapan, Diva pasti akan jenguk Mama!”
Mama berangkat dengan air mata berderai-derai, iba, sungguh hati iba. Namun, sesak karena luka yang ditoreh Embun lebih menyiksa.
Kuraih ponselku, mencari nomor kekasihku.
“Mas, Mama mau pergi. Kata Papa, rumah ini akan segera disita perusahaan tempat dia bekerja. Divamu akan tinggal dimana, Sayang? Aku ikut Mama aja, ya. Kita berpisah dulu!”
Kalimatku jelas mengandung ancaman. Dan Lelaki itu merasa terancam. Tentu saja. Dia akan kehilangan gadis sempurna seperti aku? Mana mungkin dia sanggup berpisah?
Candu asmara yang kuberikan, begitu memabukkan. Tak akan mampu dia lepaskan meski sede
Bab 125. Tak Perlu Pakai Otot, Cukup Gunakan OtakUps! Gila!Dia memanggilku ‘Nak’. Terbuat dari apa otak perempuan ini, Ya, Tuhan!“Oh, ya, kamu udah sarapan? Mas Rahmad tiap pagi sarapan di sini, lho. Kamu juga boleh, kalau mau. Mama akan menyuruh Indun utuk menyiapkannya,” tawar Diva lagi. Senyum sinis semakin jelas terukir si sudut bibirnya.Aku harus waras. Ya, harus waras. Jangan gegabah Embun! Sabar! Pikirkan cara yang paling tepat menghadapi pelacur murahan ini, ya!Kutentramkan hati, kutenangkan pikiran. Lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas sandang, kucari nomor Dokter Danu.“Mau nelpon siapa, Sayang? Kekasihmu? Si Pecundang, Darry? Iya? Hehehe …. Telponlah! Mama juga sudah kangen! Udah lama enggak bertemu,” sindirnya.Tenang, tak boleh terpancing.
Bab 126. Jika Mengedepankan Napsu Daripada Akal Sehat, Akan Hancur Dan TersesatAku tersenyum, Dokter Danu mengangguk, lalu memasuki mobilnya.Mobil mereka telah hilang diujung jalan, saat netraku melihat sebuah sepeda motor terparkir di kejauhan. Ada dua orang di sana, menatap ke arahku dengan tatapan penuh selidik. Siapa mereka. Ah, mungkin kebetulan saja, mereka melihatku, begitu pikirku.Kembali melangkah masuk ke dalam rumah, kudapati Papa yang masih terlihat begitu semringah. Bayangan memiliki istri muda, jelas bermain di otaknya. Bandot tua mana yang tidak akan senang beristrikan Diva, coba? Muda, cantik dan seksi. Sedang Papa? Tua, renta, penyakitan, perut buncit, pipi menggelambir, sekali tendang aja, pasti pingsan. Biarlah dia tersenyum sesaat, agar tak begitu kaget, saat nanti sekarat.“Pa! Rapikan pakaian Papa!&
Bab 127. Perpisahan Sementara Akan Mendewasakanmu“Maaf, Bu Embun, sebenarnya ada masalah apa, kita dikumpulkan di sini?” Om Rahman memulai percakapan.Yang lain juga menatapku serius. Kulihat Papa dan Dian juga sudah selesai berbincang.“Saya mau dnegar penjelasan dari Bu Dian terlebih dahulu, bagaimana bisa , uang perusahaan bisa lenyap sebesar itu, tanpa Anda ketahui?” tanyaku penuh wibawa.Ini di kantor, dan sednag dalam keadaan rapat penting. Aku haurs memposisikan diriku sebagai pemilik, bukan sebagai teman.“Maaf, Bu. Saya sudah bertanya langsung kepada Bapak Direktur, dia mengakui, uang hasil nego dengan beberapa perusahaan yang terakhir dia tangani, ternyata tidak dilaporkan, Bu. Jadi dalam laporan, transaksi itu tidak ada, kebetulan barang yang sudah disepakati, belum jatuh tempo masa pengiriman. Jadi, semua terlihat
Bab 128. Air Mata Ini Mulai Luruh Tanpa Permisi.Kuhempaskan tubuh lelah ini di atas ranjang. Kuingin terpejam meski hanya sesaat. Setidaknya bayangan Mas Darry bisa lepas sebentar di otak. Ya, aku ingin melupakannya sesaat. Beban yang lain sudah begitu berat. Tiba-tiba masalah ini datang pula menyeruak.Bayangan Dokter Danu tiba-tiba berkelebat. Wajah tampan itu pasti selalu tersenyum dalam ingatanku. Ya, karena dia memang selalu tersenyum bila berhadapan denganku. Apalagi dulu, saat anakku deman tinggi. Aku sangat takut. Saat itu kami belum memiliki pembantu dan babysitter. Aku sendirian. Mas Ray belum pulang hingga larut. Dokter Danu bersedia menemaniku, menunggu obat turun panasnya bekerja. Tak henti ersenyum hangat, berusaha menghilangkan cemasku.Hey, kenapa aku malah jadi terpikir akan dia? Kenapa ak
