Bab 131. Embunku telah berkhianat?
POV Darry
====
“Embun tidak datang ke kampus hari ini. Kalian di mana?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler kepada Bram, Bodyguard yang kusewa untuk mengawasi kekasihku, Embun.
“Oh, iya, Bos. Dia keluar pagi-pagi sekali tadi, langsung menuju kantor. Tak berapa lama pergi lagi bersama seorang OB ke sebuah perumahan. Kami sekarang sedang mengawasinya, di sini, Bos,” jawab Bram dari ujung sana.
“Perumahan? Perumahan mana?”
“Perumahan Puri Asri, Bos!”
“Rumah siapa itu?”
“Nah, ini yang kami belum selidiki. Karena baru pertama ini, Bu Embun datang ke sini.”
“Ya, sudah, kalian awasi dan selidiki, ya! Saya ada kelas ini. Saya tunggu infonya!”
Bab 132. Embun, Diammu Adalah DeritakuKenapa Embun berdusta! Selama ini tidak pernah sekalipun dia berdusta, tapi kali ini dia melakukannya. Apakah karena Dokter Danu? Dokter Danu telah mencuri hatinya? Embun ….Bram, ya, Bram! Aku harus gali info darinya.Sial! Nomornya tidak aktif. Ke mana pula dia? Kehabisan daya kah ponselnya? Itu kebiasaan buruknya. Sudah sering kali aku protes. Tetapi dia berkelit, karena tak ada hal yang mecurigakan. Jika penting mereka yang akan menghubungiku, begitu alasannya. Nyatanya, telah terjadi hal sepenting ini, dia tak menghubungiku! Sial! Aku akan potong gajinya!Kugebrak meja di hadapan, kopi yang sudah dingin sejak tadi, seketika tumpah, mengotori seluruh buku dan kertas-kertas di atas meja itu. Aku tak peduli. Resah ini terasa lebih menyakitkan, dari pada harus kehilangan kertas-kertas itu.===Mengisi
Bab. 133. Detik-detik Pernikahan Diva“Saya mengerti, Bu. Kalau begitu saya permisi, ya!” Dokter Danu berbalik, Mas Darry langsung mencegahnya.“Eit, tunggu! Bukankah sudah kita sepakati kau akan menghajar adikmu itu? Itu, mengapa kita ke sini, kan?” tuntutnya menghadang.Aku hanya melongo. Akankah mereka duel lagi? Ada apa sebenarnya?“Oh, iya, maaf, aku lupa. Boleh panggilin Diva sebentar, Bu Embun?” Dokter Danu menoleh ke arahku.“Boleh,” jawabku lalu meninggalkan keduanya langsung menuju dapur, di mana gudang itu berada.Terdengar suara tangisan lirih, aku tercekat. Itu suara Diva. Kenapa lagi dia. Kupercepat langkah. Kudapati perempuan itu tengah mengepel lantai kamar gudang dengan berurai air mata. Papa ikut menemaninya. Segera kusembunyikan diriku di balik dinding.&nb
Bab 134. Air Mata Bik Las Di Pernikahan Diva“Tapi, sekarang, kau belum sah menjadi istri Papa, bukan! Sekarang kau ikuti semua perintahku! Setelah sah nanti, baru perintahmu berlaku, ok!” ucapku tetap berusaha setenang mungkin.“Embun! Aku tidak terima kau perlakukan seperti ini! Aku adalah calon istri pengusaha terkenal! Kau akan menyesal pernah melakukan ini padaku!” Dia menunjuk tepat ke mukaku. Segera kutangkap, dan kuturunkan seraya tersenyum.“Cepat kau kerjakan perintahku! Lalu segera berdandan semampumu! Gak ada WO! Gak ada juru rias. Setengah jam lagi, penghulunya datang!” tegasku meninggalkannya.“Tunggu balasanku! Aku pastikan, aku dan Mas Rahmad akan menggelar pesta besar, khusus untuk resepsi pernikahan kami! Kau akan menyesal pernah melakukan ini padaku! Kau tunggu itu!” ancamnya sambil berlalu menuju gudang, kamarnya selama d
