Share

5. Rencana Laras

Penulis: Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-03 10:25:35

Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa kebetulan sesungguhnya tidak pernah ada. Hal yang sama juga berlaku saat dering telepon dari Mas Danu yang segera menyadarkanku bahwa posisi Mbak Lika mungkin tidak lagi aman. Ibu menatapku sambil menatap ponselnya yang masih kugenggam. Aku mencoba bersikap biasa, meskipun dadaku bergemuruh hebat.

"Telepon dari siapa?" tanyanya pelan.

Duh, bagaimana ini? Apakah aku harus memberikan kepada Ibu, atau sebaiknya tak kubiarkan Ibu dan Mas Danu mengobrol?

"Laras, sini teleponnya, barangkali penting." Terpaksa kuberikan telepon Ibu.

"Iya, Nak Danu, Waalaikumsalam. Kabar Ibu baik, gimana kabarmu? Ini masih di rumah atau sudah berangkat? Oh, baru sampai Bali. Lika tidak ada di sini. Lho, tidak ada di warung? Mungkin sedang ada keperluan. Jadi teleponnya mati? Apa perlu Laras pergi ke warung Lika? Nanti Ibu kabari Nak Danu? Tidak usah, baiklah. Maaf Nak Danu, Lika memang sering lupa charge ponselnya. Baik, Waalaikumsalam."

Ibu mematikan ponselnya.

"Laras, kamu coba ke warung Lika, Danu tidak bisa menghubungi."

"Bu, Laras, kan, baru pulang. Sebentar lagi Magrib, Laras belum mandi. Nanti juga aktif, mungkin lowbatt, atau sedang banyak pelanggan."

Aku tidak mungkin memberitahu Ibu kalau Mbak Lika sedang bersama Mas Ibram. Baru ditinggal suaminya berlayar kemarin, sekarang dia sudah berduaan dengan suami orang. Sungguh rasanya ingin kumaki-maki, jika saja Mbak Lika tidak lebih tua dari aku.

"Di warung, kan, ada telepon meja, coba berapa nomornya, sini Ibu mau telepon." Ibu masih saja mendesak. Seolah-olah paham sedang terjadi sesuatu, Ibu ingin memastikan semuanya baik-baik saja.

"Wah, Laras ndak hafal, Bu. Sekaraqng kayaknya telepon meja sudah tidak nyala." Aku hafal nomornya dan masih aktif, lagi-lagi aku berbohong untuk membela kakakku yang tak tahu diri, lebih tepatnya melindungi Ibu dari kabar yang tidak menyenangkan.

Selepas Magrib, ketika kami makan malam, Ibu kembali menanyakan Mbak Lika.

"Sudah Ibu telepon belum aktif ponselnya. Ada apa, ya?" Wajah Ibu tampak resah. Aku meletakkan sendok, rasanya nafsu makanku hilang seketika.

"Mungkin sedang menyiapkan pesanan, Bu. Warung Mbak Lika kalau ramai pasti dia ikut turun tangan. Jadi ndak sempat liat ponsel."

Ibu terdiam saat makan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Akhir-akhir ini kuperhatikan memang Ibu lebih banyak diam.

Aku hendak mencuci piring ketika ponselku berdering, panggilan masuk dari Mbak Lika. Dengan malas kuterima panggilan itu.

"Laras, Mas Danu tadi telepon kamu?"

"Bukan. Mas Danu yang telepon Ibu," jawabku ketus sambil berjalan ke teras, menjauh dari Ibu terlihat curiga.

"Mas Danu bilang apa?" tanya Mbak Lika cemas.

"Nyariin istrinya yang sedang berduaan dengan lelaki lain." Akhirnya aku tak tahan menyimpan semuanya. Setidaknya aku harus ngomong bahwa aku tahu kelakuannya tadi di toko kue.

"Kamu jangan asal menuduh Laras. Ibu pasti sudah mempengaruhi kamu."

"Aku cuma bilang fakta, Mbak. Untung aku yang lihat Mbak Lika dan Mas Ibram keluar dari toko kue tadi sore, coba kalau Mas Danu yang lihat, habis kamu, Mbak."

"Laras, jangan bicara sembarangan kamu, nanti Ibu dengar. Terserah kamu mau menilai apa, jangan ikut campur urusan Mbak."

"Kalau sampai Ibu kepikiran dan sakit gara-gara masalah ini, maka ini jadi urusanku juga, Mbak. Ibu tinggal sama aku, jadi aku yang mengurusnya, jangan sampai kalian berdua bikin Ibu sakit," tegasku.

"Mas Danu tadi ngomong apalagi? Bilangin ke Ibu, lain kali kalau Mas Danu telepon tidak usah diangkat."

