Bab 119. Tangisan Bik Las
“Mammmma?” Deandra menatapku sayu.
“Iya, Sayang, Mama,” balasku tak tega.
“Mamma?” ulangnya mengerjap. Mata kecil itu menatapku seloah tak percaya. Entah apa maksudnya.
“Iya, Mama,” sahutku lagi.
“Mammma ….” Tiba-tiba tangannya terjulur, berusaha menjangkau tubuhku. Tak bisa. Kini dia mulai memanjat ranjang. Tangisnya pecah memenuhi ruangan, ada apa?
“Kenapa dia, Kak?” Mas Deo terlihat bingung.
“Bawa keluar saja, Deo! Renata pasti terganggu. Maaf, ya, Re!” Kak Liza menarik tubuh anak kecil itu secara paksa. Tangisnya kian menjadi.
Mas Deo memaksa, tangan mungil itu menggapai-gapai ke arahku, seolah memintaku izin dariku. Aku tak tega lagi. Rasa iba menyeruak. Hati dilanda penasar
Bab 120. Zina di Rumahku“Tidak ada apa-apa, lho, Buk. Saya hanya mau pulang aja, males kerja lagi.” Ketusnya tiba-tiba. Sedikit terkejut aku mendengar nada ketus itu, tetapi tak apalah. Setidaknya dia mulai berkata jujur.“Males kerja, pasti ada sebabnya, kan? Gak mungkin tiba-tiba males gitu aja? Cerita, dong! Nanti, kalau memang alasannya tepat, pasti saya izinin Bik Las berhenti kerja. Gaji Bik Las pun pasti utuh saya bayarkan, ditambah pesangon tiga bulan gaji. Mau, kan?” bujukku lagi.“Bukan masalah uang, Buk. Saya mau keluar … a-- ja! Tanpa di bayar gaji saya bulan ini, juga enggak apa-apa. Yang penting saya bisa keluar dari rumah ini, biar gak ketemu lagi sama Bapak!”Ops! Kan, ini masalahnya. Bapak? Ada apa dengan Papa?“Males ketemu Papa? Kenapa, Bik? Papa udah jahatin Bibik atau bagaimana?” tanyak
Bab 121. Kalau Dasar Sampah, Akan Tetap Sampah“Bapak gak pernah membicarakannya dengan Ibuk, kan?”“Mungkin dia segan, nah sekarang, saya udah tahu, kalian akan segera saya nikahkan, Bibik mau, kan? Jadi Bibik pulang kampung untuk itu? Bilang, dong! Atur waktunya, agar kami datang melamar kepada orang tua bIbik, ya?”“Bukan, Buk. Saya pergi, bukan untuk dilamar. Bapak udah punya pacar baru, Buk! Perempuan yang ngancam saya itu.”“Jangan diambil hati, kata Papa, kan? Itu artinya gak benar!”“Saya kira juga begitu, Buk. Jadi, saya paksa Bapak agar penuhi janji nikahin saya.”“Bagus, dong! Saya dukung! Kalian memang haru segera menikah.”“Tapi, Bapak udah gak mau, Buk, huuuuu ….”“Papa engggk mau? Kok
Bab 122. Korban Bucin {Budak Cinta}“Ada apa? Kenapa gak bilang sekarang aja?” usulku penasaran.“Nanti aja, gak enak ngomongnya di hape, lagi pula kau masih ingin mengumpulkan bukti lebih kongkrit. Belum berani ngomong kalau belum jelas betul.”“Tentang apa, Dian? Tentang Papa?” tebakku langsung mencurigai Papa. Aku yakin, hal itulah yang ingin dismapaikan oleh Dian. Sehingga merasa tidak enak berbicara lewat ponsel.“Eh, kok, kau nebaknya gitu?”“Karena aku sedang di kantor sekarang. Mau nyeledikin Papa?”“Begitu? Apakah Pak Direktur sudah di kantor jam segini?”“Udah, nih aku udah sampai di lantai tiga.” Kumatikan panggilan itu, lalu berjingkat menuju ruangan Direktur.
