Maya duduk di kursi eksekutifnya, memandang sebuah amplop di atas meja. Tangannya gemetar saat meraih amplop itu. Dengan hati-hati, dia membuka dan membaca isinya. Mata Maya terpaku pada kata-kata resmi di atas kertas. Perceraian mereka telah sah. Sesuatu yang telah dia perjuangkan, tetapi juga keputusan yang menyakitkan.
Air mata perlahan mengalir di pipi Maya. Dia merasa lega, tetapi juga kehilangan sesuatu yang pernah dia cintai sepenuh hati. Kenangan-kenangan bersama Bima muncul tanpa diundang. Saat mereka pertama kali bertemu, janji-janji manis di awal pernikahan, dan bagaimana dia berjuang untuk cinta yang tak pernah dia dapatkan sepenuhnya.
“Ini yang terbaik, Maya,” gumam Maya pada dirinya sendiri.
Maya menyandarkan punggung ke kursi, memejamkan mata. Dengan tangan menutupi wajah, Maya mencoba men
Tubuh Nina masih lemah setelah proses persalinan yang melelahkan. Tempat tidur bayi di sampingnya masih kosong, menunggu perawat mengembalikan anaknya setelah pemeriksaan rutin. Dia memandang ke luar jendela. Menikmati momen tenang tanpa gangguan, karena Bima pergi sebentar untuk mengambil keperluan Nina. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.Femil melangkah masuk dengan wajah, bahkan tersenyum. Kehadiran Femil yang tiba-tiba membuat Nina terlonjak kaget. Dia segera mencoba duduk lebih tegak, meski tubuhnya terasa nyeri.“Femil? Apa yang kamu lakukan di sini?!” seru Nina, matanya melebar.Femil mendekat. Dia menyerahkan buket bunga pada Nina.“Selamat atas kelahiranmu, Sayang. Terima kasih sudah melahirkan bayiku dengan selamat,” ucap Femil.Ucapan itu membuat Nina terkejut sejenak. Wajahnya memucat. Dia memperhatikan Femil yang meletakkan buket itu di meja samping ranjang Nina.Nina menggelengkan kepala. ““Femil, kamu sudah gila! Anak ini anak Bima. Jangan mulai membuat masalah di sini,”
Raka mendorong pintu kamar rumah sakit dengan pelan. Nina tersentak ketika melihat Raka masuk. Wajahnya seketika tegang.“R-Raka? Ada apa?” tegur Nina, mencoba terlihat tenang.Raka tersenyum sinis sambil menutup pintu dengan santai. “Tentu saja datang menjengukmu. Apa lagi?” Dia mengacungkan kantong belanjaannya.“Ah, iya,” Nina mengangguk cepat. “Terima kasih,”Keadaan sekitar mereka cukup canggung. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar begitu mencolok."Kebetulan aku tadi lewat ... dan mendengar sesuatu yang menarik," ujar Raka.Nina langsung pucat. Dia mencoba menutupi rasa paniknya, tetapi tubuhnya menegang. Raka mendekat dengan perlahan, menatap Nina yang kini terlihat seperti seseorang yang tertangkap basah.“Apa maksudmu?” Nina berusaha tampak tenang.Raka tertawa kecil. “Aku dengar kamu dan pria tadi—siapa namanya? Oh iya, Femil, kan?—ribut soal bayimu," kelakar Raka, tampak puas.Nina menunduk, tangan menggenggam erat selimut di atas pangkuannya. Dia mencoba memikirkan al
Maya melangkahkan kaki dengan sedikit gugup di depan pintu rumah keluarga Reza. Rumah itu megah, dengan taman yang tertata rapi dan tercium aroma mawar yang segar. Reza menggenggam tangan Maya. Maya mendongak, menatap wajah pria itu yang tersenyum penuh keyakinan.“Kamu akan baik-baik saja,” ucap Reza. “Mereka sudah sangat menunggu kedatanganmu,”Pintu rumah terbuka. Maya terkejut saat melihat Amara menyambut mereka dengan senyuman hangat yang begitu tulus. Wajah Amara berseri-seri seperti sudah menyiapkan segalanya untuk menyambut tamu istimewa.“Maya! Akhirnya kamu datang. Sudah lama kami menunggu,” sapa Amara sambil merentangkan tangannya untuk memeluk Maya.Maya sedikit terkejut, tapi segera membalas pelukan itu. Perlakuan Amara, s
