“Sekali kamu melangkah keluar dari rumah ini, aku ceraikan kamu Savina!” seru Firman dengan tatapan berkilat-kilat. Laki-laki itu bahkan tidak sudi menjawab salam dari istri yang sangat dicintainya.DEG!Savina terdiam dengan dada bergetar. Ia tidak menyangka kalau pria yang sangat dicintainya tega menjatuhkan talak kepadanya. Di saat ia menginginkan sebuah kesetiaan dari Firman, ternyata laki-laki itu memilih untuk mendua.Savina hanya menatap sekilas wajah suami dan ibu mertuanya. Ada luka menganga di dalam hatinya ketika melihat mereka bahkan tega meminta hal yang dapat menyakiti perasaannya.Wanita itu menggeleng dan tetap melanjutkan langkahnya. Ia tidak akan menghabiskan sisa hidupnya dengan penuh derai air mata. Savina lebih memilih memupus rasa cintanya kepada Firman daripada melihat laki-laki itu bersanding dengan wanita lain.“Savina, mulai hari ini kamu bukan lagi istriku!” seru Firman dengan napas terengah-engah. Ada rasa sakit yang tengah menghujam jantungnya. Ia terpaksa
“Assalamualaikum,” ucap Savina sambil menyeret koper di tangannya. Wanita itu tampak tersenyum ketika melihat wajah tua yang tengah menatapnya dengan raut muka terkejut.“Waalaikumussalam, Vina. Mana Firman? Apa kamu datang bersama dengannya?” tanya Pak Rohim dengan penuh semangat. Laki-laki itu bahkan keluar dan mencari keberadaan menantunya. Namun, hanya kekecewaan yang tergambar di sana.“Maaf, aku pulang sendiri tanpa Mas Firman,” jawab Savina dengan wajah tertunduk. Ia meremas jari-jemarinya yang saling bertautan satu sama lain.“S-sendiri?” tanya Pak Rohim dengan tatapan terkejut. Ingin sekali laki-laki itu bertanya banyak hal kepada putrinya, namun ada rasa tidak tega melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Savina.“Duduklah, ibumu sedang ada di belakang memetik daun singkong!” ucap Pak Rohim sambil membimbing putrinya yang masih tampak tertunduk dalam. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam mengambilkan segelas air putih untuk Savina.“Minumlah, kamu pasti haus!” Pak Rohim mengan
Savina menangis sepuasnya di hadapan Bu Sarmah dan Pak Rohim, ia mengadukan semua kesedihannya kepada Sang Pencipta tentang masalah yang tengah menghimpitnya. Wanita itu bahkan sudah ikhlas kalau harus melepaskan Firman sebagai suaminya.“Nduk, sekarang kamu harus lebih mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Apa yang terjadi di dalam hidupmu, semua adalah karena izinNya. Jadi, jangan pernah tinggalkan Gusti Allah di setiap langkah dan keseharianmu!” Pak Rohim meminta putrinya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Laki-laki itu tahu kalau Savina memiliki permasalahan yang sangat berat di usia yang terbilang muda.“Pak, Vina sadar kalau Vina tidak dapat memberikan anak untuk Mas Firman. Vina juga tidak akan memaksa Mas Firman untuk tetap bertahan bersama Vina. Mas Firman berhak membahagiakan ibunya.” Savina berbicara dengan netra berkaca-kaca.“Nduk, lebih baik kamu menenangkan diri dulu di sini. Setelah pikiranmu tenang, kamu bisa memilih langkah apa yang akan kamu pilih untuk menap
Savina yang masih berdiri di balik pintu tampak mengurut dadanya. Ia tidak menyangka kalau wanita itu akan menghina orang tuanya.“Ini tidak bisa dibiarkan, wanita seperti Bu Mardiah harus sekali-kali diberikan pelajaran!” ucap Savina sambil mengepalkan tangannya. Dengan langkah gemetar Savina membuka pintu rumahnya dan menuju ke halaman.“Maaf, maksud Bu Mardiah apa ya? Kenapa Bu Mardiah berbicara seperti itu kepada ibuku?” tanya Savina dengan tatapan yang begitu tajam.“Vin, seharusnya dari awal kamu tahu diri dan tidak menikah dengan orang kota. Kalau sudah begini kan repot. Kamu sama saja akan membebani keluargamu,” jawab Bu Mardiah dengan nada ketus.“Bu, sepertinya Ibu sudah salah berbicara. Bukannya Naima putri Bu Mardiah yang membebani orang tua. Aku dengar, Naima sedang hamil dan Romy tidak mau bertanggung jawab,” ucap Savina dengan nada mengejek. Berita kehamilan Naima sudah tersebar di seluruh penjuru kampung. Sedangkan Bu Mardiah berusaha menutupinya meski usahanya gagal
Dengan dada berdebar kencang, Savina tampak gelisah sambil meremas-remas ujung dressnya.“Assalamualaikum,” ucap Savina dengan suara perlahan.“Waalaikumussalam,” jawab seseorang di seberang sana.“Vin, apa kabar? Kamu ke mana saja? Semenjak kamu menikah, aku kehilangan kontakmu!” ucap Annisa, sahabat terdekat Savina ketika bersekolah dulu.“Kabarku baik. Nisa aku sedang butuh pekerjaan. Apa kamu bisa memberikan pekerjaan untukku? Aku bisa bekerja apa saja asal menghasilkan uang,” ucap Savina dengan nada serius. Ia ingin bekerja untuk membantu orang tua dan adik-adiknya.Annisa menghela napas dan tampak ragu untuk menjawab permintaan sahabatnya. Ia sepertinya tengah mengingat-ingat dengan baik, apakah ada lowongan di toko roti tempatnya bekerja? Mengingat dirinya juga sudah lama bekerja di sana.“Nis, kenapa kamu diam saja? Apa ada lowongan pekerjaan untukku? Aku mau bekerja apa saja asalkan aku dapat menghasilkan uang.” Savina sekali lagi menegaskan kalau dirinya akan melakukan apa s
“Pak, siapa yang datang ke rumah kita?” tanya Bu Sarmah dengan tatapan lekat.Pak Rohim hanya menggeleng dengan tatapan nanar. Laki-laki itu segera berdiri untuk membukakan pintu. Langkahnya terasa berat ketika menuju ke pintu utama. Entah kenapa, ada perasaan takut yang tengah menyelimuti hatinya.‘Siapa yang datang bertamu ke gubuk reot miliknya? Kira-kira ada keperluan apa, mengingat Pak Rohim bukanlah orang terpandang di kampungnya?’ batin Bu Sarmah terus berkecamuk sambil menunggu suaminya membukakan pintu untuk tamunya.Pak Rohim bergegas membukakan pintu. Laki-laki itu tampak terpana ketika melihat seorang laki-laki berdiri di hadapannya.“Selamat siang, perkenalkan, nama saya Bambang. Pengacara dari keluarga Bu Leni!” ucap laki-laki itu dengan nada tegas.Pak Rohim hanya mengangguk, ia segera mempersilakan tamunya masuk ke dalam. Meski ada rasa takut di hatinya, laki-laki itu berusaha terlihat baik-baik saja.Bu Sarmah tidak kalah kaget ketika melihat kehadiran Pak Bambang di
Savina sudah tiba di sebuah rumah megah dengan bangunan bergaya eropa. Sesekali ia menghela napas sambil mengedarkan pandangannya.Seorang laki-laki keluar dari dalam dan menyapa Savina yang tengah duduk sendirian di sana.“Selamat pagi, apa kamu yang namanya Savina?” tanya laki-laki itu dengan tatapan lekat.“Ya, saya Savina. Kalau boleh tahu, Bapak siapa?” tanya Savina dengan nada ramah.“Saya Fazli, tugas kamu di sini mengasuh anak saya. Namanya Shera, dia masih duduk di taman kanak-kanak dan sudah beberapa hari ini, dia enggan masuk ke sekolah.” Fazli memperkenalkan diri kepada Savina sambil menceritakan tentang putrinya.“Pak Fazli, apa saya boleh bertemu dengan Shera?” tanya Savina dengan penuh rasa penasaran.“Tentu, sekarang dia ada di kamar. Mari saya antar,” ucap Fazli kepada Savina.Mereka berdua segera menuju ke kamar Shera yang terletak di lantai dua. Savina berdoa di dalam hati, semoga saja Shera mau menerima dirinya sebagai pengasuhnya.Sesampainya di kamar, Savina dan
Shera sudah berada di bawah pohon mangga bersama Savina. Anak itu tersenyum senang karena sebentar lagi Savina pasti akan diusir oleh ayahnya. Ia merasa marah karena ayahnya selalu saja mendatangkan pengasuh untuk menemani dirinya, padahal Shera hanya ingin kehadiran seorang wanita yang dipanggilnya sebagai ibu di dalam hidupnya.“Sus, bagaimana? Apa Sus Vina sudah siap?” tanya Shera dengan tatapan lekat.Savina hanya tersenyum lembut, wanita itu mengangguk dan menghampiri gadis kecil yang tengah mengamati dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.“Tentu saja, Sus sudah pasti tidak akan menyerah,” kekeh Savina sambil bersiap-siap memanjat pohon mangga dan memetik buahnya untuk Shera.Savina segera mulai memanjat pohon mangga yang tinggi menjulang. Ia bahkan tidak merasa takut atau gentar ketika gerombolan semut merah merayapi tangannya dan menggigit beberapa bagian tubuhnya. Kalau saja tidak memikirkan tantangannya kepada Shera, mungkin Savina sudah menyerah.Setelah berusaha denga