Keesokan paginya, Bima tiba di rumah. Jasnya sudah dilepas sejak di mobil dan dasinya digantung longgar di leher. Dia membuka pintu dan langsung melihat pemandangan yang membuatnya tertegun. Rumah yang biasanya rapi kini berantakan. Barang-barang berserakan di meja dan ada beberapa kantong belanja yang masih tergeletak di lantai.Dari arah dapur, Nina muncul dengan wajah kusut. Dia mengenakan baju santai, rambutnya diikat asal. Dia berjalan mendekat sambil membawa cangkir kopi. Lalu duduk di sofa tanpa sedikit pun menyambut Bima."Apa-apaan ini? Rumah kok kayak kapal pecah begini?" omel Bima."Ya, namanya juga rumah, Sayang. Kan wajar kalau berantakan," balas Nina tak peduli.Bima mengerutkan kening, berjalan melewati barang-barang yang berserakan sambil memunguti beberapa kantong belanja.“Apa yang kamu lakukan seharian sampai rumah bisa berantakan seperti ini?"Nina meneguk kopi santai, lalu menaruh cangkirnya di meja. "Aku tuh capek. Seharian kemarin mengurus rumah sendirian, belum
Ruangan acara Alendra Group tampak hidup dengan suasana penuh kehangatan. Tidak seperti pesta perusahaan pada umumnya, pesta ini kecil. Hanya dihadiri oleh orang-orang yang benar-benar dekat dengan Maya.Maya berdiri di tengah ruangan dengan senyum lebar. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna putih krem, begitu anggun malam ini. Dalam sekejap, dia tidak lagi menjadi Maya yang dulu. Kini, dia adalah CEO Alendra Group, penerus sah dari perusahaan mendiang ayahnya, Rizal Alendra.Reza mendekati Maya dengan senyum lebar, membawa segelas minuman. “Aku masih tidak menyangka kamu berhasil melewati semuanya, May. Alendra Group sudah kembali dan punya pemimpin yang tepat,"Maya tersenyum kecil, menatap Reza dengan mata berbinar. “Semua ini tidak akan terjadi tanpa bantuanmu, Za. Kamu yang selalu percaya padaku, bahkan saat aku sendiri sempat ragu,"Pak Surya, yang duduk di sudut ruangan, tersenyum bangga melihat Maya. Sebagai mantan tangan kanan ayah Maya, dia merasa seolah melihat Rizal Alen
Bima berdiri di kejauhan, tepat di area parkir kantor Alendra Group. Tangannya menggenggam erat setir mobil. Sementara tatapannya terpaku ke arah jendela besar di lantai dua, tempat pesta kecil itu berlangsung. Di sana, dia melihat Maya tersenyum lebar. Dikelilingi oleh orang-orang yang tampak begitu tulus menyayangi dan mendukungnya.Namun, pandangan Bima tertuju pada satu hal yang membuat dadanya terasa sesak—Reza dan kedua orang tuanya berdiri dekat dengan Maya. Terlihat jelas bagaimana Maya berbicara dengan ibu Reza, yang sesekali memegang tangan Maya dengan hangat. Tawa kecil mereka menggema meski tidak terdengar dari tempat Bima berdiri.“Maya … kamu terlihat bahagia sekarang,” gumam Bima pada dirinya sendiri.Dia menunduk sejenak, mengingat semua kenangan bersama Maya. Bagaimana dia dulu selalu meremehkan keberadaan Maya. Sementara sekarang, Maya terlihat seperti menemukan keluarga baru. Sesuatu yang tidak pernah dia berikan sebelumnya.Bima menyandarkan punggungnya ke kursi mo
Esok harinya, Bima berdiri di depan sebuah butik mewah dengan papan nama bertuliskan "Viona Atelier". Bima menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Saat pintu terbuka, lonceng kecil berbunyi. Dan seorang karyawan wanita menyambutnya."Selamat datang di Viona Atelier. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya si karyawan."Saya mencari Viona. Dia ada di sini?" Pandangan Bima menelusuri sekeliling."Tentu, Pak. Silakan tunggu sebentar. Saya akan memanggil beliau," Karyawan itu menunjukkan tempat duduk pada Bima.Bima pilih berdiri di dekat rak gaun, memperhatikan interior butik yang dipenuhi kain-kain berkualitas tinggi. Tidak lama kemudian, Viona muncul dari ruang belakang. Wanita itu tampak begitu menawan, namun juga dingin di satu waktu."Selamat siang, Bima,” sapa Viona sambil tersenyum. “Saya tahu Anda akan datang. Silahkan, ikut saya ke ruangan saya,"Tanpa menunggu jawaban, Viona berbalik dan berjalan ke arah sebuah pintu di belakang butik. Bima mengikuti, merasa sedikit cangg
Nina sedang berbaring di sofa, wajahnya pucat. Dia merintih pelan sambil memegangi perutnya. Beberapa jam terakhir, rasa sakitnya semakin menjadi. Pertanda bahwa waktu melahirkan sudah dekat. Sulastri yang datang menemani Nina, tampak cemas sambil mondar-mandir di ruang tamu.“Bima! Di mana anak itu? Kenapa dia belum pulang? Seharusnya dia ada di sini, menjaga istrinya!” omel Sulastri, mulai panik.Saat itu, sebuah ketukan keras terdengar di pintu depan rumah. Sulastri segera membuka pintu. Dia mendapati seorang kurir berdiri sambil membawa amplop cokelat besar dengan segel resmi dari pengadilan.Sulastri mengambil surat itu dengan raut wajah bingung. Dia membaca nama pengirimnya dan langsung terkejut.“Pengadilan ... apa ini?”
