Share

Obat Apa yang Diminum Ibu?

Penulis: Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-30 13:45:49

Bab 4

Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Tugas kita berusaha menemukan takdir terbaik kita. Sampai saat ini, aku masih meyakini usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Maka segera kukirimkan pesan kepada Mbak Riris.

[Mbak, besok Laras mau ke rumah mengantar puding. Ada resep baru, biar dicicipin sama Dija dan Hanima, Mbak Riris ada di rumah jam tiga sore?]

Tak lama kemudian, Mbak Riris membalas pesanku.

[Wah terima kasih banyak, Laras. Mereka pasti senang. Besok Mbak Riris ada di rumah.]

Mbak Riris iparku yang sangat sabar. Sebenarnya Mas Bagus melarangnya bekerja, apalagi setelah Dija dan Hanima lahir. Mereka mengikuti program bayi tabung dan mempunyai sepasang anak kembar yang kini berusia sebelas tahun. Mbak Riris akhirnya diperbolehkan bekerja di TK dekat rumah mereka setelah Dija dan Hanima mulai tumbuh besar.

 Kusapa Si Kembar yang sedang asyik bermain di pinggir kolam teras belakang. Mereka tertawa kegirangan saat menerima puding mangga susu yang sengaja aku buat supaya ada alasan datang ke rumah ini.

"Laras kamu makin cantik dan langsing, calon pengantin diet rupanya." Mbak Riris menyodorkan secangkir teh hijau kepadaku.

"Bukan diet, Mbak. Stres kali, ya."

"Biasa calon pengantin suka gitu, kepikiran sebelum pernikahan. Bilang saja kalau kamu butuh bantuan. O,ya, sampai sekarang belum ada panitia untuk pernikahan kamu, kan? Biasanya Mbak Lika sama Mbak Tari suka ngajak ngobrol kalau kita mau ada acara keluarga. Apalagi ini acara besar, mungkin mereka sibuk, ya?"

"Tenang, Mbak. Laras sudah siapkan semuanya, kok. O,ya, Mas Bagus pulang jam berapa?"

"Mas Bagus pulangnya malam, Laras. Sekarang pekerjaannya makin padat karena ada penambahan wilayah kerja.  Sampai rumah tidak tentu, kadang jam sepuluh kadang jam sebelas."

"Sudah lama Mas Bagus sering terlambat pulang, Mbak?"

"Ya sejak ada penambahan area ini. Mas Bagus targetnya berat, Ras. Kalau tidak bisa mencapai target, dia tidak dapat bonus. Sedangkan gajinya cuma cukup untuk kebutuhan kami. Makanya sekarang Mbak diizinkan bekerja biar bisa bantu-bantu biaya dapur. Kalau mau menabung memang Mas Bagus harus kerja keras supaya targetnya tercapai."

"Alhamdulillah Mas Bagus rajin menabung, ya, Mbak. Laras nanti juga mau mencontoh begitu, rajin menabung supaya segera punya rumah sendiri. Mbak Riris pasti pintar menyimpan uang."

"Ehm, iya, eh, maksudnya Mas Bagus memang memenuhi semua kebutuhan keluarga, tetapi masalah uang tabungan, Mbak Riris tidak tahu menahu. Mas Bagus tidak suka kalau ditanya-tanya masalah keuangan."

"Jadi Mbak Riris juga tidak tahu Mas Bagus dapat bonus berapa tiap bulan?"

Mbak Riris menggelengkan kepalanya.

"Wah, kalau Laras kayaknya enggak bisa begitu, Mbak. Laras bekerja, calon suami juga bekerja, kami harus sama-sama terbuka. Mas Erlangga juga sepakat kami akan terbuka masalah keuangan, jadi kami tahu harus mengatur pengeluaran berapa setiap bulan. Mbak Riris hebat, bisa nurut gitu sama Mas Bagus." Aku tertawa sambil menunggu reaksinya. Mbak Riris hanya tersenyum kecil. Senyum yang sulit kuartikan.

"Soalnya laki-laki kalau pegang uang lebih suka kebablasan, Mbak. Ini juga cerita teman-teman Laras di kantor. Apalagi kalau suami yang tidak mau istrinya tahu tentang keuangannya. Itu bisa bahaya."

Aku mengambil cangkir teh hijau lalu meminum isinya. Kubiarkan Mbak Riris memikirkan kata-kataku.

