“Vitamin yang biasa tetap dikonsumsi. Nanti aku akan minta ahli gizi untuk buatkan menu baru untukmu. Lebih banyak mengandung kalsium, vitamn C, D, zat besi dan omega 3,” ujar Indra sembari mengetik rekam medis Kanaya di komputernya.Mereka sudah selesai pemeriksaan USG 4 dimensi dan Indra sedang membuat catatan pada rekam medis Kanaya “Ada keluhan lain? Bagaimana dengan tidurmu? Bisa tidur kalau malam?”“Jangan kuatir, Naya tidur sangat baik.” Bastian mendahului menjawab sambil melirik Kanaya, dan mengaitkan jari tangan mereka.Kanaya berusaha melepaskannya, namun Bastian sengaja menggenggamnya erat.Tatapan Indra langsung tertuju pada Bastian. Ekspresinya berubah melihat tatapan nakal mata temannya itu serta kaitan tangan mereka. “Aku tanya Kanaya. Kenapa kamu yang jawab?” seloroh Indra dengan nada kesal.Bastian menoleh ke arah Indra. “Kenapa tidak boleh? Aku tahu persis bagaimana Kanaya tidur.” Bastian menaikkan satu alisnya dengan bangga memamerkan pada Indra.Indra berdecak. “
Bastian duduk di kursi kantornya. Baru saja menyelesaikan serangkaian rapat yang sempat tertunda selama masa cutinya.Ia baru punya waktu bersantai sejenak siang itu.Tangan Bastian meraih saku jas bagian dalam, dan ia mengeluarkan buku panduan yang diberikan Indra. Bersama buku itu, foto USG 4 Dimensi anaknya ikut terbawa.Bastian tersenyum melihat foto itu. Ia mengangkatnya dan memperhatikan sekali lagi penampakan wajah putranya. Meskipun berupa foto USG, namun sudah terlihat jelas bagaimana bentuk wajahnya. Dan yang membuat senyumnya bertambah lebar adalah kedua mata itu. Ya, putranya itu memiliki bentuk mata yang sama dengan Kanaya. Kedua mata ekspresif itu berbentuk seperti kacang almond, cenderung lancip di bagian sudut-sudutnya. Selama ini Bastian selalu penasaran, bentuk fisik apa yang Kanaya turunkan pada putranya itu. Dan sekarang ia tahu. Bastian mengecup wajah putranya itu sebelum ia menyimpan foto itu di laci meja kerjanya.Ia laku membuka buku panduan yang diberika
“Kamu jadi datang ke rumah?” Kanaya sedang berada di dapur, menulis pesan singkat kepada Bastian.Bastian yang sedang mendengarkan laporan salah satu menejer perusahaannya, merasakan telepon di sakunya bergetar.Tidak banyak orang yang mengetahui nomor telepon pribadi miliknya itu, sehingga siapa pun yang mengirim pesan padanya adalah salah satu circle terdekatnya.Bastian meraih telepon genggamnya itu dan melihat siapa pengirimnya. Seketika itu juga ia tersenyum dan tanpa ragu membalas pesan itu.“Tentu Naya. Miss me already?”Kanaya membaca balasan Bastian dan seperti menularkan virus, balasan itu membuat ujung bibir Kanaya melengkung ke atasIa menoleh ke luar jendela, melihat Sifa dan Emran yang tengah membuat sesuatu di sana, sebelum membalas pesan Bastian.“Sedikit,” tulisnya sambil tertawa kecil. Entah bagaimana ia tidak ingin terang-terangan mengatakan jika ia merindukan Bastian.Ia lalu lanjut menulis. “Naya mau siapin makanan untuk makan malam. Kamu makan malam di sini kan?”
