Savina yang masih berdiri di balik pintu tampak mengurut dadanya. Ia tidak menyangka kalau wanita itu akan menghina orang tuanya.“Ini tidak bisa dibiarkan, wanita seperti Bu Mardiah harus sekali-kali diberikan pelajaran!” ucap Savina sambil mengepalkan tangannya. Dengan langkah gemetar Savina membuka pintu rumahnya dan menuju ke halaman.“Maaf, maksud Bu Mardiah apa ya? Kenapa Bu Mardiah berbicara seperti itu kepada ibuku?” tanya Savina dengan tatapan yang begitu tajam.“Vin, seharusnya dari awal kamu tahu diri dan tidak menikah dengan orang kota. Kalau sudah begini kan repot. Kamu sama saja akan membebani keluargamu,” jawab Bu Mardiah dengan nada ketus.“Bu, sepertinya Ibu sudah salah berbicara. Bukannya Naima putri Bu Mardiah yang membebani orang tua. Aku dengar, Naima sedang hamil dan Romy tidak mau bertanggung jawab,” ucap Savina dengan nada mengejek. Berita kehamilan Naima sudah tersebar di seluruh penjuru kampung. Sedangkan Bu Mardiah berusaha menutupinya meski usahanya gagal
Dengan dada berdebar kencang, Savina tampak gelisah sambil meremas-remas ujung dressnya.“Assalamualaikum,” ucap Savina dengan suara perlahan.“Waalaikumussalam,” jawab seseorang di seberang sana.“Vin, apa kabar? Kamu ke mana saja? Semenjak kamu menikah, aku kehilangan kontakmu!” ucap Annisa, sahabat terdekat Savina ketika bersekolah dulu.“Kabarku baik. Nisa aku sedang butuh pekerjaan. Apa kamu bisa memberikan pekerjaan untukku? Aku bisa bekerja apa saja asal menghasilkan uang,” ucap Savina dengan nada serius. Ia ingin bekerja untuk membantu orang tua dan adik-adiknya.Annisa menghela napas dan tampak ragu untuk menjawab permintaan sahabatnya. Ia sepertinya tengah mengingat-ingat dengan baik, apakah ada lowongan di toko roti tempatnya bekerja? Mengingat dirinya juga sudah lama bekerja di sana.“Nis, kenapa kamu diam saja? Apa ada lowongan pekerjaan untukku? Aku mau bekerja apa saja asalkan aku dapat menghasilkan uang.” Savina sekali lagi menegaskan kalau dirinya akan melakukan apa s
“Pak, siapa yang datang ke rumah kita?” tanya Bu Sarmah dengan tatapan lekat.Pak Rohim hanya menggeleng dengan tatapan nanar. Laki-laki itu segera berdiri untuk membukakan pintu. Langkahnya terasa berat ketika menuju ke pintu utama. Entah kenapa, ada perasaan takut yang tengah menyelimuti hatinya.‘Siapa yang datang bertamu ke gubuk reot miliknya? Kira-kira ada keperluan apa, mengingat Pak Rohim bukanlah orang terpandang di kampungnya?’ batin Bu Sarmah terus berkecamuk sambil menunggu suaminya membukakan pintu untuk tamunya.Pak Rohim bergegas membukakan pintu. Laki-laki itu tampak terpana ketika melihat seorang laki-laki berdiri di hadapannya.“Selamat siang, perkenalkan, nama saya Bambang. Pengacara dari keluarga Bu Leni!” ucap laki-laki itu dengan nada tegas.Pak Rohim hanya mengangguk, ia segera mempersilakan tamunya masuk ke dalam. Meski ada rasa takut di hatinya, laki-laki itu berusaha terlihat baik-baik saja.Bu Sarmah tidak kalah kaget ketika melihat kehadiran Pak Bambang di
Savina sudah tiba di sebuah rumah megah dengan bangunan bergaya eropa. Sesekali ia menghela napas sambil mengedarkan pandangannya.Seorang laki-laki keluar dari dalam dan menyapa Savina yang tengah duduk sendirian di sana.“Selamat pagi, apa kamu yang namanya Savina?” tanya laki-laki itu dengan tatapan lekat.“Ya, saya Savina. Kalau boleh tahu, Bapak siapa?” tanya Savina dengan nada ramah.“Saya Fazli, tugas kamu di sini mengasuh anak saya. Namanya Shera, dia masih duduk di taman kanak-kanak dan sudah beberapa hari ini, dia enggan masuk ke sekolah.” Fazli memperkenalkan diri kepada Savina sambil menceritakan tentang putrinya.“Pak Fazli, apa saya boleh bertemu dengan Shera?” tanya Savina dengan penuh rasa penasaran.“Tentu, sekarang dia ada di kamar. Mari saya antar,” ucap Fazli kepada Savina.Mereka berdua segera menuju ke kamar Shera yang terletak di lantai dua. Savina berdoa di dalam hati, semoga saja Shera mau menerima dirinya sebagai pengasuhnya.Sesampainya di kamar, Savina dan
Shera sudah berada di bawah pohon mangga bersama Savina. Anak itu tersenyum senang karena sebentar lagi Savina pasti akan diusir oleh ayahnya. Ia merasa marah karena ayahnya selalu saja mendatangkan pengasuh untuk menemani dirinya, padahal Shera hanya ingin kehadiran seorang wanita yang dipanggilnya sebagai ibu di dalam hidupnya.“Sus, bagaimana? Apa Sus Vina sudah siap?” tanya Shera dengan tatapan lekat.Savina hanya tersenyum lembut, wanita itu mengangguk dan menghampiri gadis kecil yang tengah mengamati dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.“Tentu saja, Sus sudah pasti tidak akan menyerah,” kekeh Savina sambil bersiap-siap memanjat pohon mangga dan memetik buahnya untuk Shera.Savina segera mulai memanjat pohon mangga yang tinggi menjulang. Ia bahkan tidak merasa takut atau gentar ketika gerombolan semut merah merayapi tangannya dan menggigit beberapa bagian tubuhnya. Kalau saja tidak memikirkan tantangannya kepada Shera, mungkin Savina sudah menyerah.Setelah berusaha denga
“Tunggu, sebenarnya Mbok Nah tidak memikirkan apapun. Mbok Nah hanya sedih memikirkan Shera,” Mbok Nah berbicara dengan bibir bergetar. Wanita itu tertunduk dalam dengan isak tangis yang pecah di hadapan Savina.“Shera? Ada apa dengan Shera?” Savina tampak terkejut dan bertanya kepada Mbok Nah, Wanita itu merasa penasaran dengan rahasia yang disembunyikan di rumah ini.“Shera telah kehilangan ibunya.” Mbok Nah berbicara dengan netra berkaca-kaca.“Kehilangan ibunya? M-maksud Mbok Nah, apa?” Savina bertanyan sambil mengernyitkan keningnya. Ia tidak habis pikir dengan ucapan Mbok Nah yang tengah berdiri di hadapannya.“Satu setengah tahun lalu, Bu Erlita pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Namun, sampai detik ini, Bu Erlita tidak pernah kembali.” Tangis Mbok Nah kembali pecah. Wanita itu bahkan tidak mampu melanjutkan ucapannya. Hanya suara isakan yang terdengar dari mulut Mbok Nah.Savina hanya menghela napas panjang, ia sepertinya paham dengan kondisi Mbok Nah. Wanit
“Vin, ini yang membuat Bu Erlita meninggalkan Pak Fazli dan Shera,” ucap Mbok Nah dengan netra berkaca-kaca.DEG!Savina tampak terdiam sambil mengamati sesuatu di tangan Mbok Nah. Ia mengambil sebuah surat kabar yang diberikan kepadanya.“Apa ini, Mbok?” tanya Savina dengan tatapan keheranan. Ia bahkan tidak paham dengan sikap Mbok Nah.“Di situ ada berita yang memuat menghilangnya Bu Erlita. Mungkin kamu akan paham, kenapa Pak Fazli selalu saja tampak sedih ketika membahas mendiang istrinya.” Mbok Nah meminta Savina untuk mengamati baik-baik berita yang ada di sana.Savina membaca berita yang dimaksud oleh Mbok Nah, wanita tampak terdiam dengan tangan bergetar. Seketika lidahnya kelu ketika melihat sebuah nama yang tertera di sana.“Pesawat Flying Air dinyatakan hilang kontak setelah dua puluh menit mengudara. Kemungkinan seluruh penumpang dan crew tewas, setelah pesawat diperkirakan jatuh di laut jawa.” Savina terdiam dengan netra berkaca-kaca ketika membaca kalimat demi kalimat
“Syarat? Syarat apa?” tanya Shera dengan tatapan lekat. Sepertinya anak itu mulai tertarik dengan permainan yang akan ditawarkan oleh Savina.Savina tersenyum kecil dan mulai mengatur siasat. Ia tidak boleh kalah oleh Shera. Mungkin selama ini, para pengasuh yang lain akan menyerah dengan kenakalan yang Shera ciptakan. Namun, hal itu tidak berlaku untuknya.“Tunggu sebentar!” ucap Savina sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya.Shera terkejut ketika melihat sebuah koin yang terletak di genggaman tangan Savina. Anak itu bahkan mengernyitkan keningnya dan menatap wajah Savina dalam-dalam.“Sus, koin itu untuk apa?” tanya Shera dengan tatapan lekat.“Sus akan melakukan permainan, sekarang kamu pilih gambar ini, kamu pilih angklung atau gambar garuda?” Savina menyodorkan koin yang berada di telapak tangannya kepada Shera. Wanita itu meminta Shera untuk memilih.“Kalau aku memilih gambar garuda, bagaimana?” Shera menujuk sisi koin yang akan dipilihnya.“Kalau kamu memilih gambar g