"Seharusnya kalau tidak ada yang disembunyikan seorang suami tidak perlu marah juga kalau istrinya ingin tahu jumlah tabungannya. Benar, gak, sih, Mbak? Maaf ini, kan, Laras mau menikah, jadi harus tanya-tanya masalah begini sama senior," candaku.

 "Iya, Laras. Seharusnya begitu. Ndak masalah kamu tanya-tanya sama Mbak Riris, hanya saja Mbak Riris tidak bisa memberikan nasihat apa-apa. Mas Bagus sangat tertutup masalah keuangan." Akhirnya Mbak Riris mau sedikit terbuka perihal tabiat Mas Bagus.

"Apa perlu aku ngomong ke Mas Bagus, Mbak?" pancingku.

"Jangan, Laras. Nanti Mas Bagus marah sama Mbak."

"Mas Bagus sering marah?"

 Raut wajah Mbak Riris yang semula ceria berubah mendung.

"Dulu Laras sering berantem sama Mas Bagus karena dia tidak pernah mau mengalah saat rebutan mainan. Meskipun lebih tua, sikap Mas Bagus sering kekanak-kanakan. Dia juga suka ngancam mau ngadu ke Ibu kalau Laras ndak mau mencucikan bajunya. Hih, kalau ingat saat kami kecil dahulu, rasanya sekarang aku masih gemes sama Mas Bagus."

Mbak Riris tertawa mendengar gurauanku. Mendung di wajahnya sejenak menghilang bersama derai tawa yang sengaja kuhadirkan. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

"Mbak, aku pulang dulu. Jangan lupa awasi Mas Bagus, termasuk rekeningnya. Kita harus jadi istri yang smart, tidak gampang dibodohi suami. Ini kita ngomong sebagai sesama perempuan."

Mbak Riris mengangguk pelan. Aku tahu setelah ini Mbak Riris akan lebih peduli dengan pengeluaran Mas Bagus.

"Nanti kalau ada uang lebih Laras mau pinjam buat nikahan, Mbak."

"Kamu serius, Laras? Kalau iya, nanti aku bilang sama Mas Bagus."

"Ndak kok, Mbak, becanda. Eh tapi boleh juga, sih, buat dana cadangan. Itu juga kalau tidak merepotkan."

Mbak Riris mengangguk ringan. Tentu saja aku tidak serius dengan ucapanku. Aku hanya ingin Mbak Riris mempunyai bahan obrolan untuk bicara tentang kondisi keuangan Mas Bagus. Akan terasa aneh jika ujug-ujug Mbak Riris bertanya tentang uang.

"Aku pamit, ya, Mbak. Mbak Riris sekali-sekali, cek, dong, ke teman Mas Bagus, apa bener lemburnya sering? Duh, maaf ini jadinya Laras yang posesif."

"Laras, apakah ada yang ingin kamu sampaikan sama Mbak?" Wajah Mbak Riris begitu serius seperti ingin tahu sesuatu. Aku teringat perkataan Ibu. Mbak Riris tidak setegar kelihatannya. Dia mempunyai riwayat lemah jantung yang harus dijauhkan dari berita-berita mengejutkan.

"Maksud Mbak Riris apa? Laras cuma mau ngobrol tentang keuangan dalam rumah tangga. Ya, siapa tahu Laras bisa mendapatkan ilmu gratis karena Mbak Riris, kan, lebih berpengalaman."

"Laras, apakah kamu bisa menyimpan rahasia?" Kali ini wajah Mbak Riris terlihat tegang.

"Rahasia apa, Mbak?" Dadaku berdegub kencang.

"Mbak Riris curiga Mas Bagus berhubungan dengan seseorang, Ras."

Degh!

Benar yang kukhawatirkan. Mbak Riris pasti sudah mencium gelagat tidak baik dari suaminya.

"Maksudnya Mas Bagus selingkuh?"

"Mbak tidak tahu kebenarannya, hanya saja sekarang memang Mas Bagus lebih sering pulang terlambat, ponselnya juga dikunci, Ras. Mbak sama sekali tidak tahu kenapa Mas Bagus sekarang berubah."

"Apakah Mbak yakin?"

"Mungkin, mungkin ini cuma perasaan Mbak saja." Mbak Riris bimbang, sejenak tadi dia merasa aku mendukungnya, tetapi kemudian dia sadar aku adik kandung Mas Bagus jadi seketika dia menjaga jarak.