Bab 135. Maaf, Pa. Hari ini, Anda saya TALAK”Semua yang hadir tersenyum geli, kecuali Papa tentu saja. Dokter Danu terlihat salah tingkah. Aku tahu, dia sangat malu dengan ucapan adiknya itu. Kasihan dia. Tega kah aku melanjutkan acara selanjutnya? Tidakkah itu hanya akan menyakiti hati Dokter yang baik hati itu?Ah, maaf, Dokter. Tetapi pertunjukan ini harus dilanjutkan. Agar adikmu terbangun dari mimpinya. Maaf, ya, Dok!Liza mulai sibuk dengan laptopnya. Dian membantu menghubungkannya dengan infocus, dan menyorotkan ke arah dinding.“Eh, itu mau ngapain?” protes Diva melotot dan menbentak anak buahku itu dengan sombongnya.“Maaf, kami hanya ingin memperlihat sesuatu pada Bu Diva,” jawab Liza sopan.“Oh, kamu mau nunjukkin seluruh asset-aset perusahaan suamiku, iya? Gak perlu, aku akan periksa sendiri n
Bab 136. Mas Darry Berdarah“Keluar dari rumah saya! Koper kalian sudah menunggu di teras itu!” teriakku menunjuk ke arah teras dengan dagu.“Tidak! Ini Tidak mungkin! Apa artinya semua ini?” Diva histeris.“Apa yang tidak mungkin, ha?” tanyaku tetap tenang.“Tidak! Aku tidak mau keluar dari rumah ini, ini rumahku sekarang …! Rumah suamiku ….! Aku tidak mau …!” Diva mengejarku, mencengkram erat bahuku, mengguncang dengan sekuat tenaga.Sergapannya yang tiba-tiba membuatku kaget. Sedikitpun tak menyangka dia bakal menyerang. Tak sempat untuk menghindar.“Diva! Hentikan!” Spontan Dokter Danu meraih tubuh adiknya, melepaskan bahu ini dari cengkraman Diva.“Awas, Mas! Aku akan membunuh perempua
Bab 137. Dendam Renata“Mas ….”“Dua hari sudah kau mendiamkan aku, bukan. Kau juga tak mengundangku di pernikahan papamu tadi. Hanya karena mengingat undangan Diva dua hari yang lalu, aku memberanikan diri untuk datang. Kau tahu, sudah hampir sejam aku menunggu di luar pagar. Bingung dan ragu untuk melangkah ke dalam. Entah kekuatan dari mana, hingga kaki ini bergerak sendiri tanpa dapat kucegah. Kaki ini yang membawaku masuk, Embun. Kutempatkan diriku di samping OB mu itu. Merasa tak pantas diri ini duduk di antara tamu-tamu undangan khususmu. Aku tamu tak diundang, tempatku di dekat pintu saja, agar ketika diusir olehmu, tak butuh waktu lama untukku berlalu.”“Mas Darry ….”Kujatuhkan kepalaku di dada bidang itu. Sesegukan tangisku di sana. Penyesalan ini mengaduk jiwa. Ya, aku sangat menyesal telah mendiamkannya dua hari ini.
Bab 138. Menolak Status Gadis Tak Perawan“Begitu, artinya kau tidak mau, bukan? Ok, aku akan—“ ancamku.“Tunggu-tunggu, baik aku akan datang sekarang juga, tunggu, ya!”“Hem!”Kak Liza menatapku lekat. Aku hanya menghentak napas dengan kasar.“Itu tadi Dokter Danu?” tanyanya heran.“Ya. Dokter Danu,” jawabku acuh.“Kenapa mesti Dokter Danu? Kan ada Kakak? Ada Deo juga.”“Maaf, Kak. Aku tidak bisa ikut sama Kakak, maupun Mas Deo. Mulai sekarang aku akan tinggal dengan Dokter Danu! Aku bahkan akan memintanya menikahiku dengan segera.”“Re, kamu?”Kak Liza tercekat.“Kenapa? Kakak ragu? Kakak pikir Dokter Danu akan menolakku?”“T
Bab 139. Petunjuk Dari Embun menghadapi RenataPOV Dr. DanuKenapa Renata tiba-tiba menelponku? Dari awal dia sangat membenci diriku, sama seperti dia membenci Papa. Aku bahkan tidak menungguinya di rumah sakit waktu.Tawaranku untuk menikahinya seagai bentuk pertanggungjawabanku akan perbuatan Papa, pun ditolaknya mentah-mentah. Permintaannya hanya satu, hukum Papa seberat-beratnya. Hari ini, tetiba dia menelpon, minta aku yang menjemputnya keluar dari rumah sakit. Apa maksud Renata sebenarnya? Apakah dia kecewa dengan masa tahanan Papa?Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk lewat aplikasi whatsapp. Mbak Liza. Ada apa dia mengirim pesan padaku?[Dokter, sepertinya Dokter tidak usah mau menjemput Renata! Dia sedang labil lagi. Emosinya berubah-ubah. Saat ini, entah apa pula yang sedang diencanakannya. Yang pasti, dia ingin memaksa Anda untuk menikahinya.]Tersentak kaget. Se
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili