Kanaya berdiri di lobi rumah sakit. Matanya menatap ke atas, ke arah layar televisi yang ada di salah satu dinding lobi itu.“Dokter Nathan Pradipta, Dokter bedah toraks kardiovaskular, mendarat di bandara International Emerald City pagi ini bersama rombongannya.”Di layar televisi tampak dokter senior berusia 47 tahun itu turun dari sebuah pesawat jet pribadi, berjalan diantara beberapa orang rombongan timnya yang berjumlah delapan orang. Beberapa orang petugas keamanan berjalan di sisi mereka, mengamankan jalan yang akan mereka lalui. “Kedatangan Dokter Nathan beserta tim adalah untuk menghadiri Konferensi Dokter Bedah Toraks Kardiovaskular Internasional yang sedianya diadakan di Emerald City Convention Centre untuk tiga hari ke depan…”Kanaya mendengarkan apa yang dikatakan oleh pembawa berita itu. Kedua matanya tidak lepas menatap layar televisi hingga berita itu berakhir.Tiga hari. Ini kesempatan Kanaya untuk bisa bertemu dengan dokter itu dan memintanya mengecek keadaan ibunya
Bastian berdiri di depan jendela kaca ruangan ICU. Ia menatap tepat pada sosok wanita berparas mirip Kanaya. Hanya saja wanita itu tampak lemah tak berdaya dan kehilangan cahaya hidupnya.Baru kali pertama Bastian melihat Ayunda. Sayangnya, pertemuan pertama itu sangatlah tidak ideal. Ia justru melihat sosoknya saat ‘ibu mertuanya’ itu tengah berjuang bertahan untuk hidup.Berkelebat raut wajah sedih Kanaya saat ia membicarakan ibunya, dan timbul rasa sesal di hati Bastian.Kenapa ia tidak melakukan sesuatu sejak dulu? Kenapa ia tidak mempedulikan keadaan wanita itu? Padahal sejak pertama kali ia mengetahui keberadaan seorang perempuan bernama Kanaya melalui selembar kertas biodata, ia mengetahui gadis itu sedang berjuang mencari pengobatan ibunya. Dan Bastian tidak pernah mencari tahu bagaimana keadaan ibunya! Bastian menarik nafas dalam menyadari betapa egoisnya dirinya. Saat sedang menyesali diri, telepon genggamnya berbunyi dan ia mengangkatnya.“Bas, jadi pergi sore ini?” tanya
Bastian mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Dia sedang mengandung anakku dan aku tidak ingin kondisi kesehatan ibunya berpengaruh pada kesehatannya.”“Benarkah? Hanya itu saja?” tanya Ardyan sambil terkekeh.“Alasan apa lagi yang aku perlukan? Bukankah itu sudah jelas?” sergah Bastian dengan cepat sambil memberi Ardyan tatapan kesal. Ardyan tertawa melihat respon Bastian.“Tidak ada— I love you Kanaya! I’ll do anything for you?” ledek Ardyan dengan suara yang dibuat heboh. Ia lalu tertawa dan baru berhenti saat Bastian memelototinya. Tidak lama mereka sampai di halaman Hotel Pacific Star. Mereka tidak berhenti di lobi hotel, melainkan turun di basement lalu naik lift ke lantai 25. Dan setelah menunggu selama beberapa menit, mereka akhirnya diperbolehkan bertemu dengan Dokter Nathan di ruang tamu hotelnya.“Selamat sore Prof,” sapa Ardyan saat mereka akhirnya bertemu sosok Dokter Nathan.“Ardyan, lama tidak bertemu! Bagaimana rasanya menjadi direktur rumah sakit besar?” ucap Na
“Riky, apa Anda tidak bisa membantu saja bertemu dengan Dokter Nathan? Sebentar saja. Saya hanya perlu waktu sebentar untuk bertemu dan berbicara dengannya.” Rizal membujuk Riky, salah satu dari seorang anggota tim medis Dokter kondang itu.“Maaf Pak, jadwal temu Dokter Nathan sudah penuh hari ini. Kalau bapak mau, mungkin saya bisa memasukkan Bapak di hari ketiga. Hanya itu yang bisa saya lakukan,” terang Riky sambil memberi gestur meminta maaf.Rizal menarik nafas dengan dalam, berusaha meredakan kekesalannya. Ia sudah berusaha mendekati Riky sejak tadi dan pada akhirnya ia tidak bisa bertemu dengan Dokter Nathan hari ini.Mau tidak mau ia harus menerima, dan menunggu dua hari lagi hingga ia bisa bertemu dengan Dokter itu.Di lobi hotel, Rizal menghubungi Kanaya untuk memberi tahu hal itu.“Maaf Kanaya, aku tidak bisa menemuinya hari ini. Tiba-tiba saja Dokter Nathan mendapat panggilan darurat sehingga tidak bisa menemui kami,” ucap Rizal beralasan.Di ujung sambungan telepon, Kana