"Mbak cerita aja, ndak papa. Dari pada cerita sama orang lain. Kalau Mbak butuh Laras, kapan pun Laras siap. Laras tidak ingin ada masalah dalam rumah tangga kalian. Ibu juga selalu menasihati Mas Bagus. Sebaiknya kalau Mbak Riris curiga, mulai kumpulkan bukti dari yang terkecil dahulu. Tentang keuangan, Mas Bagus harus terbuka, jadi Mbak Riris tahu."

"Makasih, Laras. Mbak akan coba atasi masalah ini sendiri dulu."

"Mbak, meskipun aku adik kandung Mas Bagus, aku mendukung Mbak Riris sebagai sesama perempuan."

Mbak Riris memelukku erat. Dia seperti menemukan tempat untuk bercerita, meskipun belum semuanya. Ah, kasihan sekali kamu, Mbak.

"Semoga semuanya baik-baik saja, Mbak."

Aku meninggalkan rumah Mbak Riris dengan perasaan tak menentu. Masalah ini seperti memeras otakku untuk berpikir lebih keras. Melihat kenyataan kakakku mengkhianati istrinya membuat dadaku sering dihinggapi denyut nyeri. Aku perempuan yang sebentar lagi menikah. Kelakuan Mas Bagus dan Mbak Lika sedikit banyak membuatku takut menghadapi pernikahan.

Malam harinya aku terpaksa menceritakan semuanya kepada Mas Erlangga karena aku butuh pendapat orang lain. Pria yang sebentar lagi jadi suamiku tempat aku sering melabuhkan masalah. Aku menceritakan semua yang dilakukan Mas Bagus dan Mbak Lika di belakang pasangan sah mereka. Aku butuh pendapat dari kacamata laki-laki.

"Sebaiknya kamu jangan terlalu mencampuri urusan rumah tangga kakak-kakakmu, Dik."

Biasanya Mas Erlangga selalu mendukungku, kenapa sekarang tidak?

"Kenapa, Mas? Sepertinya Mas tidak mendukungku?"

"Bukan begitu, aku hanya tidak mau kamu bermasalah dengan mereka. Kita akan menikah sebentar lagi. Mesti kamu butuh Mas Bagus dan Mbak Lika juga."

"Mas, ini tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita. Aku mengkhawatirkan Ibu. Bayangkan jika aku tidak di sini dan Ibu memikirkan semuanya sendirian. Aku juga kuatir dengan kesehatan Ibu karena sekarang Ibu minum obat yang aku tidak tahu obat apa itu. Ibu seperti menyembunyikan sesuatu, Mas."

"Coba kamu tanya Ibu langsung, jadi tidak menduga-duga begini."

"Ibu tidak akan mau berterus terang tentang penyakitnya. Aku sangat paham, Ibu tidak mau kami semua mengkhawatirkannya."

"Kalau memang keputusan Ibu menikah lebih banyak kebaikan dan membuatmu tenang, Mas juga mendukung. Hanya saja pernikahan itu bukan main-main. Ada konsekuensinya, Ibu pasti tahu itu. Saran Mas, sebaiknya kamu bicara lagi dengan Ibu. Tentang urusan Mas Bagus dan Mbak Lika, tugas orang tua hanya mengingatkan dan Ibu sudah melakukan itu. Selanjutnya biar mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri."

Dalam hati aku setuju dengan ucapan mas Erlangga, tetapi melihat bagaimana Ibu bersikeras mencegah supaya tidak terjadi perceraian aku jadi bingung.

Saat kami sedang mengobrol di panggilan W******p, tiba-tiba ada telepon masuk dari Mas Bagus. Segera kuakhiri pembicaraan dengan Mas Erlangga.

"Ya, Mas, ada apa?"

"Mulai sekarang, jauhi keluargaku. Jangan pernah lagi kamu dekati Riris dan anak-anakku. Silakan berbuat semaumu dengan Ibu. O,ya, satu lagi, meskipun aku punya uang lebih, aku tidak akan meminjamkan satu rupiahpun kepadamu, Laras. Mulai sekarang kamu urus dirimu sendiri! Sialan kamu!"

 Mas Bagus menutup teleponnya setelah mengumpat menyebutku binatang kaki empat.

Allahu Akbar!