"Mbak, kalau Mbak Lika mau jadi orang ndak bener jangan ajak-ajak Ibu. Lagian Ibu tidak ada masalah sama Mas Danu, jadi kenapa mesti menghindar? Mbak yang harus kasih tahu Mas Danu, jangan lagi menelepon Ibu untuk mencari istrinya, karena Mbak Lika juga jarang menengok Ibu. Atau jangan-jangan setiap Mbak Lika keluar, bilangnya sedang ke sini menengok Ibu? Iya benar begitu?" cerocosku tanpa henti. Muak sekali aku dengan kelakuan kakakku.

"Ah, sudah! Kamu anak kecil ndak ada sopannya sama kakakmu. Kalau kamu ndak mau bilangin Ibu, nanti biar Mbak Lika sendiri yang telepon Ibu."

Aku hampir berteriak mencegahnya, tapi Mbak Lika keburu mematikan panggilan. Benar-benar tidak tahu malu. Heran aku dengan kelakuannya juga Mas Bagus. Punya rumah tangga yang nyaris sempurna tapi lebih memilih berselingkuh. Dasar orang-orang yang tidak bersyukur!

"Ibu ndak ngomong apa-apa sama Danu, Lika." Oh secepat itu dia menelepon Ibu. Baru saja aku akan meneruskan cuci piring, Ibu sedang berbicara dengannya di telepon.

"Kamu tahu, kan, tidak boleh seorang istri keluar rumah tanpa seizin suaminya meski cuma satu detik saja, dia dilaknat malaikat." Ibu terdiam sebentar mengatur napas.

"Kemarin Ibu sudah bilang, kalau kamu masih selingkuh dengan suami orang, Ibu akan meneruskan niat untuk menikah lagi. Ini semua Ibu lakukan untuk kalian, bukan untuk Ibu. Lika, kamu segeralah bertaubat, Nduk. Ibu--"

Ibu melihat ponselnya, sepertinya panggilan sudah diputus oleh Mbak Lika.

"Sudahlah, Bu, jangan diambil hati. Tugas Ibu sudah selesai. Mereka memilih untuk tetap di jalan dosa," cetusku kesal.

"Tidak ada tugas seorang Ibu yang selesai mendidik anaknya. Selama masih hidup, Ibu tidak rela anak-anak Ibu mengambil jalan sesat."

 "Ibu menasihati mereka, itu sudah cukup. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk manut. Kita hanya bisa mengingatkan."

"Ibu bisa memaksa mereka."

"Bagaimana caranya?"

"Tidak perlu menunggu sebulan, secepatnya Ibu akan menikah dengan Haji Umar."

Aku terdiam mendengar tekad Ibu yang telanjur bulat. Ini bukan tentang kebutuhan seks di usia beliau yang sudah lima puluh tahun lebih. Wanita yang sepertinya sengaja ingin mengorbankan diri menikahi pria sebaya yang bernasib sama. Kami sama-sama diam dan saling mengeja hati masing-masing.

"Apa yang bisa Laras lakukan untuk pernikahan Ibu?" Akhirnya aku membuka suara. Pertahananku runtuh melihat perlakuan kedua kakakku kepada Ibu. Bukan. Aku bukan ingin mendukung rencana Ibu untuk membuat anak-anaknya jera. Aku mendukung Ibu menikah lagi karena sekarang Ibu butuh teman yang mengerti. Haji Umar ada di posisi yang sama. Ini akan membuat Ibu merasa mempunyai teman seperjuangan.

"Tidak ada, Laras. Ibu hanya butuh doa darimu. Ibu akan mengundang Haji Umar ke sini bersama Bude Narsih dan suaminya. Kami akan membicarakan persiapan secepatnya."

"Laras mendoakan semoga semuanya lancar, Bu. Laras percaya Ibu tidak salah mengambil keputusan."

Aku meninggalkan Ibu sendirian di ruang tengah. Kupencet tombol hijau pada nama Mas Erlangga. Sesaat kemudian terdengar suara pria yang kucintai.

"Mas, Ibu akan menikah secepatnya. Situasi semakin buruk karena Mas Bagus dan Mbak Lika tetap tidak mau mendengarkan nasihat Ibu."

"Ya sudah, mau bagaimana lagi? Ini keputusan Ibu. Hanya saja, Mas belum bisa menceritakan ini kepada orang tua mas, Dik."

Suara Mas Erlangga terdengar gamang. Aku paham, dia pasti malu. Kami yang merencanakan pernikahan jauh hari, ternyata Ibu yang menikah duluan.

Bagi orang yang tidak paham, pasti akan menganggap Ibu ganjen, tua-tua keladi, masih memikirkan dunia. Aku paham mungkin Mas Erlangga juga bingung harus mulai dari mana ketika menyampaikan berita ini kepada orang tuanya. Tak mengapa.

