Share

Rumah Akan Dijual

Penulis: Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-30 13:44:37

Part 3

Baik dan buruk adalah pilihan di dalam takdir. Takdir kita untuk lahir, pilihan kita untuk berbuat. Ibu memilih menikah lagi untuk menyelamatkan rumah tangga anak-anaknya. Tentu saja ini bukan pilihan mudah. Ibu sudah dua puluh tahun ditinggal Bapak. Tentu untuk menerima kehadiran laki-laki baru, Ibu butuh waktu. Tidak bisa secepat itu.

Aku membuka pintu kamar Ibu perlahan. Jam 02.30 dini hari, Ibu pasti sedang salat Tahajud. Kami mempunyai rutinitas yang sama. Setelah salat biasanya aku lelap sebentar menunggu Subuh datang. Kali ini pikiranku tak tenang. Ibu sedang memutar tasbihnya ketika aku masuk ke kamar, lalu merebahkan diri di kasurnya. 

"Ibu pasti tidak bisa tidur nyenyak, kan?" tanyaku saat melihat ibu membuka mukenanya.

"Ibu kepikiran terus, Laras. Ibu bertanya-tanya apakah kamu tidak masalah jika ibu menikah sebulan lagi? Menurutmu apakah tidak lebih baik kamu mempercepat pernikahanmu?”

"Mas Erlangga sudah merencanakan semuanya, Bu. Bagi Laras lebih baik jika Ibu menikah duluan. Laras akan lebih tenang karena ada yang menjaga Ibu."

"Kamu tidak malu, Nduk?"

"Laras lebih malu dengan kelakuan Mas Bagus dan Mbak Lika, Bu." Iya memang sekarang kami berdua harus menanggung malu.

"Bu, Laras harus ngomong ke Mbak Riris tentang Mas Bagus."

"Laras kamu jangan aneh-aneh. Riris tidak boleh tahu kelakuan suaminya!" Ibu sedikit berteriak sambil menekan dada kiri. Wajah ibu memucat.

"Ibu tidak apa-apa?” Ibu memberi isyarat dengan tangannya bahwa dia baik-baik saja. “Laras mendukung rencana Ibu asal Ibu juga mendukung Laras. Kita sama-sama punya tujuan supaya rumah tangga Mas Bagus dan Mbak Lika baik-baik saja. Anggap ini ikhtiar Laras, Bu."

"Jangan sampai Riris atau Danu tahu."

 "Laras tidak akan memberitahu mereka secara langsung. Laras akan mencari cara supaya Mas Bagus dan Mbak Lika tetap baik di mata pasangan mereka. Kecuali Ibu mau berbicara dengan mereka, bicara empat mata."

Ibu bergeming. Perlahan-lahan Ibu mengurut pelipisnya.

“Baiklah, Ibu akan bicara dengan Bagus dan Lika." Akhirnya aku menyetujui rencanaku. Kami memang harus sama-sama berikhtiar supaya Ibu tidak berjuang sendirian. Bagiku rencana Ibu menikah lagi ini seperti pengorbanan besar yang harus dilakukan Ibu untuk anaknya. Dahulu saat kami masih kecil, mungkin masih bisa dimaklumi. Tetapi kalau sekarang, saat anak-anaknya sudah besar rasanya terlalu berlebihan. Aku harus membantu supaya ibu tidak mengambil beban ini sendirian.

Keesokan harinya saat aku pulang kerja, terlihat mobil Mas Bagus terparkir di halaman.  Mas Bagus bekerja di kantor operator telepon seluler. Jabatannya sudah lumayan sebagai kepala Divisi Promosi area keresidenan yang membawahi beberapa kabupaten. Aku sengaja duduk di teras, karena situasinya sepertinya tidak tepat jika aku masuk sekarang. Terdengar obrolan Mas Bagus dan Ibu yang makin lama sepertinya makin panas.

"Ibu berubah pikiran?" tanya Mas Bagus dingin dan tanpa basa-basi.

"Tergantung jawabanmu, Bagus."

"Bagus sudah bilang tidak setuju Ibu menikah lagi."

"Kamu belum menjelaskan alasannya."

"Karena Bagus tidak rela ada pengganti Bapak."

"Apakah ada alasan lain? Bapakmu memang tidak akan pernah terganti."

"Ibu sudah seharusnya memikirkan akhirat, Bu. Menikah itu urusan dunia."

"Bagaimana dengan berzina?"

"Apa maksud Ibu?"

"Kalau kamu mengakhiri hubunganmu dengan Rafiqoh, Ibu tidak akan menikahi Haji Umar!" Suara Ibu bergetar menahan diri. Beberapa hari ini Ibu murung dan tak berselera makan. Sore ini air mata Ibu pecah di hadapan anak laki-lakinya.

"I-Ibu bicara apa?"

"Ibu tahu semuanya, Bagus. Kalau kamu berjanji akan mengakhiri hubunganmu dengan Rafiqoh, Ibu tidak perlu menikahi abahnya."

"Jadi semua ini gara-gara Haji Umar?" tanya Mas Bagus geram.

"Tidak ada orang tua yang ingin anaknya melakukan kesalahan. Kami akan melakukan apa pun supaya rumah tanggamu dan Riris baik-baik saja. Begitu juga dengan rumah tangga Rafiqoh."

Mas Bagus terdiam tanpa perlawanan. Sepertinya dia tidak menyangka Ibu menegurnya begitu keras. Setidaknya dia pasti berharap Ibu tidak tahu hubungan haram yang dia jalin bersama Rafiqoh.

"Bagus dan Rafiqoh tidak ada hubungan apa-apa, Bu."

Ah, Mas Bagus masih saja berkelit. “Padahal Ibu punya bukti yang jika Ibu keluarkan, kamu mungkin takkan bisa menatap wajah Ibu lagi, Mas.”

"Ibu tahu semuanya, Bagus. Mulai sekarang berhenti menemui Rafiqoh. Kamu dan Riris mempunyai keluarga yang diimpikan banyak orang. Dija dan Hanima anak-anak yang kalian perjuangkan kelahirannya. Sekarang kenapa kamu justru seperti mengejar badai bersama Rafiqoh?"

"Ibu lebih percaya kepada orang lain ketimbang anak Ibu sendiri?"

"Baiklah jika itu jawabanmu, maka Ibu tidak akan menunda lagi pernikahan Ibu dengan Haji Umar."

"Ibu ternyata juga lebih memilih mengkhianati Bapak," pungkas Mas Bagus sembari keluar dari ruang tamu. Saat memergokiku berada di teras dan mendengar semua obrolannya dengan ibu, Mas Bagus terlihat kesal. Aku hanya terdiam mendengar langkah kakinya yang seperti sengaja menjejak bumi sekeras mungkin untuk menumpahkan kekesalannya.

Aku masuk  dan mendapati Ibu tengah melamun sepeninggal Mas Bagus. Aku mencium tangan Ibu lalu memeluknya erat. Kami hanya berpelukan tanpa suara. Aku tahu Ibu terluka, aku bisa merasakan perihnya.

 Selepas magrib Mbak Lika datang dengan wajah masam. Aku segera mengambil cangkir untuk membuat teh di dapur. Sebenarnya aku ingin mendengar obrolan mereka. Dengan Mas Bagus tadi sore, Ibu sudah hancur. Jangan sampai bersama Mbak Lika, Ibu lebih tersakiti lagi.

"Kamu sudah salat, Lika?" tanya Ibu lembut.

"Lika sedang berhalangan, Bu? Ada apa Ibu memanggil Lika? Warung sedang ramai saat Lika tinggal ke sini karena Ibu bilang sangat penting. Pasti ini rencana pernikahan, Ibu, kan? Lika tidak setuju. Apakah itu tidak cukup?" protes Mbak Lika.

"Kenapa kamu tidak setuju, bilang saja alasannya biar Ibu tahu."

"Ibu tolong ya, ini sudah kelewatan. Ibu bisa tidak bersikap seperti ibu-ibu lainnya yang sudah sepuh? Mereka sudah memilih di rumah, bermain bersama cucu, bukan sibuk memikirkan mau menikah lagi!" Nada suara Mbak Lika mulai meninggi.

"Kamu pasti malu, ya?"

"Tentu saja, Bu. Apa kata orang dan saudara dari keluarga Bapak? Mereka pasti berpikir Ibu tidak setia."

 

"Ibu juga malu punya anak tidak setia."

Mbak Lika memandang Ibu tajam. Aku menaruh dua cangkir teh di meja makan. Mereka  terdiam sesaat sebelum Mbak Lika berbicara lagi.

"Maksud Ibu apa? Siapa yang tidak setia?"

"Bagaimana jika Danu tahu semua ini?" Ibu menatap wajah Mbak Lika. Tatapan itu mengingatkanku saat kami kecil dulu. Mbak Lika semasa kecilnya sering sakit-sakitan karena mengidap penyakit asma. Hanya seiring waktu gejalanya muncul saat kondisi tertentu saja. Dulu badannya kurus kering, sekarang dia menjadi wanita cantik yang mempunyai keluarga nyaris sempurna. Ibu rutin memberikan obat dengan tatapan seperti yang kulihat sekarang. Tatapan sayang seorang wanita yang melahirkan anak dari rahimnya tapi harus menelan kecewa karena putrinya sedang tersesat jalan.

"Ibu bicara apa? Kenapa bawa-bawa Mas Danu?" elak Mbak Lika. Dia sama saja dengan Mas Bagus, keduanya memilih berbohong.

"Danu sudah bekerja keras untuk kalian, dia tidak pantas menerima pengkhianatan. Kalau kamu tidak mengakhiri hubunganmu dengan Ibram, kamu akan kehilangan Danu, kehilangan semua yang kamu miliki sekarang, Lika."

Wajah Mbak Lika memucat. Seharusnya dia mengakui semuanya lalu mengakhiri ini, ternyata tidak. Aku mengamati Mbak Lika dari ruang tengah sambil menajamkan pendengaran.

"Ibu jangan ikut campur rumah tangga Lika dan Mas Danu. Kalau Ibu mau menikah lagi, silakan. Itu hak Ibu. Mulai sekarang Lika tidak akan menginjak rumah ini lagi." Mbak Lika pergi seraya membanting pintu. Pintu yang dibanting tetapi hatiku yang remuk melihat Ibu diperlakukan begitu kasar oleh kakakku. Ibu memegang dada kirinya.

"Ibu, Ibu kenapa?" Aku segera  menghampiri Ibu yang hampir roboh.

"Ya Allah! Ibu!"

Ibu pingsan setelah Mbak Lika pergi. Kakakku bahkan tidak kembali ketika kupanggil-panggil namanya saat Ibu tak sadarkan diri. Aku memijit pelipis Ibu yang terbaring lemas di sofa ruang tengah. Tak berapa lama ibu membuka matanya.

"Ibu sudah sadar? Maafkan Laras yang memaksa Ibu bicara dengan Mas Bagus dan Mbak Lika. Maafkan Laras, Bu." Aku menggenggam tangan Ibu lalu mencium punggung tangannya. Ibu meringis kesakitan sambil meraba dada kirinya.

Aku berlari ke dapur lalu kembali sambil menyodorkan secangkir teh hangat, Ibu bangun lalu meminumnya hingga tandas.

 "Lika sudah pergi?" tanya Ibu lemah. Aku menggangguk.

"Laras, rasanya Ibu ingin mati saja."

"Ibu jangan bicara begitu."

"Mereka berkelit, Laras. Bagus dan Lika tidak ada yang mengaku. Ibu harus bagaimana?"

"Ibu tenangkan diri dulu. Biar Laras pikirkan caranya."

"Laras, jangan pernah berpikir kau akan memberitahu Riris maupun Danu. Kasihan Riris, dia punya penyakit lemah jantung. Berita ini bisa membunuhnya."

"Iya Bu. Laras tahu. Laras tidak akan mengganggu Mbak Riris dengan kabar sampah ini."

"Danu juga tidak boleh tahu. Danu wataknya sangat keras dan temperamental. Bisa-bisa dihajar Lika nanti. Ibu tidak sanggup membayangkan itu."

Ibu benar, Mas Danu memang sangat temperamental jika terpicu sesuatu yang tidak disukainya. Meskipun dia menantu yang baik untuk Ibu dan baik juga kepadaku. Mas Danu hanya tidak suka jika anak dan istrinya tidak patuh pada perkataannya. Kurasa sudah benar Mas Danu bersikap begitu. Apalagi jika itu dilakukan untuk membela keluarganya.

"Mungkin benar kata Lika, kita tidak perlu ikut campur urusan rumah tangganya," bisik Ibu lirih.

"Ibu menyerah?" Aku tahu Ibu tidak akan menyerah menghadapi situasi ini. Hanya saja sekarang Ibu terlihat lemah. Ibu makin menua, tetapi kakak-kakakku tidak sadar diri dan membuatnya bertambah beban pikiran.

Aku mengirimkan pesan kepada Mbak Riris setelah Ibu tertidur.

Bab terkait

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    Obat Apa yang Diminum Ibu?

    Bab 4Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Tugas kita berusaha menemukan takdir terbaik kita. Sampai saat ini, aku masih meyakini usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Maka segera kukirimkan pesan kepada Mbak Riris.[Mbak, besok Laras mau ke rumah mengantar puding. Ada resep baru, biar dicicipin sama Dija dan Hanima, Mbak Riris ada di rumah jam tiga sore?]Tak lama kemudian, Mbak Riris membalas pesanku.[Wah terima kasih banyak, Laras. Mereka pasti senang. Besok Mbak Riris ada di rumah.]Mbak Riris iparku yang sangat sabar. Sebenarnya Mas Bagus melarangnya bekerja, apalagi setelah Dija dan Hanima lahir. Mereka mengikuti program bayi tabung dan mempunyai sepasang anak kembar yang kini berusia sebelas tahun. Mbak Riris akhirnya diperbolehkan bekerja di TK dekat rumah mereka setelah Dija dan Hanima mulai tumbuh besar. Kusapa Si Kembar yang sedang asyik bermain di pinggir kolam teras belakang. Mereka tertawa kegirangan saat menerima puding mangga susu yang sengaja aku buat s

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    5. Rencana Laras

    Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa kebetulan sesungguhnya tidak pernah ada. Hal yang sama juga berlaku saat dering telepon dari Mas Danu yang segera menyadarkanku bahwa posisi Mbak Lika mungkin tidak lagi aman. Ibu menatapku sambil menatap ponselnya yang masih kugenggam. Aku mencoba bersikap biasa, meskipun dadaku bergemuruh hebat."Telepon dari siapa?" tanyanya pelan.Duh, bagaimana ini? Apakah aku harus memberikan kepada Ibu, atau sebaiknya tak kubiarkan Ibu dan Mas Danu mengobrol?"Laras, sini teleponnya, barangkali penting." Terpaksa kuberikan telepon Ibu."Iya, Nak Danu, Waalaikumsalam. Kabar Ibu baik, gimana kabarmu? Ini masih di rumah atau sudah berangkat? Oh, baru sampai Bali. Lika tidak ada di sini. Lho, tidak ada di warung? Mungkin sedang ada keperluan. Jadi teleponnya mati? Apa perlu Laras pergi ke warung Lika? Nanti Ibu kabari Nak Danu? Tidak usah, baiklah. Maaf Nak Danu, Lika memang sering lupa ch

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    6. Kedua Anakku Berbohong

    Keesokan harinya aku bangun agak terlambat. Setelah salat Subuh aku segera mandi dan bersiap ke kantor. Hari ini jadwalku padat karena ada beberapa kunjungan luar untuk pengukuran tanah. Ketika membuka pintu kamar, kulihat gorden masih tertutup. Begitu juga dengan pintu ruang tamu. Biasanya sepagi ini Ibu sudah selesai menyapu dan sedang berkebun merawat bunga-bunga cantiknya. Apakah Ibu berangkat senam pagi?Kubuka gorden dan mematikan lampu, lalu membuka pintu. Kesejukan udara pagi menerpa wajahku. Di luar sudah mulai ramai beberapa pedagang yang berjualan bubur melewati jalan di depan rumah. Sepertinya aku harus membelikan Ibu bubur dahulu sebelum berangkat kerja. Apakah Ibu masih ada di kamarnya?Kubuka pintu kamar Ibu yang tidak pernah dikunci, ternyata Ibu masih terbaring di kasur. Mungkin Ibu tertidur lagi setelah salat Subuh. Kudekati Ibu untuk berpamitan."Bu, Laras mau berangkat pagi, Ibu mau sarapan bubur? Biar Laras belikan." Kuraih tangan Ibu hendak mencium tangannya. Y

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    7. Upaya Membuat Mbak Riris Peduli

    Hari ini pernikahan Ibu dengan Haji Umar digelar setelah melalui beberapa pertimbangan. Ibu terlihat anggun memakai gamis putih, lengkap dengan kerudung panjang yang pernah dipakai saat umrah sepuluh tahun lalu. Beliau sudah menolak terlebih dahulu saat aku bermaksud membelikan gamis baru.“Ibu tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Sejak kematian bapakmu, ibu sudah berjanji untuk setia hanya kepada Bapak.” Ibu mengusap sudut matanya.“Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menggenggam takdir. Jika hari ini Ibu memutuskan untuk kembali berumah tangga, itu bukan karena Ibu tidak setia dengan Bapak. Laras tahu Ibu melakukan ini justru karena Ibu sangat menyayangi anak-anak Bapak.” Aku menguatkan Ibu yang mulai terbawa suasana hati. "Ibu sudah siap?" tanyaku sesaat setelah Ibu tenang. Hanya aku satu-satunya anak yang hadir dalam pernikahan Ibu. “Penghulu sudah datang, ayo Ibu keluar." Aku menepuk pundak Ibu yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Aku segera berjalan men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-06
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25

Bab terbaru

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    16. Lika Si Keras Kepala

    Part 16Ini sangat tidak masuk akal! Mbak Lika mengakui dengan jujur kalau dia mengirimkan foto saat aku dan Mas Zaidan berbincang di ruang tamu? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikirannya? Jadi dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu? Lututku terasa lemas. Aku segera mencari pegangan di pinggir ranjang. Dadaku berdegup sangat kencang. Berkali-kali aku menggelengkan kepala tak percaya dengan ucapan Mbak Lika."Laras, Mbak minta maaf. Maafkan Mbak Lika yang tidak menyangka semua ini terjadi." "Mas Erlangga bilang apa saat Mbak Lika mengirimkan foto itu?""Awalnya dia diam, Laras. Dia hanya bilang terima kasih karena sudah mengirimkan foto itu. Mbak berusaha meyakinkannya kalau kamu selingkuh dengan Zaidan. Mbak saat itu membencimu karena kamu terlalu ikut campur urusan Mbak." Mbak Lika tergugu di hadapanku. Aku tidak tahu harus percaya padanya atau kuabaikan saja. Rasanya luka di hatiku yang belum mengering kembali dikucuri cuka. Perihnya menyayat tanpa bisa kutahan."Esoknya Erl

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    15. Ibram yang Sinis

    Part 15Takdir mungkin mengabulkan keinginan kita dengan caranya sendiri. Seperti cara yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehku saat Denis menagih makan siang yang kujanjikan. [Bagaimana jawaban Ibu untuk pesanan makan siangku hari ini?]Pesan WA dari Denis masuk sesaat setelah aku mandi. Ah, sialnya karena masalah ribut-ribut semalam aku lupa bilang pada Ibu bahwa Denis memesan makan siang. Tak apa. Aku akan menggoreng telur dan tempe saja. Menunya sama dengan menu makan siangku."Laras, ini bekal makan siangmu." Tak kusangka Ibu sudah menyiapkan satu kotak makanan. Kupikir Ibu masih berbaring di kasur karena kejadian tadi malam. "Bu, temanku Denis juga minta dibawakan, Bu. Hanya saja Laras lupa bilang sama Ibu karena pikiran Laras kalut." "Teman sekantor? Ya sudah Ibu bikin satu lagi. Tunggu sebentar.” Ibu bergegas kembali ke dapur. Sesaat kemudian di tangannya sudah siap satu kotak makanan.” Siapa tadi namanya? Denis, ya? Jadi dia mau makan siangnya kembaran sama kamu?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    14. Kabar Bahagia dan Kabar Duka

    Part 14Takdir selalu bisa menemukan jalan ceritanya sendiri. Sejauh apa pun Mbak Lika menutupi perselingkuhannya dengan Mas Ibram, pada akhirnya Mas Danu tahu juga. Ibu menjadi orang yang panik pertama kali mendengar kabar anak tiri dan menantunya baku hantam. Mungkin Abah sedang menenangkan Ibu sekarang. Aku sibuk menghangatkan makanan yang masih tersimpan di lemari. Setelah semuanya siap, Abah mengajak Mas Danu makan malam bersama. Kami tak banyak bicara di meja makan. Sesaat setelah selesai makan, mobil Mas Zaidan datang. Mas Danu segera bangkit dari duduknya, tetapi Abah menahannya. Mas Ibram masuk digandeng oleh Mas Zaidan. Wajah Mas Ibram pucat melihat kehadiran Mas Danu."Duduk, Ibram." Abah bersuara tegas. "Ini Nak Danu memergoki kamu dan istrinya berduaan di tempat tertutup. Apa yang kamu lakukan bersama istrinya tadi sangat tidak pantas. Sebetulnya apa maumu?" Mas Ibram terdiam. Mas Danu tengah berusaha menahan dirinya, mukanya merah padam. Ada urat menonjol terlihat jel

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    13. Rencana Menikah Sudah Bulat

    Seringkali takdir terasa tak berpihak kepada kita. Ada banyak pilihan yang membuat takdir seolah-olah menjauh dari tujuan. Aku tak pernah mengharapkan perpisahan dengan Mas Zaidan bisa terjadi secepat ini, terlebih lagi saat aku merasa telah begitu dekat dengan tujuan. Mas Zaidan menjemputku ke kantor setelah menjemput Ratih dari sekolahnya. Aku memasuki pintu mobil. Kurasa Denis memperhatikanku dari balik kaca kantor."Kenapa Dik Laras banyak diam? Apakah banyak pekerjaan hari ini?" tanya Mas Zaidan pelan. "Biasa saja, Mas." Degup jantungku selalu tak bisa kukendalikan saat berdekatan dengan Mas Zaidan. Entahlah, pria ini semakin hari semakin membuatku tidak nyaman. "Tante, hari Sabtu besok Ratih mau menginap di rumah nenek." "Ya boleh, tapi izin dulu sama Mama," jawabku. Ratih mencairkan suasana yang sebelumnya terasa aneh. Aku masih berduka atas kepergian Mas Erlangga. Rasanya tidak pantas aku memikirkan laki-laki lain. Tetapi pikiran ini muncul sendiri tanpa aku undang. "Ratih

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    12. Maling Teriak Maling

    Mobil berhenti di depan pagar rumah Mbak Tari yang terlihat ramai. Dua pria memakai jaket kulit berjaga di dekat pagar. Dua orang lagi terlihat di teras sambil berdebat."Kalau tidak bayar sekarang, mobil ini terpaksa kami tarik lagi! Maunya pakai mobil tapi tidak mau bayar cicilannya." Terdengar suara laki-laki dari dalam rumah Mbak Tari. Aku segera berlari menuju sumber suara. Ibu juga berlari di belakangku."Saya sudah bilang nanti saya bayar sekalian bulan depan. Kios sedang sepi, tidak ada pemasukan. Biasanya juga saya bayar tepat waktu, ini baru telat tiga bulan sudah main ambil saja."Aku kenal betul dengan suara itu, suara Mbak Tari. Aku memasuki pagar dan melihat kakakku sedang bersitegang dengan dua orang pria bertubuh kekar berpakaian hitam-hitam."Ada apa ini?" Sontak semua mata memandang ke arah Ibu yang berteriak melihat posisi Mbak Tari sedang berhadapan dengan dua pria."Ibu siapa?" tanya pria berkumis tebal."Saya ibunya Tari. Kenapa kalian ribut-ribut di rumah orang?

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    11. Ya, Tuhan, Ibu!

    Part 11Hari semakin siang. Matahari semakin terik sehingga Mas Zaidan menambah suhu AC mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Bagus. Entah kejutan apalagi yang akan kami temukan di sana. Di dalam perjalanan Abah tersenyum berkali-kali. "Kenapa Abah senyum-senyum begitu?" tanya Ibu."Ternyata kalau kita bersatu, rasanya semua urusan jadi lebih mudah.""Rumah tangga Rafiqoh semoga masih bisa diselamatkan jika Lutfi pulih seperti dulu dan kembali menjadi kepala keluarga yang baik, ya, Bah.""Semoga begitu. Meskipun Iqoh sangat keras kepala, jika Lutfi bisa kembali berperan menjadi imam, tidak ada alasan bagi Iqoh untuk meminta cerai seperti yang selalu dikatakannya di depan Abah.""Wanita-wanita yang diberi ujian pasangannya sakit atau tidak bisa melakukan tugasnya sebagai suami, harus lebih banyak bersabar. Meskipun berat, jika mampu melewati badai, Insyaallah rumah tangga menjadi lebih berkah.""Kamu sudah melaluinya, Min. Rudi dulu cukup lama sakit, sekitar lima tahun k

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    10. Secepatnya Menikah

    Kami terdiam sepanjang perjalanan. Semua yang diucapkan Abah memang harus direnungkan. Ibu sepertinya mulai bisa menerima pendapat Abah. Kami akhirnya sampai di rumah Kak Iqoh. Rumah bercat kuning gading berlantai dua terlihat mewah di antara rumah-rumah lainnya. Rumah terlihat sepi. Abah nenekan bel di samping pagar. Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan agak miring muncul dari dalam rumah. Lelaki itu tersenyum ke arah Abah. Ada yang aneh pada wajahnya, sepertinya dia agak kesulitan menopang kepala. Seperti ada sesuatu yang terpasang di lehernya. "Suami Iqoh, Lutfi, mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Kaki kirinya patah hingga harus dipasang pen. Begitu juga dengan lehernya. Tulang belakangnya retak. Kecelakaan itu memang sangat parah." Abah memberi informasi sebelum kami turun dari mobil. "Mari, Abah, silakan masuk." Lutfi menyambut kami. "Iqoh mana?" tanya Abah sambil berhenti beberapa saat di depan pintu. Abah melihat sejenak kolam ikan yang berada di sudut halaman. "Di

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    9. Mbak Lika Ketahuan

    Seminggu sudah berlalu sejak kematian Mas Erlangga. Acara doa bersama tujuh hari wafatnya kekasihku telah selesai digelar tadi malam. Meskipun rasanya masih tersisa mendung menggantung di wajahku, aku harus tegar dan ikhlas. Berkali-kali aku seperti harus menggedor kesadaranku bahwa mas Erlangga sudah pergi, dan rasanya selalu masih menyakitkan hati. Kucoba menuruti kata Abah, ketika hati ikhlas bersandar pada takdir Allah, semua hal yang kita rasakan berat akan terasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, aku kembali larut dalam pekerjaan di kantor notaris tempat aku bekerja. Pagi ini libur, aku masih bermalas-malasan sambil memberi makan ikan koi di kolam taman belakang, ketika melihat ibu sudah tampak rapi. "Bu, apakah Ibu yakin akan ke rumah Mas Ibram sekarang?" tanyaku memastikan. Ibu hanya mengangguk. “Ibu dan Abah akan melanjutkan rencana yang tertunda, mendatangi rumah anak-anak satu per satu,” jawab Ibu sembari merapikan kerudungnya. "Abah yakin tidak mau diantarkan Mas

  • Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi    8. Ada Apa dengan Mbak Riris

    Jodoh dan kematian adalah dua misteri yang menjadi rahasia Allah. Mas Erlangga telah memasuki jantung keabadian gerbang penentuan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan penderitaan. Aku masih berharap ini semua mimpi yang ketika terbangun nanti segalanya akan kembali seperti semula. Namun, ternyata aku salah. Aku mendapati diri tengah sampai pada puncak kehilangan calon suami yang sangat kucintai. Kami sudah merencanakan semuanya. Kenapa aku harus membesarkan hati Ibu sebelum menikah tadi dengan mengatakan manusia boleh berencana tetapi Allah yang menentukan? Ya Allah, aku tidak meminta diuji dari kata-kata yang kuucapkan sendiri secepat ini. Aku akan menikah sebentar lagi. Pernikahan impian sedari kecil yang sudah kupersiapkan detilnya satu persatu. Tentang baju pengantin yang ekornya menjuntai dengan hiasan payet berkilauan menyeret di lantai. Tentang siger mahkota Sunda yang entah kenapa saat pertama kali melihatnya aku langsung suka. Tentang bunga-bunga crysant putih yang akan b

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status