Amara dan Adi saling bertukar pandang, jelas terlihat kebingungan. Amara mencoba mengendalikan situasi yang canggung itu. Dia tersenyum, meski sedikit kaku.“Karena kamu sudah di sini, ayo duduk dan makan bersama kami, Viona," kata Amara sambil menunjuk kursi kosong di meja makan."Iya, silahkan duduk, Viona," kata Adi dengan nada yang terkesan formal. Tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia tidak terlalu nyaman dengan kehadiran Viona yang mendadak ini. Viona tersenyum lebar, tampak sangat percaya diri. "Terima kasih, Tante, Om. Saya benar-benar minta maaf kalau mengganggu acara kalian," ujarnya sambil menarik kursi dan duduk di sebelah Reza.Reza yang duduk di sisi Maya, langsung menegang. Dia melirik Maya gugup, mencoba membaca ekspresi wanita itu. Maya memang tampak tenang di luar, tetapi hatinya bergejolak. Kedatangan Viona seperti petir di siang bolong dan dia tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi ini.“Tante masak sendiri, ya? Aromanya luar biasa," puji Viona dengan nad
"Maaf, saya benar-benar harus pergi. Terima kasih untuk makan malamnya," ucap Maya, bersiap untuk pergi."Maya, tunggu. Jangan pergi, kumohon," cegah Reza. "Maya, tolong dengarkan aku. Aku tidak ingin kamu salah paham. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan," pinta Reza.Maya tersenyum pahit. “Semuanya sudah jelas,” balasnya singkat."Maya, jangan buru-buru pergi. Kami sangat senang kamu ada di sini. Aku tahu situasi ini membuatmu tidak nyaman, tapi semuanya bisa dibicarakan dengan baik," bujuk Amara. Ekspresinya tampak begitu bersalah saat memandang Maya."Tante, terima kasih atas kebaikannya. Tapi saya rasa … saya harus pergi," Suara Maya bergetar."Maya, kumohon,” desak Reza, sedikit frustasi. &ldqu
Reza berdiri, menatap Viona dengan kilat kemarahan. “Aku minta kamu pergi sekarang juga! Kamu sudah cukup merusak malam ini!” bentak Reza murka.Viona terkekeh pelan. "Aku hanya ingin membantu Om dan Tante melihat kenyataan. Kalau aku salah, maafkan aku, Sayang. Tapi aku rasa aku tidak salah," tantangnya. Dia melotot lebar ke arah Reza.Viona lantas mengambil tasnya dan pergi dari ruang makan dengan langkah angkuh. Amara memandang Maya cemas, sementara suaminya hanya bisa menghela napas panjang.Suasana di ruang makan berubah menjadi sangat canggung setelah kepergian Viona. Semua orang tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing, dan ketegangan terasa menyelimuti ruangan.Sekuat tenaga Maya menahan air matanya, sambil mengepalkan tangan kuat. Dia tidak ingin kecewa lagi. Dia harus bertahan.Reza menghela napas panjang. "Maafkan aku, tapi aku harus mengatakan ini, Ayah, Mama,” ucapnya, mengedarkan pandangan pada kedua orang tuanya. “Apa yang dilakukan Viona tadi sama sekali tidak bisa
Maya menghapus air matanya cepat-cepat sebelum menurunkan kaca jendela. “Pulanglah. Aku cuma butuh waktu sendiri," ucapnya, menghindari tatapan Reza.“Aku tidak akan pergi sebelum kamu keluar dari mobil,” tandas Reza, begitu keras kepala.Maya mendesah panjang, merasa bimbang. Akhirnya, dia membuka pintu mobil dan keluar. Air hujan yang dingin menyentuh wajahnya yang masih sembab oleh air mata.“Kenapa kamu harus lari?” Reza mengencangkan suaranya demi menyamai suara hujan. “ Aku bisa jelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan,”Maya menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. “Apa kamu tidak lihat? Kehadiranku hanya memperumit semuanya. Aku tidak ingin membuat hidupmu sulit, Za,”
Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut. Reza mengulum bibir Maya, memejamkan mata demi menikmati setiap detil yang terasa. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Hujan di luar seperti menghilang, meninggalkan mereka dalam kehangatan momen itu.Hening menyelimuti mereka di dalam mobil. Hujan deras di luar menciptakan ritme yang menenangkan. Maya menatap ke luar jendela, mencoba menyembunyikan perasaan berdebar. Tapi pandangan Reza tetap tertuju padanya. Seakan tidak ada hal lain yang lebih penting dibandingkan Maya saat ini.“Aku tidak akan pernah membiarkan kamu sendirian lagi, May,” ucap Reza pelan.Maya terdiam, hatinya berkecamuk. Dia hanya bisa menelan ludah. Dan perlahan menoleh ke arah Reza yang masih menatapnya tanpa berkedip."Aku takut, Reza ...