Bab 123. Balasan Buat EmbunSejak itu, aku berusaha menandingi kecantikannya. Asal ada duit, secantik apapun aku bisa. Ini buktinya. Aku yang biasa biasa saja, bisa berubah menjadi seorang perempuan cantik sempurna. Tetapi usahaku sia-sia. Mas Darry tak terpengarruh juga.Eh, si Embun malah berpisah dengan suaminya. Status janda yang disandangnya, mulai menjadi alasan baginya untuk menggoda tunanganku. Iya, si Embun mulai menggoda kekasihku. Sialnya Mas Darryku pun tergoda. Dia meutuskan hubungan denganku, lalu mulai mengejar-ngear janda itu. Benci memenui otakku.Harusnya aku sudah menang dari Embun, bukan? Dia itu hanya seorang perempuan berstatus janda. Memiliki ekor dua orang lagi. Siapa coba yang mau menambah beban tanggung jawab, membesarkan anak-anaknya?Sedang aku seorang gadis, berpendidikan sarjana meski belum bek
Bab 124. Candu Asmara Yang Kuberikan, Begitu Memabukkan“Diva tidak memilih siapa-siapa, Ma. Diva mau sendiri saja. Pergilah! Kapan-kapan, Diva pasti akan jenguk Mama!”Mama berangkat dengan air mata berderai-derai, iba, sungguh hati iba. Namun, sesak karena luka yang ditoreh Embun lebih menyiksa.Kuraih ponselku, mencari nomor kekasihku.“Mas, Mama mau pergi. Kata Papa, rumah ini akan segera disita perusahaan tempat dia bekerja. Divamu akan tinggal dimana, Sayang? Aku ikut Mama aja, ya. Kita berpisah dulu!”Kalimatku jelas mengandung ancaman. Dan Lelaki itu merasa terancam. Tentu saja. Dia akan kehilangan gadis sempurna seperti aku? Mana mungkin dia sanggup berpisah?Candu asmara yang kuberikan, begitu memabukkan. Tak akan mampu dia lepaskan meski sede
Bab 125. Tak Perlu Pakai Otot, Cukup Gunakan OtakUps! Gila!Dia memanggilku ‘Nak’. Terbuat dari apa otak perempuan ini, Ya, Tuhan!“Oh, ya, kamu udah sarapan? Mas Rahmad tiap pagi sarapan di sini, lho. Kamu juga boleh, kalau mau. Mama akan menyuruh Indun utuk menyiapkannya,” tawar Diva lagi. Senyum sinis semakin jelas terukir si sudut bibirnya.Aku harus waras. Ya, harus waras. Jangan gegabah Embun! Sabar! Pikirkan cara yang paling tepat menghadapi pelacur murahan ini, ya!Kutentramkan hati, kutenangkan pikiran. Lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas sandang, kucari nomor Dokter Danu.“Mau nelpon siapa, Sayang? Kekasihmu? Si Pecundang, Darry? Iya? Hehehe …. Telponlah! Mama juga sudah kangen! Udah lama enggak bertemu,” sindirnya.Tenang, tak boleh terpancing.
Bab 126. Jika Mengedepankan Napsu Daripada Akal Sehat, Akan Hancur Dan TersesatAku tersenyum, Dokter Danu mengangguk, lalu memasuki mobilnya.Mobil mereka telah hilang diujung jalan, saat netraku melihat sebuah sepeda motor terparkir di kejauhan. Ada dua orang di sana, menatap ke arahku dengan tatapan penuh selidik. Siapa mereka. Ah, mungkin kebetulan saja, mereka melihatku, begitu pikirku.Kembali melangkah masuk ke dalam rumah, kudapati Papa yang masih terlihat begitu semringah. Bayangan memiliki istri muda, jelas bermain di otaknya. Bandot tua mana yang tidak akan senang beristrikan Diva, coba? Muda, cantik dan seksi. Sedang Papa? Tua, renta, penyakitan, perut buncit, pipi menggelambir, sekali tendang aja, pasti pingsan. Biarlah dia tersenyum sesaat, agar tak begitu kaget, saat nanti sekarat.“Pa! Rapikan pakaian Papa!&
Bab 127. Perpisahan Sementara Akan Mendewasakanmu“Maaf, Bu Embun, sebenarnya ada masalah apa, kita dikumpulkan di sini?” Om Rahman memulai percakapan.Yang lain juga menatapku serius. Kulihat Papa dan Dian juga sudah selesai berbincang.“Saya mau dnegar penjelasan dari Bu Dian terlebih dahulu, bagaimana bisa , uang perusahaan bisa lenyap sebesar itu, tanpa Anda ketahui?” tanyaku penuh wibawa.Ini di kantor, dan sednag dalam keadaan rapat penting. Aku haurs memposisikan diriku sebagai pemilik, bukan sebagai teman.“Maaf, Bu. Saya sudah bertanya langsung kepada Bapak Direktur, dia mengakui, uang hasil nego dengan beberapa perusahaan yang terakhir dia tangani, ternyata tidak dilaporkan, Bu. Jadi dalam laporan, transaksi itu tidak ada, kebetulan barang yang sudah disepakati, belum jatuh tempo masa pengiriman. Jadi, semua terlihat