“Dokter Alex, Bapak Ezra masih saja menanyakan Anda. Apa yang harus saya lakukan?” Sisca, sekertaris Alex menghubunginya siang itu. Alex yang sejak tadi mendapat laporan dari sejumlah stafnya mengenai kedatangan Ezra ke rumah sakit, tidak berani kembali ke kantornya.“Katakan saja jika saya tidak kembali ke rumah sakit hari ini!” seru Alex dengan kesal sekaligus merasa gelisah. Sekertarisnya itu sudah benerapa kali menghubunginya, dan setiap kali membuatnya bertambah gelisah saja.“Jabgan hubungi aku lagi, Sisca! Apa kamu tidak tahu aku sedang bekerja?” bentaknya sebelum mematikan panggilan telepon itu dengan sepihak.“Om, apa dia masih ada di rumah sakit?” Tyo yang berdiri di belakangnya dengan gelisah, bertanya.“Kamu pikir untuk apa Sisca menghubungiku sejak tadi?” Bukannya menjawab, Alex malah mendamprat Tyo.“Tuh kan benar kataku, Om! Dia yang kulihat datang menengok Ibu Ayunda kemarin sore! Aku tidak salah lagi. Dia pasti Bastian Aryo Dwipangga!” seru Tyo dengan panik.Kemari
Kanaya berdiri di depan jendela ruangan ICU ibunya. Ia belum lama datang, baru saja menggantikan Laila menunggui Ayunda. Kedua mata sayu Kanaya menatap dengan sedih ke arah sosok Ayunda yang masih terbaring dengan mata terpejam. Sampai hari ini, ibunya itu belum juga sadarkan diri.Ibu, bangunlah. Jangan tinggalkan Kanaya sendiri, ucap Kanaya di dalam hati.Merasa sedih sendiri, pandangan Kanaya turun ke bawah ke arah perutnya, bertepatan dengan bulir-bulir air mata mengalir di pipinya. Ia mengelus dengan lembut perutnya, berusaha menenangkan bayi dalam kandungannya yang bergerak, merespon kesedihannya. Kanaya tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak bisa berpura-pura bahagia saat hatinya sedang merasakan sedih. Ah, seandainya saja bayi dalam kandungannya tidak ikut bersedih merasakan suasana hatinya, mungkin Kanaya tidak harus merasa bersalah karenanya. Tiba-tiba saja sepasang tangan dari arah belakang, menangkup kedua tangannya yang ada di atas perutnya.Kanaya hafal betul siapa pe
Dengan menggunakan mobil, Bastian dan Kanaya memasuki halaman gedung ERC. Mereka turun di basement dan langsung naik ke lantai 10, ruangan ICU poliklinik jantung rumah sakit itu.Ayunda sudah lebih dahulu sampai di sana. Transfer rumah sakit yang dilakukan oleh tim medis yang dipimpim Ardyan berlangsung dengan rapi dan cepat.Mengingat kondisi kesehatan Ayunda, ia dipindahkan dengan menggunakan helikopter khusus medis dengan didampingi oleh beberapa orang staf medis yang handal. Bastian membawa Kanaya ke sebuah ruangan yang terlihat seperti sebuah kamar lengkap dengan sofa, meja, dan ranjang rumah sakit.Akan tetapi yang berbeda adalah dari kamar itu adalah Kanaya bisa langsung melihat ruangan ICU tempat ibunya berada hanya berbatas sebuah dinding kaca. Seperti ia memiliki ruang tunggu ICU pribadi.Saat itu, proses transfer Ayunda sudah selesai dilakukan dan ibunya sudah terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan mata terpejam seakan tidak terjadi apa-apa. Kanaya merasa sangat leg
Kanaya menatap deretan huruf di sebuah dinding. Intensive Coronary Care Unit (ICCU) adalah tempat ibunya di rawat. Ia berdiri di depan pintu masuk area itu dengan mengenakan gaun isolasi, sarung tangan, penutup sepatu dan masker. Kanaya berencana menemui ibunya di ruangan itu setelah pagi tadi Ardyan memastikan kondisi ibunya stabil dan mengatakan jika ia bisa menemui ibunya.“Ayo Kanaya, kalau kamu sudah siap, sebaiknya kita segera masuk,” ucap Ardyan yang berdiri di sampingnya. Dia pun telah mengenakan pakaian isolasi untuk memasuki ICCU, sama seperti Kanaya.Kanaya mengangguk mengiyakan, dan mereka pun masuk ke dalam area ICCU itu.Area ICCU itu terbagi ke dalam beberapa unit ruangan berbeda untuk setiap pasien. Dan unit Ayunda berada di ujung koridor, bersebelahan dengan ruang tunggu VIP yang Kanaya tempati.“Kanaya, kamu bisa mengajak ibumu bicara. Bicarakan apa saja yang bisa membuat ibumu mempunyai semangat dan keinginan yang kuat untuk hidup.”“Kamu boleh memegang tangannya
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un