Maya duduk di kursi eksekutifnya, memandang sebuah amplop di atas meja. Tangannya gemetar saat meraih amplop itu. Dengan hati-hati, dia membuka dan membaca isinya. Mata Maya terpaku pada kata-kata resmi di atas kertas. Perceraian mereka telah sah. Sesuatu yang telah dia perjuangkan, tetapi juga keputusan yang menyakitkan.Air mata perlahan mengalir di pipi Maya. Dia merasa lega, tetapi juga kehilangan sesuatu yang pernah dia cintai sepenuh hati. Kenangan-kenangan bersama Bima muncul tanpa diundang. Saat mereka pertama kali bertemu, janji-janji manis di awal pernikahan, dan bagaimana dia berjuang untuk cinta yang tak pernah dia dapatkan sepenuhnya.“Ini yang terbaik, Maya,” gumam Maya pada dirinya sendiri.Maya menyandarkan punggung ke kursi, memejamkan mata. Dengan tangan menutupi wajah, Maya mencoba men
Tubuh Nina masih lemah setelah proses persalinan yang melelahkan. Tempat tidur bayi di sampingnya masih kosong, menunggu perawat mengembalikan anaknya setelah pemeriksaan rutin. Dia memandang ke luar jendela. Menikmati momen tenang tanpa gangguan, karena Bima pergi sebentar untuk mengambil keperluan Nina. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.Femil melangkah masuk dengan wajah, bahkan tersenyum. Kehadiran Femil yang tiba-tiba membuat Nina terlonjak kaget. Dia segera mencoba duduk lebih tegak, meski tubuhnya terasa nyeri.“Femil? Apa yang kamu lakukan di sini?!” seru Nina, matanya melebar.Femil mendekat. Dia menyerahkan buket bunga pada Nina.“Selamat atas kelahiranmu, Sayang. Terima kasih sudah melahirkan bayiku dengan selamat,” ucap Femil.Ucapan itu membuat Nina terkejut sejenak. Wajahnya memucat. Dia memperhatikan Femil yang meletakkan buket itu di meja samping ranjang Nina.Nina menggelengkan kepala. ““Femil, kamu sudah gila! Anak ini anak Bima. Jangan mulai membuat masalah di sini,”
Raka mendorong pintu kamar rumah sakit dengan pelan. Nina tersentak ketika melihat Raka masuk. Wajahnya seketika tegang.“R-Raka? Ada apa?” tegur Nina, mencoba terlihat tenang.Raka tersenyum sinis sambil menutup pintu dengan santai. “Tentu saja datang menjengukmu. Apa lagi?” Dia mengacungkan kantong belanjaannya.“Ah, iya,” Nina mengangguk cepat. “Terima kasih,”Keadaan sekitar mereka cukup canggung. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar begitu mencolok."Kebetulan aku tadi lewat ... dan mendengar sesuatu yang menarik," ujar Raka.Nina langsung pucat. Dia mencoba menutupi rasa paniknya, tetapi tubuhnya menegang. Raka mendekat dengan perlahan, menatap Nina yang kini terlihat seperti seseorang yang tertangkap basah.“Apa maksudmu?” Nina berusaha tampak tenang.Raka tertawa kecil. “Aku dengar kamu dan pria tadi—siapa namanya? Oh iya, Femil, kan?—ribut soal bayimu," kelakar Raka, tampak puas.Nina menunduk, tangan menggenggam erat selimut di atas pangkuannya. Dia mencoba memikirkan al
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.