Keesokan harinya aku bangun agak terlambat. Setelah salat Subuh aku segera mandi dan bersiap ke kantor. Hari ini jadwalku padat karena ada beberapa kunjungan luar untuk pengukuran tanah.
Ketika membuka pintu kamar, kulihat gorden masih tertutup. Begitu juga dengan pintu ruang tamu. Biasanya sepagi ini Ibu sudah selesai menyapu dan sedang berkebun merawat bunga-bunga cantiknya. Apakah Ibu berangkat senam pagi?Kubuka gorden dan mematikan lampu, lalu membuka pintu. Kesejukan udara pagi menerpa wajahku. Di luar sudah mulai ramai beberapa pedagang yang berjualan bubur melewati jalan di depan rumah. Sepertinya aku harus membelikan Ibu bubur dahulu sebelum berangkat kerja. Apakah Ibu masih ada di kamarnya?Kubuka pintu kamar Ibu yang tidak pernah dikunci, ternyata Ibu masih terbaring di kasur. Mungkin Ibu tertidur lagi setelah salat Subuh. Kudekati Ibu untuk berpamitan."Bu, Laras mau berangkat pagi, Ibu mau sarapan bubur? Biar Laras belikan." Kuraih tangan Ibu hendak mencium tangannya.Ya Tuhan, kenapa tangan Ibu dingin sekali. Wajahnya, bibirnya juga pucat."Ibu! Bangun, Bu!" Aku berteriak panik sambil mengguncang tubuh Ibu yang dingin.Aku segera menelepon Mbak Tari ketika menyadari Ibu tidak sadarkan diri. Berkali-kali kutelepon tetapi Mbak Tari tidak mengangkatnya. Setengah putus asa kutelepon juga Mbak Lika, ternyata sama saja. Teleponnya tidak aktif. Alternatif terakhir Mas Bagus. Nyambung tetapi tidak diangkat, ketika kuhubungi lagi langsung dia matikan. Sungguh dalam kondisi normal ingin sekali kumaki. Tapi ini kondisi darurat. Yang kupikirkan hanya Ibu harus segera tersadar.Segera kupesan taksi online, meskipun di kampungku biasanya lama karena posisi mereka jauh. Dapat satu nama, langsung kuklik order. Sambil menunggu taksi online datang, kuraba kening Ibu, dan mencoba tetap menyadarkannya. Kupanggil nama Ibu dan kubacakan Al Fatihah berkali-kali di telinganya.Tanpa kuduga Ibu memberikan respon, tangannya bergerak-gerak. Tubuhnya mulai menghangat. Pada saat yang bersamaan taksi online datang. Ternyata sopirnya adalah Zaidan, orang yang kemarin mengantar obat untuk Ibu. Rupanya dia juga menjadi driver taksi online. "Kenapa Ibu Aminah?" tanyanya. Dia pasti tahu karena aku order tujuan ke rumah sakit."Bisa tolong bantu angkat Ibu?" pintaku yang dijawab dengan anggukan kepala Zaidan.Lelaki berkumis tipis itu buru-buru masuk ke dalam kamar Ibu, kami memapahnya berdua lalu bergegas mendatangi rumah sakit terdekat. Ibu segera mendapat perawatan di IGD, satu jam kemudian perawat memanggil namaku."Silakan masuk, Ibu Aminah sudah sadar," ujar perawat itu.Ibu terbaring lemah dengan selang oksigen terhubung ke hidungnya."Ibu hanya butuh oksigen sementara, kami sudah cek semua kondisinya normal, tetapi ada beberapa observasi yang harus dilakukan Bu Aminah." Dokter yang bertugas memberi kabar yang membuatku lega."Ibu saya sakit apa, Dok?""Mungkin Ibu Aminah terlalu banyak pikiran sehingga menyebabkan gangguan psikosomatis. Ketika merasa takut atau cemas, bisa memunculkan tanda-tanda seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar, mual atau ingin muntah, gemetaran atau tremor, berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung." Dokter berusia sekitar lima puluh tahun itu menjelaskan detail kepadaku yang hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala."Apakah Bu Aminah sedang ada masalah berat?"Aku hanya mengangguk. Masalah berat yang sampai sekarang belum ada solusinya."Jika berlarut-larut atau sering mengalami kecemasan seperti ini, saya sarankan untuk latihan relaksasi atau meditasi. Saya tadi sudah menanyakan obat-obatan yang dikonsumsi Ibu Aminah, ternyata ada anti depresan atau obat penghilang rasa sakit yang diresepkan dokter. Jadi obatnya sudah tepat."Pertanyaanku terjawab sudah. Ternyata selama ini Ibu mengkonsumsi obat anti depresan. Ibu pasti tertekan dengan masalah Mas Bagus dan Mbak Lika. Setelah menunggu beberapa jam Ibu diperkenankan pulang. Hasil tes keseluruhan tes bisa diambil tiga hari lagi."Alhamdulillah Ibu diizinkan pulang."Suara yang tak asing terdengar di telingaku."Loh, Mas