"Iya, ndak papa, Mas. Nanti saja kalau semua sudah berjalan lancar. Maaf jika pernikahan Ibu membuat Mas Erlangga tidak nyaman."

"Dik, kamu benar ketika bilang mengkhawatirkan Ibu saat kamu nanti ikut Mas ke sini. Kalau Ibu menikah bakal ada yang menjaga, itu yang paling membuat Mas tidak terlalu merasa bersalah memboyongmu ke sini nantinya."

 "Jadi benar Mas ndak malu? Sebentar lagi berita ini pasti akan sampai ke kampungmu. Papa dan mamamu pasti akan tanya. Apa tidak sebaiknya aku datang untuk memberitahu mereka?"

"Boleh juga, itu ide yang bagus. Sekalian kamu, kan, sudah lama tidak menengok mereka. Katanya Mama kangen sama calon mantunya yang ayu." Mas Erlangga memang paling bisa membuatku tersipu.

"Kamu memang anak laki-laki satu-satunya, ya, jelas aku calon mantu paling ayu," rajukku.

Mas Erlangga tertawa mendengar gurauanku. Kami larut dalam obrolan tentang pekerjaannya, tentang persiapan pernikahan, hingga pekerjaanku. Tanpa kami sadari malam semakin tua. Mengobrol dengan Mas Erlangga memang selalu membuatku lupa waktu. Hanya malam begini waktu yang kami miliki untuk membunuh rindu.

"Sudah dulu, ya, Mas. Aku sudah ngantuk. Besok aku harus ikut tim untuk pengukuran tanah ke luar kota. Mas Erlangga juga tidur, jangan begadang biar besok fit lagi."

"Ya sudah, Mas mau cari makan dulu sebelum tidur. Lapar dari tadi belum makan."

"Lha, kok, ndak bilang kalau belum makan? Udah malam gini baru mau keluar."

"Kamu, kan, ndak tanya, Dik. Padahal Mas itu udah ngarep ditanya dari tadi, loh."

"Ya Allah, maaf, Mas. Aku lupa, malah ngobrol ke mana-mana. Ya sudah, makan dulu sana, kasihan itu cacingnya kelaparan."

"Sekalinya nyuruh makan, malah cacing yang dikuatirkan, wis aku ndak penting memang." Sekarang gantian dia yang merajuk. Mas Erlangga memang calon suami yang menyenangkan. Dia bisa menjadi teman, kakak, terkadang juga menjadi bapak.

Aku hanya tertawa sebelum mengakhiri pembicaraan. Mengobrol dengan Mas Erlangga selalu membuat hatiku hangat. Kami sudah berteman sejak SMA, tetapi memutuskan berpacaran setelah sama-sama lulus kuliah dan bekerja. Jodoh memang seajaib itu.

Mas Erlangga pria yang tidak neko-neko. Hidupnya lurus-lurus saja sejak dahulu. Pantas saja segala urusannya dimudahkan, sampai masalah pekerjaan pun, Mas Erlangga tidak perlu susah payah mencari karena direkrut oleh perusahaan multinasional begitu dia lulus kuliah.

Aku meletakkan ponsel di meja lalu bergegas ke kamar mandi. Saat melewati kamar Ibu, kudengar suara isakan tangis. Ibu sedang menangis? Sekarang belum waktunya salat Tahajud. Aku mendekatkan telinga ke arah pintu kamar Ibu.

Suara tangisan Ibu makin terdengar jelas.

"Ibu mohon, Bagus. Untuk yang terakhir kali. Tinggalkan Rafiqoh. Kasihan Riris. Ibu mohon, Nak."

Rupanya Ibu sedang menelepon Mas Bagus. Selarut ini Ibu masih juga peduli pada anaknya yang tidak tahu diri. Ibu kenapa harus memohon kepada lelaki yang tak tahu cara menghargai wanita yang melahirkannya itu?   

Hampir saja kubuka handel pintu kamar Ibu, tetapi aku teringat perbincangan terakhir dengan Mas Bagus yang menyebutku dengan kata-kata yang tidak pantas. Akhirnya kubiarkan Ibu menyelesaikan urusannya dengan anak lelaki kesayangannya.

