Beranda / Pernikahan / Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi / Rencana yang Menggemparkan

Share

Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi
Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi
Penulis: Nabila

Rencana yang Menggemparkan

Penulis: Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-30 13:42:54

Part 1

 Cahaya matahari membakar bumi dengan begitu garang. Di petala langit, sinarnya seperti menyiratkan pesan kemenangan sebelum senja jatuh merebutnya. Di rumah kami yang berhalaman luas, sedang terjadi perdebatan sengit antara Ibu dan kakak-kakakku. Ibu mengabarkan berita yang membuat kami semua terperenyak tidak percaya. Rasanya tidak mungkin Ibu mengucapkan kalimat itu. Ibu sudah terbiasa hidup sendirian setelah ditinggalkan Bapak. Ibu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal. Kenapa hari ini mengeluarkan fatwa yang membuat kami bertanya-tanya?

 “Ibu mau menikah lagi.” Suara tegas itu sukses menghipnosis kami.

 "Ibu apa-apaan, sih, malu-maluin saja! Eling Bu, ingat sama cucu. Radith dan Ratih sudah gede, tahun ini masuk SMP, masa neneknya mau nikah lagi?" protes Mbak Tari kakak sulungku. Nama lengkapnya Astari Kusumadewi. Mbak Tari dan Ibu punya kepribadian yang mirip. Sama-sama tegas, juga sama-sama janda ditinggal mati.

 "Ibu ini sudah tua bukannya dibanyakin ngaji malah mau nikah lagi. Kalau selama dua puluh tahun ini Ibu bisa menjadi janda terhormat sejak ditinggal Bapak, kenapa tiba-tiba mendadak kepingin nikah lagi? Lika ndak setuju!" sungut kakak perempuanku nomor dua, Mbak Lika Kusumastuti. Kepribadian Mbak Lika lebih keras dari Mbak Tari.  

 "Ibu kesepian? Ibu bisa bergantian datang ke rumah kami, menengok cucu-cucu. Atau kami yang kemari kapan pun Ibu mau, kami siap datang." Kali ini Mas Bagus Kusumanto mengemukakan pendapatnya. Aku hanya tersenyum dalam hati.

 "Laras, kamu jangan mesam-mesem aja. Selama ini kamu yang merawat Ibu. Jangan-jangan kamu tidak memperhatikan Ibu sampai Ibu ada niat mau menikah lagi?" bentak Mbak Tari.

 Sontak saja aku tergagap. Aku sendiri juga baru tahu pagi ini kalau Ibu berniat menikah lagi. Untuk itulah aku mengumpulkan kakak-kakakku. Dua orang kakak perempuan dan satu kakak laki-laki ini harus tahu keinginan Ibu, jangan aku sendiri yang syok mendengar berita Ibu ingin menikah lagi.

 "Laras yo ndak ngerti, Mbak. Kemarin sore Ibu pulang dari pengajian di rumah Bude Narsih, lha bangun tidur tiba-tiba ibu bilang mau menikah lagi. Laras kaget juga, Mbak," jawabku membela diri.

 Mereka ini aneh. Kalau aku kasih kabar Ibu sakit, tidak ada yang mau datang, tetapi begitu mendengar kabar Ibu mau menikah lagi, secepat kilat mereka bisa berkumpul di sini sekarang. Untuk menghakimi Ibu.

 "Sudah kalian berantemnya?" Suara Ibu sontak membuat kami terdiam.

 "Ibu ingin menikah karena memang ingin mempunyai pasangan hidup. Sudah terlalu lama Ibu hidup sendiri. Sebentar lagi Laras juga menikah, hanya tinggal menunggu hari baik. Rumah ini akan sepi. Apakah kalian ndak kepingin lihat ibu berbahagia?"

 Kami berempat berpandangan. Rasanya memang tak masuk akal. Seharusnya Ibu menghabiskan banyak waktu untuk mengikuti pengajian, merawat tanaman seperti hobinya selama ini, ketimbang memikirkan laki-laki yang akan disebutnya sebagai suami, pengganti Bapak. Oh, tidak.

 "Ibu jangan bikin kami kesel, to, Bu. Lagian Ibu ini mau menikah sama siapa? Sudah enak punya rumah besar, luas, adem, punya anak banyak, cucu juga sudah besar, tinggal banyakin ngaji, ibadah. Tari yang ditinggal Mas Bara sekarang hidup bertiga sama anak-anak aja, sudah nggak mikir nikah," sambar Mbak Tari. Mas Bara, suaminya, meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan.