Zaidan kenapa masih di sini?" tanyaku keheranan. Wajah lelaki ini terlihat bersih dari dekat. Saat di mobil tadi aku tak sempat memperhatikan."Saya harus memastikan kondisi Bu Aminah dulu, ada amanah dari Abah."Dengan sigap Mas Zaidan membantu Ibu masuk mobil. "Lain kali jangan bawa Ibu ke sini, Laras. Ibu ndak sakit parah. Ibu cuma ndak bisa tidur, trus sedikit mual. Kalau Ibu sakit, pokoknya jangan kamu bawa ke rumah sakit. Jika memang ibu tak ada umur, Ibu ingin meninggal dengan tenang di rumah.""Ibu kok ngomong gitu. Laras akan melakukan apa pun supaya Ibu sehat. Jangan banyak pikiran, ya, Bu.""Ndak mungkin Ibu cuek sama Bagus dan Lika." Ibu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok kursi mobil. Kami lebih banyak diam hingga Ibu kembali tiba di rumah. Setelah kusuapi bubur Ibu minum obat dan tertidur."Terima kasih Mas Zaidan sudah membantu kami," ucapku tulus. Dia memang sangat membantu di saat kakak-kakakku tidak ada satu pun yang peduli pada kondisi Ibu."Sama-sama, Mbak Laras.""Panggil Laras saja. Mas Zaidan ini tinggal di rumah Haji Umar?""Iya, Ras. Wah ndak enak, saya panggil Adik saja. Saya anak angkat Haji Umar. Sudah beberapa bulan ini tinggal di sini. Kasihan Abah hidup sendiri. Apalagi kedua anaknya Mbak Iqoh dan Mas Ibram sibuk, jadi jarang menengok Bapak."Mendengar dua nama yang disebutkan Mas Zaidan sontak membuat perasaanku bergolak lagi. Kesal sekali mengingat mereka juga menjadi penyebab Ibu kepikiran dan akhirnya jatuh sakit."Kemarin saya ke rumah Haji Umar tapi Mas Zaidan ndak ada, ketemunya sama Mas Ibram.""Oh mungkin saya mengajar. Kebetulan saya dapat beberapa jam dalam seminggu mengajar di Kampus Fatahillah.""Jadi Mas Zaidan ini dosen?" tanyaku sedikit terkejut. Kulihat pria ini masih terlalu muda untuk menjadi dosen. Ah, maksudku lebih pantas dari guru SMP."Dosen merangkap detektif. He-he-he.""Detektif, maksudnya?" tanyaku tak mengerti."Kadang-kadang Bapak meminta saya mencari tahu keberadaan Mbak Iqoh sama mas Ibram. Jadi saya mengikuti mereka."Aku nyaris tak percaya dengan perkataan Mas Zaidan. Berarti dia punya lebih banyak bukti perselingkuhan kakak-kakakku dan kakak-kakaknya."Maaf, ya, Mas. Apakah Mas pernah melihat sendiri bukti perzinahan mereka?""Belum pernah, Dik. Kalau menuju suatu lokasi misal rumah makan berdua sering. Pernah saya mengikuti ketika mobil Mas Ibram masuk ke hotel, tapi tak berapa lama mobil itu keluar lagi." Ya, tuduhan perzinaan setidaknya harus ada saksi empat orang lelaki dewasa. Itu jelas sulit dibuktikan. Bagaimana pun seorang wanita bersuami pergi berduaan dengan orang lain yang bukan mahram jelas itu berdosa. Kakak-kakakku dan kakak angkat Mas Zaidan seperti tak peduli lagi pada perbuatan yang mengundang murka Allah. Aku termenung sejenak memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan."Oh, jadi begini kelakuan kamu, Laras? Berduaan sama laki-laki asing? Jadi selama ini kamu berpura-pura sok suci, ya!"Tiba-tiba Mbak Lika muncul dari pintu ruang tamu.Entah dari mana datangnya tiba-tiba Mbak Lika bicara kasar. Kata-katanya sangat tidak enak kudengar."Waalaikumsalam." Aku sengaja menjawab salam meski dia tidak mengucapkan itu saat memasuki rumah. Muka Mbak Lika merah padam."Ada apa Mbak Lika datang-datang kok marah-marah? Oya, ini kenalkan Mas Zaidan, dia yang tadi mengantarkan Ibu ke rumah sakit."Seharusnya Mbak Lika terkejut mendengar kabar Ibu ke rumah sakit. Ibu memang jarang sakit dan ini pertama kali Ibu aku bawa ke rumah sakit. Tapi entah kenapa Mbak Lika seperti tidak peduli."Mana Ibu? Aku mau ngomong langsung." Dia menuju kamar Ibu. Sontak saja aku berlari menghadangnya."Ibu sedang sakit. Mbak Lika ndak dengar barusan Laras bilang apa? Ibu sakit. Baru saja pulang dari rumah sakit dan minum obat. Sekarang Ibu sedang tidur." Aku berbicara sangat tegas sambil memandang matanya yang terlihat gelisah."Kalau begitu kasih tahu Ibu supaya jangan bilang yang tidak-tidak sama Mas Danu.""Masih saja nyalahin Ibu? Mbak punya kaca ndak di rumah? Tuh, di ruang tengah ada kaca, mbak masuk dan ngaca yang bener supaya mbak sadar sama