“Aduh!” Kanaya merasakan sakit di lututnya saat ia terjatuh. Rumput hijau yang ada dibawahnya itu, meskipun tidak terasa keras, namun tetap membuat goresan di kulit yang menutupi tempurung kakinya. Rasa perih menyelekit dirasakannya. Kanaya beranjak berdiri dan melihat ke sekelilingnya. Sebuah taman dengan bunga-bunga kembang sepatu berwarna-warni yang tampak familiar baginya. Kanaya tahu taman itu. Lebih jauh matanya memandang, ia melihat sebuah rumah kecil tidak jauh dari tempat ia berdiri. Kanaya juga mengenali rumah itu. Rumah itu adalah rumah yang ia tinggali bersama kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Di depan rumah itu ada sebuah ayunan yang sering dimainkannya. Dan setiap kali Ayahnya pulang dari bekerja, mereka akan bermain di sana. Saat itu ia belum berusia 10 tahun dan Ayahnya masih hidup. Tunggu… apakah ia kembali ke waktu saat ia kecil? Kanaya melihat ke bawah, dan kakinyanya lah yang pertama kali menarik perhatiannnya. Saat itu kedua kakinya mengenakan s
Kanaya masih merasa kesal dan enggan bertemu dengan Bastian. Ia masih ingat apa yang Bastian katakan nengenai hubungan mereka beberapa waktu yang lalu. Bahwa hubungan mereka tidak lebih dari hubungan nafsu dan gairah yang membara di atas ranjang. Kanaya pikir, ketidakhadiran Bastian beberapa hari terakhir ini karena dia telah menyetujui keinginannya untuk memutuskan hubungan mereka. Akan tetapi, diluar dugaan, saat ini Bastian datang menemuinya. Kanaya beranjak duduk dan bergeser mundur hingga punggungnya bersandar di kepala ranjang. “Pak Bas sedang apa di sini?” tanyanya dengan tatapan setengah menunduk dan tanpa tersenyum. Bastian mengerlingkan matanya dan terkekeh pelan. “Masih marah?” ia malah menggoda Kanaya. Kanaya menghela nafas dengan cepat. Dia pikir aku bercanda dengan semua yang aku katakan saat itu? Pikir Kanaya dengan kesal. “Naya serius. Pak Bas mau apa ke sini?” tanya Kanaya sekali lagi. Bastian bergeser mendekati Kanaya. “Menurutmu?” tanya Bastian sambil menata
“Aku di sini, Naya. Kamu bisa cerita ada apa,” ucap Bastian sambil memeluk Kanaya.Kanaya menangis tersedu-sedu di dada Bastian. Emosi akan kesedihan dan ketakutan kehilangan ibunya yang telah di tekannya selama ini seakan meluap, tumpah ruah kala Bastian menanyakan apa yang terjadi padanya.Bahu Kanaya bergerak naik dan turun sejalan dengan nafasnya tersenggal-senggal. Bastian membiarkan Kanaya menangis di dadanya, meluapkan apa yang gadis itu rasakan.Bastian tidak yakin apa yang membuat Kanaya sampai menangis seperti itu. Namun melihat dari luapan emosinya, sepertinya istri mudanya itu tengah mengalami hari yang sangat berat.Apa dan siapa penyebabnya, Bastian tidak tahu. Tetapi jika ia mengetahui siapa orang yang telah membuat Kanaya bersedih seperti ini, ia tidak akan membiarkan orang itu lepas begitu saja!Perlahan Bastian mengarahkan Kanaya kembali duduk ke sofa di ruang keluarga bersamanya.Di sofa itu, ia kembali memeluk Kanaya dan mengelus punggungnya dengan lembut. Dibiark