 "Kalian tahu Pak Haji Umar yang rumahnya dekat tikungan? Dia mau melamar Ibu, kemarin dia bilang sama Bude Narsih," tutur Ibu dengan tenang.

 "Haji Umar bapaknya Rafiqoh? Ibu apa-apaan ini?" teriak Mas Bagus sambil berdiri dari kursinya. Pasti dia kaget sekali. Rafiqoh adalah teman kuliahnya, lebih tepatnya adalah mantan pacarnya.

 

"Haji Umar bukannya bapaknya Mas Ibram?" seru Mbak Lika yang juga sangat kaget, karena Mas Ibram tetangganya satu lingkup perumahan.

 "Pokoknya kali ini Tari ndak mau mendukung Ibu!" Mbak Tari bergegas mengambil tasnya di meja lalu pergi meninggalkan Ibu tanpa pamit. Sesaat kemudian suara deru mobilnya terdengar menjauhi rumah kami.

 "Lika juga enggak setuju, Bu. Lika masih banyak pekerjaan, anak-anak juga belum makan. Lika pamit dulu.”

 Duer!

Aku melonjak kaget mendengar suara pintu dibanting. Mbak Lika pasti marah. Kebiasaannya  mesti enggak sopan kalau sedang marah.

 "Bu, Bagus minta Ibu pikirkan lagi rencana gila ini. Jangan khianati cinta Bapak, Bagus ndak rela. Bagus kepingin nanti Ibu dan Bapak kembali bersama-sama di surga. Tolong dipikirkan lagi, ya, Bu. Bagus pulang dulu." Suara Mas Bagus terdengar parau. Setelah bersalaman dan mengucapkan salam, Mas Bagus juga pergi meninggalkan aku berdua bersama Ibu.

 "Mereka semua tidak ada yang mengerti perasaan Ibu, Laras." Ibu berbicara kepadaku yang masih termangu di hadapannya.

 Aku sangat mengenal Ibu. Tidak mungkin Ibu semudah itu menukar kesetiaannya kepada Bapak, dengan orang baru. Entah apa yang membuat Ibu tiba-tiba mempunyai ide gila seperti ini.

 "Hanya kamu yang mengerti Ibu, Laras. Ibu harap kamu tidak ikut menentang rencana Ibu seperti kakak-kakakmu." Aku berusaha menyimak kalimat demi kalimat yang Ibu sampaikan.

 Kami tidak kekurangan harta, meskipun juga tidak hidup berlebihan. Ibu masih mempunyai banyak sawah yang disewakan untuk biaya hidup kami sehari-hari juga untuk biaya kuliahku. Meskipun tanpa bantuan ketiga kakak-kakakku, kami bisa hidup layak. Jadi kurasa Ibu tidak mungkin menikah karena masalah harta.

 

Apakah benar Ibu akan merasa kehilangan saat aku menikah dengan Mas Erlangga nanti? Mas Erlangga memang berencana memboyongku ke Kalimantan, karena dia sudah bekerja di sana. Gajinya sangat cukup untuk menghidupi aku dan anak kami kelak, jadi tidak mungkin dia kembali ke kota ini. Sebagai istri kelak aku harus mendampinginya. Apakah ini alasan Ibu ingin menikah lagi? Karena kesepian?

 "Kalian semua sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Ibu akan tinggal sendiri di rumah ini. Jadi apakah salah kalau Ibu juga membutuhkan teman hidup?" Suara Ibu agak tercekat di tenggorokan.

 Dari lahir hingga sekarang aku selalu hidup bersama Ibu. Jika tidak ada hal yang merisaukan hatinya, jarang sekali Ibu mengambil keputusan tanpa melibatkan pendapat anak-anaknya.

 "Ibu jangan bohong sama Laras. Ceritakan yang sebenarnya, supaya Laras bisa mengerti, Bu," pintaku sambil mendekati Ibu. Aku duduk di samping Ibu lalu memijat bahunya perlahan. Ibu memandangiku dengan bimbang.

 "Kamu berjanji akan mendukung Ibu?"

 Aku mengangguk meski belum tahu apa yang Ibu maksudkan. Aku selalu percaya Ibu bukan orang yang gegabah mengambil keputusan.

 "Ibu ingin menyelamatkan keluarga ini dari dosa dan rasa malu akibat perzinaan kakak-kakakmu, Laras."

 Kakak-kakakku berselingkuh? Siapa? Rasanya dadaku disambar petir!

 Aku menatap Ibu tidak percaya. Yang Ibu katakan barusan sungguh di luar dugaan. Sudah jelas Mbak Tari janda. Mbak Lika punya suami Mas Danu, dan Mas Bagus punya istri Mbak Riris. Mereka terlihat bahagia dengan kehidupan rumah tangga masing-masing. Mata Ibu menerawang menembus cakrawala. Ada gelebah yang tak bisa disembunyikan dari iris abu-abu yang kutatap sedari tadi.

"Ibu ingin menyelamatkan keluarga ini dari dosa dan rasa malu karena perzinaan." Ibu berbicara lirih sembari menutup wajah dengan kedua tangannya.

 "Perzinaan? Maksud Ibu? Siapa yang berzina di keluarga kita?" Aku sungguh tak paham ucapan Ibu.

 "Nanti kamu akan tahu, Laras." Wajah sendunya semakin terlihat mendung.

 Ibu berusia 56 tahun. Di usianya sekarang Ibu masih terlihat segar dan energik. Mungkin karena Ibu senang merawat tanaman, rajin berpuasa Senin-Kamis, juga ikut senam manula di halaman sekolah SD yang tak jauh dari rumah kami. Selain itu Ibu tidak terlalu banyak beban pikiran. Melihat wajahnya yang muram, aku baru menyadari telah terjadi sesuatu yang aku tidak tahu.

 "Bu, Laras ndak akan paham kalau Ibu ndak cerita semuanya." Aku memegang tangan Ibu yang mulai terlihat mengendur kulitnya.

"Ini aib keluarga kita, Laras. Bagus ternyata masih berhubungan dengan Rafiqoh, padahal di depan kita, dia terlihat harmonis bersama Riris dan kedua anak mereka." Ibu melempar pandangan. Jelas tampak keresahan menggayuti wajahnya. Ibu tak seharusnya memikirkan hal ini.

 "Ibu tahu dari mana?" tanyaku berhati-hati. Bukan tidak percaya dengan Ibu, tetapi aku harus tahu dari mana berita ini berasal.

 "Dari sumber tepercaya," jawab Ibu perlahan.

 "Bude Narsih?" kejarku ingin tahu. Ibu menggelengkan kepalanya.

 "Bukan hanya Bagus yang menduakan Riris, Lika juga ternyata berhubungan dengan Ibram," desah Ibu sambil mengempaskan napas panjang.

 Astaghfirullah! Dadaku mendadak sesak.

Aku tidak ingin memercayai berita ini. Rasanya tidak mungkin kakak-kakakku berbuat seperti yang dikatakan Ibu. Mereka kakak-kakakku yang seharusnya menjadi panutanku. Bukan, jangan pikirkan aku, pikirkan Ibu. Seharusnya mereka tidak menggores luka di hati Ibu.

 "Ibu kecolongan, Laras. Ibu harus berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan."

"Ibu harus jawab pertanyaan Laras, Ibu tahu dari mana?" tanyaku geram. Lama Ibu terdiam, sampai akhirnya terdengar sebuah nama dari mulutnya.

"Haji Umar yang memberitahu Ibu, Bude Narsih saksinya."

Aku memegang dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri.  Sesak dan nyeri bergantian datang membuatku bangkit dari duduk. Jika orang lain yang memberitahu berita ini, mungkin aku akan mendampratnya sekarang juga. Tetapi kabar ini datang dari seorang Bapak yang anak-anaknya berhubungan dengan kakak-kakakku. Ah, rasanya aku ingin bilang, ini fitnah!

"Jadi karena alasan ini Ibu ingin menikah dengan Haji Umar?"

"Laras, maafkan Ibu jika mengecewakanmu, Nak. Sungguh Ibu sendiri juga tidak menyangka semua ini terjadi. Menjelang hari pernikahanmu memang Ibu sering gelisah. Kamu akan segera meninggalkan Ibu, siapa yang akan menjaga Ibu nanti? Haji Umar orang yang sangat baik. Dia mau melakukan ini untuk keluarga kita juga keluarganya sendiri."

"Bu, kenapa tidak Ibu marahi saja Mbak Lika dan Mas Bagus? Laras akan telepon mereka supaya besok datang. Ibu berhak marah, Bu."

"Haji Umar sudah melakukan itu kepada Rafiqoh dan Ibram. Menasihati mereka baik-baik. Bahkan Haji Umar juga bilang beliau tidak akan membagikan warisan kalau mereka berdua masih terlibat skandal. Kamu tahu jawabannya? Rafiqoh justru mengancam akan bercerai dari Lutfi, suaminya."