Raka menelan ludah. Berusaha tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia melirik sekilas ke luar ruangan. Femil masih berdiri di sana, seolah menunggu dan mengawasinya.Bima menatapnya tajam. “Aku tunggu sampai kamu mau bicara,”Raka menghela napas panjang, mencoba menyusun jawaban yang masuk akal. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tidak dengan Femil yang berdiri di sana, dengan belati tersembunyi di balik jaketnya.“Nina memberiku uang untuk usaha,” jawab Raka.Alis Bima terangkat. “Usaha?”Raka mengangguk. “Aku dan Vina berencana membuka usaha. Kami sudah lama membicarakannya. Tadinya aku mau cari modal sendiri, tapi Nina tahu rencana ini dan menawarkan bantuan. Itu saja,”Bima menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari kata-kata Raka.“Usaha apa?” tanya Bima akhirnya.Raka menghela napas. “Kami ingin membuka butik kecil. Vina sudah lama ingin punya bisnis sendiri,”Ekspresi Bima tetap tajam. “Kenapa Nina tidak bilang apa-apa padaku soal ini?”Raka ber
Raka menghela napas panjang. Lalu bersandar ke kursi, mencoba menunjukkan ekspresi tenang meskipun hatinya berdebar. “Aku sudah bilang, kan? Itu bukan urusanmu, Kak. Uang itu adalah urusan pribadiku dengan Nina,”Bima mendekat lagi, tangannya bertumpu di meja kerja Raka. Sorot matanya semakin tajam, penuh kecurigaan. "Uang ratusan juta itu berasal dari kartuku. Jadi, tentu menjadi urusanku sekarang,"Raka terdiam. Dia tahu Bima tidak akan menyerah sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.“Atau aku harus bicara langsung dengan Nina?” tanya Bima, karena Raka tidak lagi bicara.Raka menatap Bima dengan rahang mengeras. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat."Aku sedang butuh uang dan Nina menawarkan bantuan," jawab Raka. Hanya itu yang terlintas di otaknya sekarang.Bima menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. "Butuh uang? Untuk apa?"Raka menggeram pelan. "Kamu tidak perlu tahu," katanya keras.Ruangan itu terasa semakin sempit karena tatapan tajam Bima yang ti
Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terpaku pada laporan transaksi kartu kredit yang baru saja dia terima melalui email dari bank. Sebuah transaksi besar—ratusan juta rupiah—keluar dari salah satu kartunya.Dia menggeser kursi sedikit mendekat. Matanya menyusuri setiap detail laporan itu. Waktu transaksi, tempat, dan jumlah yang tertera membuat hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Dia tidak ingat pernah mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.Dengan rahang mengeras, Bima menghela napas dalam. Dia berusaha mengingat, tapi tidak ada satu pun pengeluaran yang sesuai dengan nominal tersebut.Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dan menekan nomor layanan bank. Setelah beberapa nada sambung, suara operator wanita menjawab.“Selamat siang, Pak Bima. Ada yang bisa kami bantu?”“Saya ingin konfirmasi transaksi di kartu kredit saya. Ada jumlah yang tidak saya kenali,” Bima langsung ke intinya.Operator itu meminta beberapa detail untuk
Maya masih berdiri di tempat, hatinya diliputi kebingungan. Kenapa Bima ada di sini?Bima yang masih berdiri di depan nisan orang tua Maya, menundukkan kepalanya sejenak. Seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. Udara di pemakaman terasa hening, hanya suara dedaunan yang berguguran terbawa angin yang terdengar di antara mereka."Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu, May," kata Bima akhirnya. Suaranya terdengar berat. "Aku hanya ingin melayat. Aku merasa bersalah pada ayah dan ibumu … ""Merasa bersalah?" ulang Maya, dingin.Bima menarik napas panjang, lalu berjongkok di depan nisan. Tangannya menyentuh batu dingin itu dengan penuh hati-hati, seolah sedang berbicara langsung kepada orang yang telah tiada. "Mereka menerimaku dengan baik saat aku menikah denganmu. Mereka mempercayaiku, menganggapku bagian dari keluarga. Aku berjanji di hadapan mereka untuk menjaga dan membahagiakanmu … tapi aku gagal," jelas Bima.Maya mengerutkan kening. “Semua sudah berlalu … “"Aku mengkh