kelakuan sendiri!""Ah, kamu memang sok suci. Ini apa namanya? Berduaan sama laki-laki asing di dalam rumah. Kamu mengambil kesempatan saat Ibu sakit, ya? Pakai alasan dia yang mengantarkan Ibu. Tunggu, sepertinya aku pernah lihat kamu. Siapa namamu tadi? Zaidan?""Iya, saya Zaidan Umar. Kita memang pernah bertemu. Saat itu Mbak Lika dan Mas Ibram sedang makan di rumah makan Sendang Laut." Mas Zaidan tenang sekali menjawab pertanyaan Mbak Lika. Laki-laki ini memang sangat santun."Oh jadi itu kamu. Mana foto-foto itu? Mana siniin ponsel kamu! Kurang ajar, kamu! Beraninya mengambil foto-foto kami tanpa izin." Mbak Lika merangsek maju hendak menyerang Mas Zaidan."Foto-foto apa, Mbak?" tanyaku setengah berteriak.Mbak Lika jadi salah tingkah. Dia pasti tak ingin aku tahu foto-foto bukti dia sedang berduaan dengan suami orang."Laras, kita semua punya rahasia. Aku tak segan akan membongkar kelakuanmu ini sama tunanganmu. Biar dia batal menikahimu! Jangan sok suci jadi perempuan! Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Ini peringatan terakhir buat kalian berdua! Urus hidup kalian sendiri!"Mbak Lika bergegas pergi tanpa melihat kondisi Ibu padahal jelas-jelas aku bilang Ibu sedang sakit. Dengan kasar dan seenaknya dia menutup pintu pagar hingga terdengar suara besi yang nyaring berdenting."Astaghfirullahaladzim," bisikku berkali-kali sambil memegang dada. Pantas saja Ibu sampai sakit. Aku yang hanya adiknya saja merasakan kepedihan luar biasa. Bagaimana dengan Ibu yang melahirkannya?"Sebaiknya jangan terlalu diambil hati omongan Mbak Lika tadi, Dik Laras. Maafkan saya. Saya yang salah karena tidak segera pulang, malah mengajak ngobrol.""Mas Zaidan tidak salah. Saya tahu Mas Zaidan hanya menjalankan amanah Haji Umar untuk membantu kami dan memastikan Ibu baik-baik saja. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, sampaikan juga terima kasih saya kepada Haji Umar.""Ba-baik, Dik Laras. Saya permisi dulu. Ini nomor handphone saya barangkali butuh sesuatu. Insyaallah saya akan cepat datang karena rumah kita tidak terlalu jauh. Semoga Ibu segera sehat, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Aku mengantar kepergian Mas Zaidan hingga ke pintu. Pria ini sangat sopan dan lemah lembut kepada perempuan. Apakah dia sudah menikah?Ah, segera kutepis rasa keingintahuan yang melintas di kepalaku. Yang jelas sifatnya tidak jauh beda dengan Haji Umar. Oh, aku baru ingat, bukankah Haji Umar akan datang hari ini untuk membicarakan masalah pernikahan dengan Ibu? Aku segera membereskan rumah yang masih berantakan. Untunglah bos mengizinkan aku tidak masuk kerja hari ini setelah kuceritakan kondisi Ibu.Hari beranjak sore. Ibu sudah terlihat lebih segar setelah mandi dengan air hangat. Sekarang Ibu sudah duduk rapi di kursi ruang tengah."Wah yang sedang menunggu pangeran datang," godaku melihat Ibu bersiap menyambut tamu. Ibu hanya terkekeh sambil mengibaskan tangannya."Laras, Zaidan itu baik, ya.""Dia disuruh Haji Umar menjaga Ibu. Laras dengar pas dia menerima telepon. Saat itu kami di lobi menunggu Ibu sadar.""Zaidan diasuh Haji Umar saat masih bayi, karena ibunya meninggal saat melahirkan dia." Aku terdiam mendengar cerita Ibu. Laki-laki itu punya cerita sendiri. "Bapaknya tidak tahu masih hidup atau sudah meninggal karena tidak pernah pulang. Anak itu tumbuh besar di pesantren. Tekad Haji Umar menjadikannya pendakwah sebetulnya. Ternyata dia menjadi dosen. Anaknya baik, ganteng, salih, adabnya bagus.""Ibu kenapa dari tadi memuji-muji Mas Zaidan, sih?""Seandainya Ibu punya anak perempuan satu lagi pasti akan Ibu jodohkan dengan dia."Iya aku juga sependapat dengan Ibu. Seandainya aku punya adik perempuan tentu aku tak keberatan jika menikah dengan dia. Entah kenapa, rasanya sreg di hati."Itu Bude Narsih sudah datang," ucapku saat melihat saudara sepupu Ibu memasuki pelataran rumah kami. Tak lama kemudian Haji Umar datang diantar Mas Zaidan. Laki-laki itu sekarang berpakaian rapi memakai baju koko dan peci biru dongker, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Aku hanya menyapa dengan menganggukkan kepala lalu bergegas masuk ke dalam rumah saat menyadari penampilanku masih sangat kucel."Baiklah jadi sesuai kesepakatan, tiga hari saat berkas sudah selesai akad nikah segera dilaksanakan." Suara berat Haji Umar mengakhiri pertemuan sore itu.Hari ini pernikahan Ibu dengan Haji Umar digelar setelah melalui beberapa pertimbangan. Ibu terlihat anggun memakai gamis putih, lengkap dengan kerudung panjang yang pernah dipakai saat umrah sepuluh tahun lalu. Beliau sudah menolak terlebih dahulu saat aku bermaksud membelikan gamis baru.