"Benar-benar tak tahu malu perempuan itu. Nyesel aku dulu pernah mengidolakan dia, Bu. Dulu dia itu kakak kelasku. Cantik, kalem dan salihah sepertinya. Selepas lulus dari MAN langsung kuliah di Universitas Islam, ternyata begini kelakuannya." Aku mencebik. Aku kesal bukan hanya kepadanya tetapi juga kepada Mas Bagus yang begitu lemah di hadapan Rafiqoh. 

"Kalau sampai dia bercerai dari suaminya, rumah tangga Bagus dan Riris juga terancam bubar. Ibu ndak mau cucu-cucu Ibu jadi anak korban perceraian."

Aku termangu mendengar penuturan Ibu. Tak kusangka masalahnya serumit ini. Di keluarga kami perceraian menjadi momok yang sangat dihindari. Dari silsilah kakek dan nenek dari pihak Ibu maupun Bapak, tidak ada yang namanya perceraian hidup. Rata-rata saudara kami menjadi duda atau janda karena ditinggal mati oleh pasangannya. Aku bisa mengerti perasaan Ibu. Baginya percerain adalah aib keluarga. Memalukan.

"Apa gunanya mempertahankan pernikahan jika telah terjadi perselingkuhan, Bu? Mas Bagus jelas salah. Sudah menjadi hak Mbak Riris jika mengetahui kelakuan suaminya suatu saat nanti dia mengajukan cerai."

"Hush, jangan ngomong ngawur gitu. Tidak boleh ada perceraian di keluarga ini. Makanya kita harus membantu mereka. Ibu akan berjuang supaya tidak ada yang bercerai. Setiap pernikahan ada ujiannya masing-masing, Laras. Mereka tidak boleh bercerai. Ibu harus berbuat sesuatu."

"Dengan cara Ibu menikah dengan Haji Umar? Yang benar saja, Bu!" teriakku kalap. Tidak mungkin Ibu mengorbankan diri dan kesetiannya kepada Bapak hanya untuk membela anak-anaknya yang tak tahu diri. Aku tidak rela Ibu melakukan itu.

"Laras, kalau kamu nanti sudah menjadi seorang ibu, kamu akan rela melakukan apa pun untuk anakmu." Ah, ini alasan yang klasik sekali.

"Bu, apakah Ibu yakin mereka akan berhenti kalau Ibu menikah dengan Haji Umar? Tidak akan semudah itu! Mereka bisa saja berpura-pura bego. Duh, Ibu ini jangan naif. Mana ada orang berselingkuh tiba-tiba taubat hanya karena orang tuanya menikah?" gerutuku kesal. Kali ini aku tidak sependapat dengan Ibu.

"Laras, jika mereka berhenti berhubungan, maka Ibu dan Haji Umar batal menikah. Tetapi jika aib terus berlanjut, tidak ada yang bisa menghentikan pernikahan ini. Ibu sudah niatkan demi kebaikan semuanya. Ibu akan menunggu selama satu bulan."

Kadang-kadang aku tak suka punya Ibu yang tegas dan kukuh pada pendiriannya.

Bab terkait

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    Menunggu Satu Bulan

    Part 2Di dunia ini ada beberapa hal yang disebut takdir, sisanya adalah pilihan. Aku memilih tidak mengikuti kemauan Ibu seperti juga kakak-kakakku. Bagaimanapun mereka sudah dewasa, sudah bisa memutuskan yang terbaik untuk kehidupan mereka sendiri. Ibu berbicara sangat lantang, seolah-olah sudah memperhitungkan apa yang akan dilakukan. Aku masih tidak bisa memahami maksud Ibu, tetapi memilih diam tanpa membantah. Apakah perselingkuhan kakak-kakakku bisa terhenti karena Ibu menikah lagi? Rasanya sungguh tidak masuk akal!Keesokan harinya Mas Bagus menelepon. Tumben Mas Bagus menelepon duluan. Biasanya aku menelepon hendak mengabari Ibu masuk angin saja sering ditolak atau tak mau mengangkat."Laras, bagaimana? Apakah Ibu sudah berubah pikiran?" tanya Mas Bagus ingin tahu. Aku jadi penasaran, bagaimana reaksinya jika kukabari sesuatu. Bukankah rencana Ibu ini juga ada hubungannya dengan dia?"Ibu sepertinya sudah mantab untuk menikah, Mas. Tadi pagi Ibu mengumpulkan KTP, KK juga, sep