Baru kali ini Mas bagus berbicara sekasar ini kepadaku. Hatiku seperti dirajam pisau belati, rasanya perih sekali. Kalau saja tidak mengingat kondisi Mbak Riris, sudah kukatakan semua tentang hubungannya dengan Rafiqoh. Hanya saja ada hati yang harus kujaga. Hati perempuan-perempuan yang selalu mendoakannya siang malam. Doa istri salihah dan doa Ibu yang selalu mengetuk pintu langit di sepertiga malam. Aku harus bisa menahan diri, demi Ibu dan demi Mbak Riris juga si kembar. 

Mas Bagus, tidak masalah jika sekarang kau berbicara begitu padaku. Pasti Mbak Riris sudah menyampaikan apa yang kami bicarakan tadi siang. Mbak Riris! Apakah dia baik-baik saja?

Kubuka W******p dan hendak menanyakan kabar Mbak Riris. Ya Tuhan, kenapa foto profil Mbak Riris berubah putih? Ketika kukirimkan pesan ternyata centang satu, berarti aku sudah diblokir. Pasti Mas Bagus yang melakukannya. Tidak mungkin jika Mbak Riris sengaja memblokirku. Perasaanku tak enak.

Segera kubuka aplikasi F******k dan mencari akun Si Kembar. Khadija Almadina sedang online.

 [Dija, apakah mama baik-baik saja? Tante Laras tidak bisa menghubungi mama]

Sambil menunggu pesanku dibaca, hatiku gelisah. Semoga Mas Bagus tidak main tangan.

[Mama dan Papa bertengkar, Tante. Dija sama Hanima takut.]

Akhirnya aku tahu keadaan di sana.

[Dija dan Hanima coba tengok ke kamar mama, sayang. Apakah mama baik-baik saja?]

[Dija tidak berani, Tante. Tadi papa banting piring dan gelas keras sekali.]

Ya Tuhan, Mas Bagus jadi kalap dan bertengkar di depan anak-anak. Kasihan sekali mereka.

[Sayang, tolong ketuk pintu kamar mama. Siapa tahu mama butuh bantuan, kalian harus melindungi mama. Kalau mama tidak apa-apa, kalian kembali ke kamar, kabari Tante Laras . Kalau kalian tidak berani Tante Laras akan ke rumah kalian sekarang.]

Lama tidak ada jawaban, aku mulai panik. Ingin kutelepon balik Mas Bagus tapi aku kuatir membuat situasi semakin rumit.

[Tante, Mama berteriak minta tolong!]

Pesan dari Dija membuatku panik.

[Dija lihat mama di kamar sekarang, Nak.]

 Lama tak ada balasan dari Dija. Masih kucoba menghubungi nomor ponsel Mbak Riris berkali-kali meskipun nomornya tidak bisa dihubungi. Setengah terpaksa aku menelpon Mas Bagus. Berkali-kali nadanya nyambung tetapi tidak ada jawaban. Terakhir nomornya tidak aktif. Baiklah, tidak mungkin Mas Bagus melukai istrinya. Mungkin memang harus kuturuti nasehat Ibu dan Mas Erlangga, aku tidak boleh terlalu ikut campur.

Aku masih belum bisa tidur meskipun sudah tengah malam. Karena gelisah kuputuskan untuk membaca buku di ruang tengah. Ketika melewati kamar Ibu, terdengar Ibu sedang menangis. Aku mendekati pintu kamarnya dan sayup-syup kudengar Ibu berdoa.

"Ya Allah, jangan timpakan cobaan kepada kami melebihi kemampuan kami untuk menanggungnya. Maafkan dosa hamba, Ya Rabb."

Aku masih termangu di depan pintu. Sekarang pikiranku semakin kacau. Membaca buku juga tidak membuatku mengantuk karena terus memikirkan Mbak Riris. Telah ku-inbox dia untuk mengabariku bagaimana keadaannya. Meskipun Mbak Riris tidak terlalu aktif di medsos, semoga dia membaca pesanku. Jika aku tidak bisa menolongnya sekarang, maka biarkan Allah yang mengurusnya. Aku mengambil wudu lalu mulai menghabiskan sepertiga malam untuk berdoa memohon kebaikan  semuanya.

Keesokan harinya sebelum berangkat kerja aku menyempatkan diri mampir ke rumah Mbak Riris, kebetulan arah ke kantor notaris tempatku bekerja melewati perumahan tempat tinggalnya. Terlihat rumahnya sepi. Beberapa kali kuketuk pintu pagar tetapi tidak ada jawaban.  