“Ibu tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Sejak kematian bapakmu, ibu sudah berjanji untuk setia hanya kepada Bapak.” Ibu mengusap sudut matanya.“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menggenggam takdir. Jika hari ini Ibu memutuskan untuk kembali berumah tangga, itu bukan karena Ibu tidak setia dengan Bapak. Laras tahu Ibu melakukan ini justru karena Ibu sangat menyayangi anak-anak Bapak.” Aku menguatkan Ibu yang mulai terbawa suasana hati. "Ibu sudah siap?" tanyaku sesaat setelah Ibu tenang. Hanya aku satu-satunya anak yang hadir dalam pernikahan Ibu. “Penghulu sudah datang, ayo Ibu keluar." Aku menepuk pundak Ibu yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Aku segera berjalan men
Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b
Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas
Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di
Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k
Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?
Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih
Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel
Part 16Ini sangat tidak masuk akal! Mbak Lika mengakui dengan jujur kalau dia mengirimkan foto saat aku dan Mas Zaidan berbincang di ruang tamu? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikirannya? Jadi dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu? Lututku terasa lemas. Aku segera mencari pegangan di pinggir ranjang. Dadaku berdegup sangat kencang. Berkali-kali aku menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Mbak Lika."Laras, Mbak minta maaf. Maafkan Mbak Lika yang tidak menyangka semua ini terjadi." "Mas Erlangga bilang apa saat Mbak Lika mengirimkan foto itu?""Awalnya dia diam, Laras. Dia hanya bilang terima kasih karena sudah mengirimkan foto itu. Mbak berusaha meyakinkannya kalau kamu selingkuh dengan Zaidan. Mbak saat itu membencimu karena kamu terlalu ikut campur urusan Mbak." Mbak Lika tergugu di hadapanku. Aku tidak tahu harus percaya padanya atau kuabaikan saja. Rasanya luka di hatiku yang belum mengering kembali dikucuri cuka. Perihnya menyayat tanpa bisa kutahan."Esoknya Erl
Part 15Takdir mungkin mengabulkan keinginan kita dengan caranya sendiri. Seperti cara yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehku saat Denis menagih makan siang yang kujanjikan. [Bagaimana jawaban Ibu untuk pesanan makan siangku hari ini?]Pesan WA dari Denis masuk sesaat setelah aku mandi. Ah, sialnya karena masalah ribut-ribut semalam aku lupa bilang pada Ibu bahwa Denis memesan makan siang. Tak apa. Aku akan menggoreng telur dan tempe saja. Menunya sama dengan menu makan siangku."Laras, ini bekal makan siangmu." Tak kusangka Ibu sudah menyiapkan satu kotak makanan. Kupikir Ibu masih berbaring di kasur karena kejadian tadi malam. "Bu, temanku Denis juga minta dibawakan, Bu. Hanya saja Laras lupa bilang sama Ibu karena pikiran Laras kalut." "Teman sekantor? Ya sudah Ibu bikin satu lagi. Tunggu sebentar.” Ibu bergegas kembali ke dapur. Sesaat kemudian di tangannya sudah siap satu kotak makanan.” Siapa tadi namanya? Denis, ya? Jadi dia mau makan siangnya kembaran sama kamu?
Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel
Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih
Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?
Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k
Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di
Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas
Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b