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    Rumah Akan Dijual

    Part 3Baik dan buruk adalah pilihan di dalam takdir. Takdir kita untuk lahir, pilihan kita untuk berbuat. Ibu memilih menikah lagi untuk menyelamatkan rumah tangga anak-anaknya. Tentu saja ini bukan pilihan mudah. Ibu sudah dua puluh tahun ditinggal Bapak. Tentu untuk menerima kehadiran laki-laki baru, Ibu butuh waktu. Tidak bisa secepat itu. Aku membuka pintu kamar Ibu perlahan. Jam 02.30 dini hari, Ibu pasti sedang salat Tahajud. Kami mempunyai rutinitas yang sama. Setelah salat biasanya aku lelap sebentar menunggu Subuh datang. Kali ini pikiranku tak tenang. Ibu sedang memutar tasbihnya ketika aku masuk ke kamar, lalu merebahkan diri di kasurnya. "Ibu pasti tidak bisa tidur nyenyak, kan?" tanyaku saat melihat ibu membuka mukenanya."Ibu kepikiran terus, Laras. Ibu bertanya-tanya apakah kamu tidak masalah jika ibu menikah sebulan lagi? Menurutmu apakah tidak lebih baik kamu mempercepat pernikahanmu?” "Mas Erlangga sudah merencanakan semuanya, Bu. Bagi Laras lebih baik jika Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    Obat Apa yang Diminum Ibu?

    Bab 4Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Tugas kita berusaha menemukan takdir terbaik kita. Sampai saat ini, aku masih meyakini usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Maka segera kukirimkan pesan kepada Mbak Riris.[Mbak, besok Laras mau ke rumah mengantar puding. Ada resep baru, biar dicicipin sama Dija dan Hanima, Mbak Riris ada di rumah jam tiga sore?]Tak lama kemudian, Mbak Riris membalas pesanku.[Wah terima kasih banyak, Laras. Mereka pasti senang. Besok Mbak Riris ada di rumah.]Mbak Riris iparku yang sangat sabar. Sebenarnya Mas Bagus melarangnya bekerja, apalagi setelah Dija dan Hanima lahir. Mereka mengikuti program bayi tabung dan mempunyai sepasang anak kembar yang kini berusia sebelas tahun. Mbak Riris akhirnya diperbolehkan bekerja di TK dekat rumah mereka setelah Dija dan Hanima mulai tumbuh besar. Kusapa Si Kembar yang sedang asyik bermain di pinggir kolam teras belakang. Mereka tertawa kegirangan saat menerima puding mangga susu yang sengaja aku buat s

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    5. Rencana Laras

    Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa kebetulan sesungguhnya tidak pernah ada. Hal yang sama juga berlaku saat dering telepon dari Mas Danu yang segera menyadarkanku bahwa posisi Mbak Lika mungkin tidak lagi aman. Ibu menatapku sambil menatap ponselnya yang masih kugenggam. Aku mencoba bersikap biasa, meskipun dadaku bergemuruh hebat."Telepon dari siapa?" tanyanya pelan.Duh, bagaimana ini? Apakah aku harus memberikan kepada Ibu, atau sebaiknya tak kubiarkan Ibu dan Mas Danu mengobrol?"Laras, sini teleponnya, barangkali penting." Terpaksa kuberikan telepon Ibu."Iya, Nak Danu, Waalaikumsalam. Kabar Ibu baik, gimana kabarmu? Ini masih di rumah atau sudah berangkat? Oh, baru sampai Bali. Lika tidak ada di sini. Lho, tidak ada di warung? Mungkin sedang ada keperluan. Jadi teleponnya mati? Apa perlu Laras pergi ke warung Lika? Nanti Ibu kabari Nak Danu? Tidak usah, baiklah. Maaf Nak Danu, Lika memang sering lupa ch

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    6. Kedua Anakku Berbohong

    Keesokan harinya aku bangun agak terlambat. Setelah salat Subuh aku segera mandi dan bersiap ke kantor. Hari ini jadwalku padat karena ada beberapa kunjungan luar untuk pengukuran tanah. Ketika membuka pintu kamar, kulihat gorden masih tertutup. Begitu juga dengan pintu ruang tamu. Biasanya sepagi ini Ibu sudah selesai menyapu dan sedang berkebun merawat bunga-bunga cantiknya. Apakah Ibu berangkat senam pagi?Kubuka gorden dan mematikan lampu, lalu membuka pintu. Kesejukan udara pagi menerpa wajahku. Di luar sudah mulai ramai beberapa pedagang yang berjualan bubur melewati jalan di depan rumah. Sepertinya aku harus membelikan Ibu bubur dahulu sebelum berangkat kerja. Apakah Ibu masih ada di kamarnya?Kubuka pintu kamar Ibu yang tidak pernah dikunci, ternyata Ibu masih terbaring di kasur. Mungkin Ibu tertidur lagi setelah salat Subuh. Kudekati Ibu untuk berpamitan."Bu, Laras mau berangkat pagi, Ibu mau sarapan bubur? Biar Laras belikan." Kuraih tangan Ibu hendak mencium tangannya. Y

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    7. Upaya Membuat Mbak Riris Peduli

    Hari ini pernikahan Ibu dengan Haji Umar digelar setelah melalui beberapa pertimbangan. Ibu terlihat anggun memakai gamis putih, lengkap dengan kerudung panjang yang pernah dipakai saat umrah sepuluh tahun lalu. Beliau sudah menolak terlebih dahulu saat aku bermaksud membelikan gamis baru.“Ibu tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Sejak kematian bapakmu, ibu sudah berjanji untuk setia hanya kepada Bapak.” Ibu mengusap sudut matanya.“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menggenggam takdir. Jika hari ini Ibu memutuskan untuk kembali berumah tangga, itu bukan karena Ibu tidak setia dengan Bapak. Laras tahu Ibu melakukan ini justru karena Ibu sangat menyayangi anak-anak Bapak.” Aku menguatkan Ibu yang mulai terbawa suasana hati. "Ibu sudah siap?" tanyaku sesaat setelah Ibu tenang. Hanya aku satu-satunya anak yang hadir dalam pernikahan Ibu. “Penghulu sudah datang, ayo Ibu keluar." Aku menepuk pundak Ibu yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Aku segera berjalan men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-06
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15

Bab terbaru

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    16. Lika Si Keras Kepala

    Part 16Ini sangat tidak masuk akal! Mbak Lika mengakui dengan jujur kalau dia mengirimkan foto saat aku dan Mas Zaidan berbincang di ruang tamu? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikirannya? Jadi dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu? Lututku terasa lemas. Aku segera mencari pegangan di pinggir ranjang. Dadaku berdegup sangat kencang. Berkali-kali aku menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Mbak Lika."Laras, Mbak minta maaf. Maafkan Mbak Lika yang tidak menyangka semua ini terjadi." "Mas Erlangga bilang apa saat Mbak Lika mengirimkan foto itu?""Awalnya dia diam, Laras. Dia hanya bilang terima kasih karena sudah mengirimkan foto itu. Mbak berusaha meyakinkannya kalau kamu selingkuh dengan Zaidan. Mbak saat itu membencimu karena kamu terlalu ikut campur urusan Mbak." Mbak Lika tergugu di hadapanku. Aku tidak tahu harus percaya padanya atau kuabaikan saja. Rasanya luka di hatiku yang belum mengering kembali dikucuri cuka. Perihnya menyayat tanpa bisa kutahan."Esoknya Erl

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    15. Ibram yang Sinis

    Part 15Takdir mungkin mengabulkan keinginan kita dengan caranya sendiri. Seperti cara yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehku saat Denis menagih makan siang yang kujanjikan. [Bagaimana jawaban Ibu untuk pesanan makan siangku hari ini?]Pesan WA dari Denis masuk sesaat setelah aku mandi. Ah, sialnya karena masalah ribut-ribut semalam aku lupa bilang pada Ibu bahwa Denis memesan makan siang. Tak apa. Aku akan menggoreng telur dan tempe saja. Menunya sama dengan menu makan siangku."Laras, ini bekal makan siangmu." Tak kusangka Ibu sudah menyiapkan satu kotak makanan. Kupikir Ibu masih berbaring di kasur karena kejadian tadi malam. "Bu, temanku Denis juga minta dibawakan, Bu. Hanya saja Laras lupa bilang sama Ibu karena pikiran Laras kalut." "Teman sekantor? Ya sudah Ibu bikin satu lagi. Tunggu sebentar.” Ibu bergegas kembali ke dapur. Sesaat kemudian di tangannya sudah siap satu kotak makanan.” Siapa tadi namanya? Denis, ya? Jadi dia mau makan siangnya kembaran sama kamu?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    14. Kabar Bahagia dan Kabar Duka

    Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    13. Rencana Menikah Sudah Bulat

    Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    12. Maling Teriak Maling

    Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

DMCA.com Protection Status