Bastian merasakan angin menerpa tubuhnya. Lalu sedikit rasa hangat dari sesuatu di dekatnya. Ia begitu penasaran dan ingin membuka matanya, saat ia mendengar suara Kanaya, “Kamu boleh membuka matamu.” Bastian membuka matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah Kanaya. Kanaya, gadis itu berdiri di hadapannya. Dia tersenyum dengan wajah yang diterpa cahaya berwarna kuning hangat dan temaram. Merasa sedikit aneh dengan pencahayaan yang ada di sana, ia melihat ke sekelilingnya. Taman yang biasanya terang benderang oleh lampu di setiap sudut taman itu, saat ini tampak temaram. Semua lampu taman dalam keadaan mati, diganti dengan lampu gantung kecil-kecil yang cahayanya tidak terlalu terang, namun memberikan kesan romantis dan syahdu. Dan cahaya kuning hangat yang mereka berdua rasakan berasal dari perapian yang ada tidak jauh dari mereka. Dan bukan itu saja. Saat Bastian menoleh, dibelakangnya berdiri sebuah tenda dengan alas piknik yang nyaman dan hangat! Kanaya menga
“Hm… “ Bastian mendesah merasakan burger itu di mulutnya. Masih dengan mengunyah, ia menoleh. “Ini enak, Naya. Bumbunya pas, dan dagingnya hm… juicy!” puji Bastian. Ia lalu menyodorkan burger di tangannya ke mulut Kanaya. “Kamu pasti belum mencobanya. Cobalah.” Kanaya hendak menggigit burger itu saat Bastian mengatakan, “Buka mulutmu lebih lebar… ya, seperti itu…” Kanaya membuka mulutnya lebih lebar dan menggigit burger itu dengan malu-malu. Ia dan Bastian tertawa kecil oleh cara mereka menyantap burger yang tebal itu. Mungkin kali berikut, ia harus membuat burger yang lebih tipis, batin Kanaya sambil menertawakan mulutnya yang menganga lebar saat menggigitnya. “Enak?” tanya Bastian masih menyisakan tawa kecil sambil ibu jarinya membersihkan noda mayonaise di ujung bibir Kanaya dengan lembut. Kanaya mengangguk sembari mengunyah makanan di mulutnya. Kanaya memang belum mencobanya burger buatannya itu. Ia sengaja menunggu Bastian agar mereka menikmatinya bersama-sama. “Lagi?
Kanaya tertidur tidak lama setelah mereka bercinta di dalam tenda malam itu.Perlahan Bastian menggendong Kanaya masuk ke dalam rumah, kemudian membaringkannya dengan hati-hati di atas ranjang. Kanaya tidak terbangun, dia hanya bergerak sedikit, dan kembali lelap saat tangannya menemukan maternity pillow miliknya.Bastian tersenyum melihat tingkah polos gadis itu. Ia lalu menyelimuti, mengecup perut serta kening Kanaya dengan perlahan, berusaha untuk tidak membangunkannya. Setelah itu, dengan tanpa suara ia berjalan keluar dari kamar.Bastian tidak menginap di Sunset Summit malam itu. Meskipun ia ingin menginap di sana, namun Ia harus pulang ke Sunnyside Estate.Dalam perjalanan pulang, Bastian tidak banyak bicara. Ia terus memikirkan apa yang Kanaya katakan padanya malam ini. Setelah selesai bercinta, mereka berdua berbaring menyamping saling berhadapan di dalam tenda itu, saling memandang dengan hanya mengenakan selimut yang menutupi tubuh mereka.Tiba-tiba saja Kanaya berkata pa
Bastian meletakkan amplop surat berkop pengacara itu di atas meja. “Pengacara Papamu mengirimkan ini.” Elsie yang sedang menyantap sarapannya bersama Bastian pagi itu mengambil amplop yang diberikan Bastian dan ia membacanya. “Apa kamu sudah pernah mengecek perusahaan Papamu?” tanya Bastian sambil menoleh ke arah Elsie. “Belum. Tapi Mama sudah sempat pergi ke sana.” Bastian mengangguk mendengar jawaban Elsie. “Kita tidak tahu apa yang diinginkan Papamu dalam wasiatnya. Tetapi jika saham perusahaan itu diwariskan kepadamu, apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Bastian lagi. Ia merasa yakin jika Felix akan mewariskan perusahaan itu kepada Elsie, putri satu-satunya. Elsie tampak berpikir. Selama ini ia enggan ikut berkecimpung dalam bisnis Papanya. Selain karena bisnis shipping tidak memarik perhatiannya, ia pun sudah terlanjur menikmati hidup enak dengan menjadi istri Bastian. Tanpa bekerja ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Yang perlu ia lakukan selama ini hanyalah menja
Hari ini Bastian begitu sibuk dengan pekerjaannya. Ia banyak melakukan aktivitas di luar kantor. Meeting, bertemu klien, menginspeksi berbagai pengerjaan proyek hingga menghadiri pertemuan asosiasi pengusaha Emerald City.Bastian baru saja selesai menghadiri pertemuan asosiasi pengusaha di sebuah hotel malam itu. Ia memasuki mobil di drive way hotel bersama Ezra.Belum lama mobil berjalan, telepon genggam Bastian berbunyi dan ia pun mengangkatnya.“Ya Jay?”Ezra melirik melalui kaca spion mendengar siapa yang memghubungi Bastian petang itu.Jay tengah berbicara sesuatu dengan Bastian. Ezra sendiri tidak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. “Kamu yakin?”“Lalu?”“Hmmm…” Bastian terdiam, tampak berpikir cukup lama. Ezra memperhatikan bosnya yang tengah menatap ke luar jendela, larut dengan pikirannya sementara dia masih terhubung dengan Jay.“Berikan semua bukti yang kamu sudah kumpulkan ke Ezra besok pagi. Sementara, teruskan apa yang kamu lakukan,” ujar Bastian akhirnya.Setelah
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m