Bab 129. Calon Pengantin baru Tidur Di GudangWanita itu datang dengan kepala menunduk. Mendung pekat bergelayut di wajahnya.“Saya, Buk!” jawabnya hampir tak dengar.“Dua hari ini, dia akan tinggal di rumah kita. Setelah itu dia akan pergi. Tolong Bik Las beri dia satu matras sebagai alas, dan tunjukkan kamar gudang untuknya! Kalau hanya sendiri, sepertinya gudang itu masih muat!” perintahku mengagetkan mereka semua.“Apa? Kau nyuruh aku tidur di gudang?” Diva melotot.“Ya, Rumah ini haram dari perbuatan Zina! Kalian belum resmi menikah, jadi harus tidur terpisah! Kamar udah terisi semua. Tinggal gudang. Itupun penuh barang-barang. Tapi kalau kau sendiri, muat kok. Asal jangan kau pancing Papa masuk juga di sana! Paham!”“Aku tidak mau! Embuuun! Kau pikir dirimu siapa n
Bab 130. Cinta Bukan Suatu KompetisiQuotes:Ternyata Cinta bukan suatu kompetisi, untuk mencari pemenang sejati. Tetapi Cinta adalah rasa, sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Cukup diresapi dan dimaknai.****“Gak bakalan aku sombong, Bik. Aku akan tetap seperti sekarang. Tetap bantu-bantu di dapur juga seperti saat ini!” jawabku waktu itu.Dan kami pun tertawa bahagia.Tetapi, tiba-tiba semua berubah. Bapak mengkhianatiku. Dia mengingkari janjinya, karena sudah punya pacar baru. Dan barusan Rika bilang, Bapak membawanya ke rumah ini.Buk Embun memang sudah menjelaskan semuanya tadi, begitu dia sampai di rumah. Dia memintaku tenang, dan mengajakku untuk membalas perbuatan mereka, agar ada efek jera, begitu kata Bu Embun. Namun, sungguh tak kusangka, siang ini juga Bapak
Bab 131. Embunku telah berkhianat?POV Darry====“Embun tidak datang ke kampus hari ini. Kalian di mana?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler kepada Bram, Bodyguard yang kusewa untuk mengawasi kekasihku, Embun.“Oh, iya, Bos. Dia keluar pagi-pagi sekali tadi, langsung menuju kantor. Tak berapa lama pergi lagi bersama seorang OB ke sebuah perumahan. Kami sekarang sedang mengawasinya, di sini, Bos,” jawab Bram dari ujung sana.“Perumahan? Perumahan mana?”“Perumahan Puri Asri, Bos!”“Rumah siapa itu?”“Nah, ini yang kami belum selidiki. Karena baru pertama ini, Bu Embun datang ke sini.”“Ya, sudah, kalian awasi dan selidiki, ya! Saya ada kelas ini. Saya tunggu infonya!”
Bab 132. Embun, Diammu Adalah DeritakuKenapa Embun berdusta! Selama ini tidak pernah sekalipun dia berdusta, tapi kali ini dia melakukannya. Apakah karena Dokter Danu? Dokter Danu telah mencuri hatinya? Embun ….Bram, ya, Bram! Aku harus gali info darinya.Sial! Nomornya tidak aktif. Ke mana pula dia? Kehabisan daya kah ponselnya? Itu kebiasaan buruknya. Sudah sering kali aku protes. Tetapi dia berkelit, karena tak ada hal yang mecurigakan. Jika penting mereka yang akan menghubungiku, begitu alasannya. Nyatanya, telah terjadi hal sepenting ini, dia tak menghubungiku! Sial! Aku akan potong gajinya!Kugebrak meja di hadapan, kopi yang sudah dingin sejak tadi, seketika tumpah, mengotori seluruh buku dan kertas-kertas di atas meja itu. Aku tak peduli. Resah ini terasa lebih menyakitkan, dari pada harus kehilangan kertas-kertas itu.===Mengisi
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili