“Mas, apa benar kamu akan menikahi Nayra?” lirih Savina dengan tatapan kosong. Bibirnya tampak bergetar dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya.Firman trekejut dengan wajah pias. Laki-laki itu masih terdiam dengan jantung yang berdetak semakin kencang. Ada perasaan sesak yang seketika menyergap di dalam dadanya.“Vin, maksud kamu apa? Kenapa kamu berbicara seperti itu?” tanya Firman dengan tatapan lekat. Ia seakan tengah mengendalikan diri untuk terlihat normal di hadapan istrinya.“Mas, aku tahu kalau kamu akan menikahi Nayra karena aku tidak mampu memberikan keturunan. Aku bahkan tidak mampu mewujudkan keinginan ibumu. Aku bahkan menjadi menantu yang gagal.” Savina terisak di hadapan Firman dan meratapi nasibnya.“Vin, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Apapun yang terjadi, perasaanku kepadamu masih tetap sama. Aku mencintiamu dan selamanya akan seperti itu.” Firman berusaha meyakinkan Savina kalau rasa cintanya masih sama. Ia bahkan berani menjamin kalau cintanya tidak
“Bagaimana? Apa kamu menerima Nayra sebagai madumu?” bisik Bu Leni dengan senyum penuh kemenangan.Savina berusaha membendung air mata yang hampir tumpah. Napasnya terasa berat karena himpitan yang begitu besar di dalam dadanya. Ingin sekali dirinya berteriak dan menangis di pangkuan orang tuanya. Bagaiman mungkin seorang wanita seperti Bu Leni tega berbuat kejam kepadanya? Ini adalah sebuah pukulan telak baginya.“Kenapa kamu masih diam? Apa kamu tidak setuju dengan rencana pernikahan suamimu? Dengan atau tanpa restu darimu, Firman akan tetap menikah dengan Nayra!” ucap Bu Leni dengan nada penuh penekanan.“Bu, aku ingin meminta cerai kepada Mas Firman. Aku tidak mau dimadu!” Savina berbicara dengan tatapan tajam. Wanita itu berusaha meredam rasa sakit yang tengah menyayat-nyayat hatinya. Ia bahkan tidak sudi untuk menjadi keset di keluarga suaminya. Selama ini, dirinya sudah cukup lama diam dan mengalah dan hari ini, Savina memutuskan untuk melawan keputusan kejam ibu mertuanya.“O,
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Savina yang masih berdiri di ruang keluarga. Ada nada ketakutan yang terkandung di sana.“V-vin, kamu mau ke mana?” tanya seseorang dengan tatapan yang begitu tajam.Savina segera menengok ke asal suara, wajahnya tampak terkejut ketika melihat seseorang yang tengah berdiri tidak jauh darinya.“Vin, kamu mau ke mana? Kenapa kamu membawa koper sepagi ini?” tanya Firman dengan wajah panik. Laki-laki itu benar-benar tidak menyangka dengan tindakan istrinya.“Mas, aku hanya ingin berpamitan denganmu. Aku doakan semoga saja rencana pernikahanmu dengan Nayra akan berjalan lancar. Aku memang tidak dapat memberikan apa yang menjadi keinginan terbesar ibumu dan aku memilih untuk mundur.” Savina berbicara dengan wajah tertunduk. Bibirnya bergetar hebat ketika melihat sosok laki-laki yang sangat dicintai di dalam hidupnya.“Vin, apa kamu benar-benar ingin pergi dari sini? Apa kamu lupa kalau surgamu ada di mana? Setelah menikah, surgamu ada padaku dan aku harap
“Sekali kamu melangkah keluar dari rumah ini, aku ceraikan kamu Savina!” seru Firman dengan tatapan berkilat-kilat. Laki-laki itu bahkan tidak sudi menjawab salam dari istri yang sangat dicintainya.DEG!Savina terdiam dengan dada bergetar. Ia tidak menyangka kalau pria yang sangat dicintainya tega menjatuhkan talak kepadanya. Di saat ia menginginkan sebuah kesetiaan dari Firman, ternyata laki-laki itu memilih untuk mendua.Savina hanya menatap sekilas wajah suami dan ibu mertuanya. Ada luka menganga di dalam hatinya ketika melihat mereka bahkan tega meminta hal yang dapat menyakiti perasaannya.Wanita itu menggeleng dan tetap melanjutkan langkahnya. Ia tidak akan menghabiskan sisa hidupnya dengan penuh derai air mata. Savina lebih memilih memupus rasa cintanya kepada Firman daripada melihat laki-laki itu bersanding dengan wanita lain.“Savina, mulai hari ini kamu bukan lagi istriku!” seru Firman dengan napas terengah-engah. Ada rasa sakit yang tengah menghujam jantungnya. Ia terpaksa
“Assalamualaikum,” ucap Savina sambil menyeret koper di tangannya. Wanita itu tampak tersenyum ketika melihat wajah tua yang tengah menatapnya dengan raut muka terkejut.“Waalaikumussalam, Vina. Mana Firman? Apa kamu datang bersama dengannya?” tanya Pak Rohim dengan penuh semangat. Laki-laki itu bahkan keluar dan mencari keberadaan menantunya. Namun, hanya kekecewaan yang tergambar di sana.“Maaf, aku pulang sendiri tanpa Mas Firman,” jawab Savina dengan wajah tertunduk. Ia meremas jari-jemarinya yang saling bertautan satu sama lain.“S-sendiri?” tanya Pak Rohim dengan tatapan terkejut. Ingin sekali laki-laki itu bertanya banyak hal kepada putrinya, namun ada rasa tidak tega melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Savina.“Duduklah, ibumu sedang ada di belakang memetik daun singkong!” ucap Pak Rohim sambil membimbing putrinya yang masih tampak tertunduk dalam. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam mengambilkan segelas air putih untuk Savina.“Minumlah, kamu pasti haus!” Pak Rohim mengan
Savina menangis sepuasnya di hadapan Bu Sarmah dan Pak Rohim, ia mengadukan semua kesedihannya kepada Sang Pencipta tentang masalah yang tengah menghimpitnya. Wanita itu bahkan sudah ikhlas kalau harus melepaskan Firman sebagai suaminya.“Nduk, sekarang kamu harus lebih mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Apa yang terjadi di dalam hidupmu, semua adalah karena izinNya. Jadi, jangan pernah tinggalkan Gusti Allah di setiap langkah dan keseharianmu!” Pak Rohim meminta putrinya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Laki-laki itu tahu kalau Savina memiliki permasalahan yang sangat berat di usia yang terbilang muda.“Pak, Vina sadar kalau Vina tidak dapat memberikan anak untuk Mas Firman. Vina juga tidak akan memaksa Mas Firman untuk tetap bertahan bersama Vina. Mas Firman berhak membahagiakan ibunya.” Savina berbicara dengan netra berkaca-kaca.“Nduk, lebih baik kamu menenangkan diri dulu di sini. Setelah pikiranmu tenang, kamu bisa memilih langkah apa yang akan kamu pilih untuk menap
Savina yang masih berdiri di balik pintu tampak mengurut dadanya. Ia tidak menyangka kalau wanita itu akan menghina orang tuanya.“Ini tidak bisa dibiarkan, wanita seperti Bu Mardiah harus sekali-kali diberikan pelajaran!” ucap Savina sambil mengepalkan tangannya. Dengan langkah gemetar Savina membuka pintu rumahnya dan menuju ke halaman.“Maaf, maksud Bu Mardiah apa ya? Kenapa Bu Mardiah berbicara seperti itu kepada ibuku?” tanya Savina dengan tatapan yang begitu tajam.“Vin, seharusnya dari awal kamu tahu diri dan tidak menikah dengan orang kota. Kalau sudah begini kan repot. Kamu sama saja akan membebani keluargamu,” jawab Bu Mardiah dengan nada ketus.“Bu, sepertinya Ibu sudah salah berbicara. Bukannya Naima putri Bu Mardiah yang membebani orang tua. Aku dengar, Naima sedang hamil dan Romy tidak mau bertanggung jawab,” ucap Savina dengan nada mengejek. Berita kehamilan Naima sudah tersebar di seluruh penjuru kampung. Sedangkan Bu Mardiah berusaha menutupinya meski usahanya gagal
Dengan dada berdebar kencang, Savina tampak gelisah sambil meremas-remas ujung dressnya.“Assalamualaikum,” ucap Savina dengan suara perlahan.“Waalaikumussalam,” jawab seseorang di seberang sana.“Vin, apa kabar? Kamu ke mana saja? Semenjak kamu menikah, aku kehilangan kontakmu!” ucap Annisa, sahabat terdekat Savina ketika bersekolah dulu.“Kabarku baik. Nisa aku sedang butuh pekerjaan. Apa kamu bisa memberikan pekerjaan untukku? Aku bisa bekerja apa saja asal menghasilkan uang,” ucap Savina dengan nada serius. Ia ingin bekerja untuk membantu orang tua dan adik-adiknya.Annisa menghela napas dan tampak ragu untuk menjawab permintaan sahabatnya. Ia sepertinya tengah mengingat-ingat dengan baik, apakah ada lowongan di toko roti tempatnya bekerja? Mengingat dirinya juga sudah lama bekerja di sana.“Nis, kenapa kamu diam saja? Apa ada lowongan pekerjaan untukku? Aku mau bekerja apa saja asalkan aku dapat menghasilkan uang.” Savina sekali lagi menegaskan kalau dirinya akan melakukan apa s