“Sepertinya Bu Riris sakit, semalam saya sempat melihat dia dipapah suaminya masuk mobil, Mbak." Tetangga samping rumah Mbak Riris keluar menyapaku. Seorang perempuan seusia Ibu. Aku sering melihatnya menggendong cucu di depan rumah.

"Oh, ya, terima kasih banyak informasinya, Bu. Saya ke sini untuk memastikan keadaan Mbak Riris."

"Sepertinya suaminya panik karena semalam saya dengar ada teriakan. Mbak adiknya Pak Bagus, kan? Coba saja hubungi Pak Bagus."

Aku menganggukkan kepala lalu bergegas pergi. Seribu pertanyaan berkecamuk di kepala. Apakah penyakit Mbak Riris kumat? Apakah Mas Bagus melakukan KDRT karena aku kemarin datang ke rumahnya? Apakah ini semua gara-gara aku?

Seharian aku tidak bisa fokus bekerja. Aku tahu rumah sakit langganan Mas Bagus adalah rumah sakit internasional yang cukup bagus di kota kami. Aku masih harus berpikir ulang perlu ke sana atau tidak. Akhirnya aku menelepon Mbak Tari.

"Mbak Tari aku dengar kabar katanya Mbak Riris masuk rumah sakit. Coba Mbak tanyakan langsung ke Mas Bagus, karena dia masih marah sama aku, Mbak. Mas Bagus marah karena berpikir aku mendukung Ibu kemarin."

 "Kamu tahu dari siapa kalau Riris opname?"

"Ehm, aku kebetulan mampir mau mengantar makanan buat kembar, tetangga sebelah rumahnya yang cerita." Aku terpaksa berbohong supaya Mbak Tari tidak curiga. Sampai saat ini mbak Tari masih menentang pernikahan Ibu.

"Tolong kabari Laras, ya, Mbak." Aku memutus sambungan telepon. Begini rasanya bersalah karena terlalu ikut campur urusan rumah tangga orang, meskipun kakak sendiri. Jika bukan karena Ibu tentu saja aku takkan mau melakukan ini semua.

Beberapa saat kemudian Mbak Tari mengabari lewat pesan W******p.

[Riris dirawat di rumah sakit Mitra Bahagia, tetapi Bagus berpesan tidak usah ditengok. Riris butuh banyak istirahat.]

Ternyata benar Mbak Riris masuk rumah sakit. Ya Tuhan, kenapa persoalannya jadi serumit ini? Niatku hanya ingin menjauhkan Mas Bagus dari hubungan terlarangnya dengan Rafiqoh. Kenapa justru Mbak Riris yang harus menanggung semua ini?

Rafiqoh. Semua ini gara-gara perempuan itu. Apakah aku harus mendatanginya dan memintanya berhenti berhubungan dengan Mas Bagus? Rasanya aku memang terlalu ikut campur urusan ini. Tapi sudah kepalang basah. Aku harus bertemu Rafiqoh.

Tiba-tiba ponselku berdering, Ibu menghubungi.

"Laras, kamu di mana? Kalau kamu belum pulang boleh Ibu titip kue jajanan pasar di Jalan Veteran? Sudah lama Ibu tidak makan kue putu dan klepon."

Bagaimana ini? Penjual kue putu, klepon, ketan dan aneka kue tradisional lainnya ini sangat ramai. Sebelum Magrib pasti sudah habis. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja membawa makanan pesanan Ibu.

Suasana jalanan ramai pada jam lima sore saat lepas jam kantor. Aku memarkir motor dan memesan aneka kue yang dipesan Ibu. Karena cuma sebentar aku tidak melepaskan helm. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sesosok wanita yang sangat aku kenal sedang keluar dari sebuah toko roti. Wanita itu bersama pria yang aku kenal juga. Mereka berdua sedang tertawa-tawa bahagia. Sang wanita menjinjing plastik besar bertuliskan toko roti tersebut, sementara sang pria merangkul bahu sang wanita. Mereka berjalan menuju tempat parkir yang ada di depan ruko. Segera kuambil ponsel untuk merekam kejadian itu. Siapa tahu dibutuhkan suatu saat nanti. Mereka berdua adalah Mbak Lika dan Mas Ibram. Mobil mereka melaju keluar dari tempat parkir, aku membuang muka supaya mereka tidak melihatku, meski aku memakai masker.