Maya menutup mulut dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap Reza, kemudian orang tua pria itu. Yang tampak begitu bahagia dan penuh harap.Segalanya terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikir oleh Maya bahwa malam ini akan menjadi momen di mana hidupnya akan berubah selamanya.“Maya?” panggil Reza. Kali ini sedikit lebih khawatir karena wanita di hadapannya masih belum merespons.Maya menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.Hingga akhirnya, dia mengangguk. “Ya … Aku mau,”Seolah dunia berhenti berputar sejenak.Seketika suara tepuk tangan terdengar dari orang tua Reza. Bahkan beberapa tamu di restoran yang menyaksikan momen tersebut ikut bersorak.Reza tersenyum lega, lalu dengan hati-hati menyematkan cincin itu ke jari manis Maya. Setelahnya dia bangkit dan langsung menarik Maya ke dalam pelukannya.“Terima kasih. Aku sangat bahagia sekarang,” bisik Reza sambil memeluk M
Maya melangkah keluar dengan gaun sederhana berwarna biru tua. Rambutnya yang tergerai lembut berayun setiap kali dia melangkah. Maya sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, tapi tetap merasa sedikit gugup.Begitu dia sampai di lobi, Reza turun dari mobil dan berjalan menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Begitu menawan. Senyum khasnya langsung menghangatkan hati Maya.“Kamu cantik,” puji Reza. Matanya menelusuri wajah Maya dengan penuh kekaguman.Maya tersipu. “Terima kasih. Kamu juga terlihat … luar biasa,” balasnya.Reza terkekeh pelan. “Jadi, siap untuk makan malam?”Maya mengangguk. “Tapi … kita mau makan di mana?”Reza membuka pintu mobil untuk Maya. “Itu kejutan,” katanya sambil tersenyum misterius.Maya menaiki mobil dan duduk, sementara Reza menutup pintu dan segera mengambil tempat di belakang kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan apartemen. Lampu kota mulai menyala satu per satu, tampak begitu indah.“Setidaknya b
Siang itu, suasana rumah keluarga Harjono terasa lebih ramai dari biasanya. Meja panjang di tengah ruangan dihiasi dengan piring-piring berisi berbagai masakan mulai dari ayam panggang, sup hangat, hingga aneka lauk yang menggugah selera.Harjono sebagai kepala keluarga, duduk di kursi utama. Di sampingnya Sulastri tampak sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk. Wajahnya berseri-seri, terutama saat melihat Abi yang digendong oleh seorang pengasuh di dekat meja makan.“Lihat bayi kecil ini,” kata Sulastri. “Abi makin besar dan tampan saja. Dia benar-benar cucu kebanggaan keluarga Harjono,”Nina yang duduk di sebelah Bima hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Sulastri.“Tentu saja,” sahut Harjono sambil menyantap makanan. “Abi adalah penerus keluarga ini,”“Ibu, bagaimana kabar toko?” Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.Sulastri tersenyum dan mulai berbicara panjang lebar tentang tokonya. Dia memutuskan untuk membuka toko sembako beberapa bulan lalu, untuk mengisi waktu luang.D
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Nina mendengar suara mobil Bima memasuki garasi. Dia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan senyum manis yang sudah dia latih sepanjang hari.“Sayang, kamu sudah pulang,” sapa Nina lembut saat Bima melangkah masuk ke dalam rumah.Bima tampak lelah. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar dan kemejanya kusut setelah seharian bekerja.“Iya. Hari ini benar-benar melelahkan.” Bima menghela napas panjang sambil melepas sepatu.Nina dengan sigap menerima tas kerja Bima dan meletakkannya di meja. “Kamu mau makan dulu atau langsung mandi?” tanyanya dengan suara lembut.Bima mengusap wajahnya. “Mungkin mandi dulu biar segar,”Nina mengangguk mengerti. “Aku sudah siapkan air hangat di kamar mandi,”“Terima kasih,” jawab Bima singkat sebelum berjalan ke kamar mereka.***Setelah beberapa saat, Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama. Dia duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponsel, sesekali membalas pesan yang m
Suasana bengkel yang tadinya bising dengan suara mesin kini terasa sunyi di antara mereka. Seolah waktu melambat.“Aku tidak butuh tes DNA itu,” kata Nina keras. “Aku yakin, Abi itu anak Bima,”Femil menyipitkan mata, ekspresinya berubah dingin. “Kamu datang padaku, meminta bantuanku. Tapi kamu masih yakin Abi adalah anak Bima?”Nina menghela napas dengan frustrasi. “Ini bukan soal siapa ayah Abi!” teriak Nina. Aku butuh uang, dan kamu satu-satunya orang yang bisa membantuku sekarang,"Femil terkekeh sinis, menyilangkan tangannya di dada. “Kamu pikir aku akan membuang uang lima puluh juta begitu saja untukmu tanpa alasan yang jelas? Aku hanya butuh kepastian,"Nina mendengus. "Femil, tolonglah. Kamu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kumintai tolong," mohon Nina. Dari ekspresinya, tampak jelas kalau dia sangat putus asa.Femil menatapnya tajam. “Jika kamu yakin Abi itu anak Bima, kenapa tidak langsung meminta bantuannya? Kenapa malah datang kepadaku?"Nina terdiam. Dia t