Bab terkait

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    6. Kedua Anakku Berbohong

    Keesokan harinya aku bangun agak terlambat. Setelah salat Subuh aku segera mandi dan bersiap ke kantor. Hari ini jadwalku padat karena ada beberapa kunjungan luar untuk pengukuran tanah. Ketika membuka pintu kamar, kulihat gorden masih tertutup. Begitu juga dengan pintu ruang tamu. Biasanya sepagi ini Ibu sudah selesai menyapu dan sedang berkebun merawat bunga-bunga cantiknya. Apakah Ibu berangkat senam pagi?Kubuka gorden dan mematikan lampu, lalu membuka pintu. Kesejukan udara pagi menerpa wajahku. Di luar sudah mulai ramai beberapa pedagang yang berjualan bubur melewati jalan di depan rumah. Sepertinya aku harus membelikan Ibu bubur dahulu sebelum berangkat kerja. Apakah Ibu masih ada di kamarnya?Kubuka pintu kamar Ibu yang tidak pernah dikunci, ternyata Ibu masih terbaring di kasur. Mungkin Ibu tertidur lagi setelah salat Subuh. Kudekati Ibu untuk berpamitan."Bu, Laras mau berangkat pagi, Ibu mau sarapan bubur? Biar Laras belikan." Kuraih tangan Ibu hendak mencium tangannya. Y

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    7. Upaya Membuat Mbak Riris Peduli

    Hari ini pernikahan Ibu dengan Haji Umar digelar setelah melalui beberapa pertimbangan. Ibu terlihat anggun memakai gamis putih, lengkap dengan kerudung panjang yang pernah dipakai saat umrah sepuluh tahun lalu. Beliau sudah menolak terlebih dahulu saat aku bermaksud membelikan gamis baru.“Ibu tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Sejak kematian bapakmu, ibu sudah berjanji untuk setia hanya kepada Bapak.” Ibu mengusap sudut matanya.“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menggenggam takdir. Jika hari ini Ibu memutuskan untuk kembali berumah tangga, itu bukan karena Ibu tidak setia dengan Bapak. Laras tahu Ibu melakukan ini justru karena Ibu sangat menyayangi anak-anak Bapak.” Aku menguatkan Ibu yang mulai terbawa suasana hati. "Ibu sudah siap?" tanyaku sesaat setelah Ibu tenang. Hanya aku satu-satunya anak yang hadir dalam pernikahan Ibu. “Penghulu sudah datang, ayo Ibu keluar." Aku menepuk pundak Ibu yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Aku segera berjalan men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-06
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    12. Maling Teriak Maling

    Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-26
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    13. Rencana Menikah Sudah Bulat

    Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-31

Bab terbaru

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    16. Lika Si Keras Kepala

    Part 16Ini sangat tidak masuk akal! Mbak Lika mengakui dengan jujur kalau dia mengirimkan foto saat aku dan Mas Zaidan berbincang di ruang tamu? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikirannya? Jadi dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu? Lututku terasa lemas. Aku segera mencari pegangan di pinggir ranjang. Dadaku berdegup sangat kencang. Berkali-kali aku menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Mbak Lika."Laras, Mbak minta maaf. Maafkan Mbak Lika yang tidak menyangka semua ini terjadi." "Mas Erlangga bilang apa saat Mbak Lika mengirimkan foto itu?""Awalnya dia diam, Laras. Dia hanya bilang terima kasih karena sudah mengirimkan foto itu. Mbak berusaha meyakinkannya kalau kamu selingkuh dengan Zaidan. Mbak saat itu membencimu karena kamu terlalu ikut campur urusan Mbak." Mbak Lika tergugu di hadapanku. Aku tidak tahu harus percaya padanya atau kuabaikan saja. Rasanya luka di hatiku yang belum mengering kembali dikucuri cuka. Perihnya menyayat tanpa bisa kutahan."Esoknya Erl

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    15. Ibram yang Sinis

    Part 15Takdir mungkin mengabulkan keinginan kita dengan caranya sendiri. Seperti cara yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehku saat Denis menagih makan siang yang kujanjikan. [Bagaimana jawaban Ibu untuk pesanan makan siangku hari ini?]Pesan WA dari Denis masuk sesaat setelah aku mandi. Ah, sialnya karena masalah ribut-ribut semalam aku lupa bilang pada Ibu bahwa Denis memesan makan siang. Tak apa. Aku akan menggoreng telur dan tempe saja. Menunya sama dengan menu makan siangku."Laras, ini bekal makan siangmu." Tak kusangka Ibu sudah menyiapkan satu kotak makanan. Kupikir Ibu masih berbaring di kasur karena kejadian tadi malam. "Bu, temanku Denis juga minta dibawakan, Bu. Hanya saja Laras lupa bilang sama Ibu karena pikiran Laras kalut." "Teman sekantor? Ya sudah Ibu bikin satu lagi. Tunggu sebentar.” Ibu bergegas kembali ke dapur. Sesaat kemudian di tangannya sudah siap satu kotak makanan.” Siapa tadi namanya? Denis, ya? Jadi dia mau makan siangnya kembaran sama kamu?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    14. Kabar Bahagia dan Kabar Duka

    Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    13. Rencana Menikah Sudah Bulat

    Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    12. Maling Teriak Maling

    Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status