Lengkaplah sudah penderitaan Ibu mempunyai dua anak yang melanggar batasan. Aku memacu motorku dengan perasaan tak menentu. Apakah ini harus dibiarkan?

"Ini pesanan Ibu, semuanya Laras beli campur jadi satu, Bu."

Ibu menerima kardus makanan dengan wajah semringah. Sangat mudah sebenarnya menyenangkan hati Ibu, entah kenapa kakak-kakakku enggan melakukannya. Bukankah dengan menyenangkan hati orang tua, pintu keberkahan akan terbuka? Ah, mana mungkin mereka berpikir begitu.

"Laras, apa kemarin kamu jadi bertemu Riris? Bagaimana kabarnya? Sehat, kan? Dija dan Hanima juga sehat? Entah kenapa Ibu jadi kepikiran dengan Riris. Dari pagi teringat dia terus," ujar Ibu sambil mengunyah klepon.

"Kemarin saat Laras ke rumahnya sehat, kok, Bu. Anak-anak juga sehat. Tapi untuk memastikan sebaiknya Ibu telepon saja." Aku tidak mungkin berterus terang sekarang. Jika Ibu menelepon pasti Mas Bagus atau Mbak Riris mau mengangkat.

"Sini biar Laras saja yang telepon pakai HP Ibu, nanti kalau sudah tersambung Ibu yang bicara. Ini sambil dimakan klepon kesukaan Ibu."

Ibu tertawa senang, perlahan-lahan Ibu mengambil kue putu, jajanan pasar kesukaannya.

Setelah menunggu beberapa saat supaya Ibu kenyang, aku menghubungi nomor Mbak Riris dari ponsel Ibu. Ternyata nomornya tidak aktif.

"Nomornya tidak aktif, Bu. Mau Laras teleponkan ke Mas Bagus?"

Ibu menggeleng lemah. Mendengar nama Mas Bagus wajah Ibu kembali muram. Sebaiknya Ibu tidak perlu tahu perihal Mbak Riris yang sedang opname, juga Mbak Lika yang tadi jalan bareng suami orang. Ibu sudah terlihat lelah dengan semua ini.

Sebuah nada dering di ponsel Ibu berbunyi, ada nama Danu terbaca di layar. Duh gawat! Tanganku gemetar. Apakah Mas Danu menelepon Ibu untuk menanyakan keberadaan Mbak Lika?

Bab terkait

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    5. Rencana Laras

    Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa kebetulan sesungguhnya tidak pernah ada. Hal yang sama juga berlaku saat dering telepon dari Mas Danu yang segera menyadarkanku bahwa posisi Mbak Lika mungkin tidak lagi aman. Ibu menatapku sambil menatap ponselnya yang masih kugenggam. Aku mencoba bersikap biasa, meskipun dadaku bergemuruh hebat."Telepon dari siapa?" tanyanya pelan.Duh, bagaimana ini? Apakah aku harus memberikan kepada Ibu, atau sebaiknya tak kubiarkan Ibu dan Mas Danu mengobrol?"Laras, sini teleponnya, barangkali penting." Terpaksa kuberikan telepon Ibu."Iya, Nak Danu, Waalaikumsalam. Kabar Ibu baik, gimana kabarmu? Ini masih di rumah atau sudah berangkat? Oh, baru sampai Bali. Lika tidak ada di sini. Lho, tidak ada di warung? Mungkin sedang ada keperluan. Jadi teleponnya mati? Apa perlu Laras pergi ke warung Lika? Nanti Ibu kabari Nak Danu? Tidak usah, baiklah. Maaf Nak Danu, Lika memang sering lupa ch

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    6. Kedua Anakku Berbohong

    Keesokan harinya aku bangun agak terlambat. Setelah salat Subuh aku segera mandi dan bersiap ke kantor. Hari ini jadwalku padat karena ada beberapa kunjungan luar untuk pengukuran tanah. Ketika membuka pintu kamar, kulihat gorden masih tertutup. Begitu juga dengan pintu ruang tamu. Biasanya sepagi ini Ibu sudah selesai menyapu dan sedang berkebun merawat bunga-bunga cantiknya. Apakah Ibu berangkat senam pagi?Kubuka gorden dan mematikan lampu, lalu membuka pintu. Kesejukan udara pagi menerpa wajahku. Di luar sudah mulai ramai beberapa pedagang yang berjualan bubur melewati jalan di depan rumah. Sepertinya aku harus membelikan Ibu bubur dahulu sebelum berangkat kerja. Apakah Ibu masih ada di kamarnya?Kubuka pintu kamar Ibu yang tidak pernah dikunci, ternyata Ibu masih terbaring di kasur. Mungkin Ibu tertidur lagi setelah salat Subuh. Kudekati Ibu untuk berpamitan."Bu, Laras mau berangkat pagi, Ibu mau sarapan bubur? Biar Laras belikan." Kuraih tangan Ibu hendak mencium tangannya. Y

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    7. Upaya Membuat Mbak Riris Peduli

    Hari ini pernikahan Ibu dengan Haji Umar digelar setelah melalui beberapa pertimbangan. Ibu terlihat anggun memakai gamis putih, lengkap dengan kerudung panjang yang pernah dipakai saat umrah sepuluh tahun lalu. Beliau sudah menolak terlebih dahulu saat aku bermaksud membelikan gamis baru.“Ibu tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Sejak kematian bapakmu, ibu sudah berjanji untuk setia hanya kepada Bapak.” Ibu mengusap sudut matanya.“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menggenggam takdir. Jika hari ini Ibu memutuskan untuk kembali berumah tangga, itu bukan karena Ibu tidak setia dengan Bapak. Laras tahu Ibu melakukan ini justru karena Ibu sangat menyayangi anak-anak Bapak.” Aku menguatkan Ibu yang mulai terbawa suasana hati. "Ibu sudah siap?" tanyaku sesaat setelah Ibu tenang. Hanya aku satu-satunya anak yang hadir dalam pernikahan Ibu. “Penghulu sudah datang, ayo Ibu keluar." Aku menepuk pundak Ibu yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Aku segera berjalan men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-06
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    12. Maling Teriak Maling

    Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-26

Bab terbaru

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    16. Lika Si Keras Kepala

    Part 16Ini sangat tidak masuk akal! Mbak Lika mengakui dengan jujur kalau dia mengirimkan foto saat aku dan Mas Zaidan berbincang di ruang tamu? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikirannya? Jadi dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu? Lututku terasa lemas. Aku segera mencari pegangan di pinggir ranjang. Dadaku berdegup sangat kencang. Berkali-kali aku menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Mbak Lika."Laras, Mbak minta maaf. Maafkan Mbak Lika yang tidak menyangka semua ini terjadi." "Mas Erlangga bilang apa saat Mbak Lika mengirimkan foto itu?""Awalnya dia diam, Laras. Dia hanya bilang terima kasih karena sudah mengirimkan foto itu. Mbak berusaha meyakinkannya kalau kamu selingkuh dengan Zaidan. Mbak saat itu membencimu karena kamu terlalu ikut campur urusan Mbak." Mbak Lika tergugu di hadapanku. Aku tidak tahu harus percaya padanya atau kuabaikan saja. Rasanya luka di hatiku yang belum mengering kembali dikucuri cuka. Perihnya menyayat tanpa bisa kutahan."Esoknya Erl

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    15. Ibram yang Sinis

    Part 15Takdir mungkin mengabulkan keinginan kita dengan caranya sendiri. Seperti cara yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehku saat Denis menagih makan siang yang kujanjikan. [Bagaimana jawaban Ibu untuk pesanan makan siangku hari ini?]Pesan WA dari Denis masuk sesaat setelah aku mandi. Ah, sialnya karena masalah ribut-ribut semalam aku lupa bilang pada Ibu bahwa Denis memesan makan siang. Tak apa. Aku akan menggoreng telur dan tempe saja. Menunya sama dengan menu makan siangku."Laras, ini bekal makan siangmu." Tak kusangka Ibu sudah menyiapkan satu kotak makanan. Kupikir Ibu masih berbaring di kasur karena kejadian tadi malam. "Bu, temanku Denis juga minta dibawakan, Bu. Hanya saja Laras lupa bilang sama Ibu karena pikiran Laras kalut." "Teman sekantor? Ya sudah Ibu bikin satu lagi. Tunggu sebentar.” Ibu bergegas kembali ke dapur. Sesaat kemudian di tangannya sudah siap satu kotak makanan.” Siapa tadi namanya? Denis, ya? Jadi dia mau makan siangnya kembaran sama kamu?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    14. Kabar Bahagia dan Kabar Duka

    Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    13. Rencana Menikah Sudah Bulat

    Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    12. Maling Teriak Maling

    Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status