“Direktur Alex, bisa saya bicara dengan Anda?”Alex baru saja menutup pintu kantornya saat seseorang berbicara dengannya. Ia berdecak kesal. Siapa yang berani mengganggunya? Saat itu sudah waktunya untuk pulang, tetapi masih saja ada yang datang ingin berbicara dengannya. Apa dia tidak tahu kapan jam kantornya berakhir?“Besok saja. Sekarang saya harus pergi menemui dewan direk—” Alex tidak meneruskan ucapannya saat ia berbalik badan dan melihat siapa orang yang berbicara dengannya. Seketika itu juga ia tercengang.“Pak Ezra?! A-ada keperluan apa Bapak datang ke sini? Wah, maaf, saya tidak tahu kalau Bapak yang datang,” ucap Alex cepat-cepat dengan bersidekap dan merubah nada suaranya menjadi sangat ramah.“Pak Alex mau bertemu dengan Dewan Direksi? Hm… kenapa saya tidak tahu jika ada rapat Dewan Direksi sore ini?” gumam Ezra sambil melihat jam tangannya.Ucapan Ezra sangat beralasan. Sebab jika Dewan Direksi rumah sakit itu mengadakan rapat, Bastian sebagai pemegang saham terbesar r
Bastian yang sedang mengaduk sesuatu di dalam panci refleks menoleh saat mendengar suara Kanaya.Kedua pupil mata Bastian melebar saat ia melihat sosok gadis itu.Si cantik yang sedang mengandung anaknya itu berhenti termangu di depan ruang makan.Bastian terkekeh pelan melihat reaksi Kanaya,dan ia pun berjalan mendekatinya.“Jangan suka bengong! Nanti ada lalat yang masuk,” ucap Bastian sambil menjentik bibir atas Kanaya dengan ujung jarinya.Kanaya terbangun dari ketertegunannya dan segera mengalihkan pandangannya dari Bastian dengan canggung.“Bapak kenapa masih di sini?” tanya Kanaya sambil lanjut berjalan dan berhenti di dekat dispenser air. Ia lalu mengambil segelas air putih dan meminumnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, antara antusias dan gelisah.“Duduk lah Naya, aku memasak bubur untukmu. Kamu pasti lapar.” Alih-alih menjawab pertanyaan Kanaya, Bastian justru menggiring istri mudanya itu untuk duduk di kursi meja makan.Ia lalu kembali ke dapur untuk meracik bubur yan
“Cheers Elsie!” Rosa mengangkat gelas whiskey ketiganya tinggi-tinggi, sebelum ia meneguknya. Elsie membalasnya dengan mengangkat tequila rose miliknya tetapi ia hanya menyesap sedikit saja. Elsie tidak ingin minum terlalu banyak dan berakhir mabuk malam ini. Sebab, Bastian akan pulang ke rumah. Ia tidak ingin Bastian mengetahui jika ia pergi clubbing dan minum-minum dengan Rosa dan teman kencan mereka. Baru saja Elsie menaruh gelas tequila miliknya, telepon genggam keluaran terbaru miliknya yang ada di atas meja menyala dan bergetar. Semua yang ada di meja itu otomatis menoleh, melihat ke arah layar telepon itu. Melihat siapa orang yang menghubunginya, Elsie langsung meraih telepon itu dan beranjak berdiri. “Sebentar,” ucapnya kepada teman-temannya sebelum ia berjalan menuju ke kamar mandi. Begitu sampai di kamar mandi, Elsie menjawab panggilan telepon itu dengan setengah hati. “Halo?” “Selamat malam Bu Elsie.” Suara Alex yang tegang terdengar dari ujung sambungan telepon.
Setelah tarik ulur mengenai uang itu. Alex pun akhirnya setuju. Ia dan Tyo mau tidak mau menerima keputusan Elsie. Apalagi mereka memang tidak memiliki bukti apa pun mengenai keterlibatan Elsie. Di kamar mandi club malam, Elsie tampak begitu kesal. Ia harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membungkam mulut mereka. Ini semua karena perempuan itu! Kalau saja dia tidak minta dinikahi, ia mungkin tidak perlu merasa sekhawatir ini! Batin Elsie mengumpat Kanaya di dalam hatinya. Setelah selesai berurusan dengan Alex di telepon, Elsie kembali ke mejanya. Namun mood-nya untuk bersenang-senang hilang sudah. “Els, tos lagi! Kamu harus coba ini! Mereka bilang ini minuman baru!” Rosa yang sudah setengah mabuk langsung menyambut Elsie dan memberikan temannya itu segelas minuman beralkohol terbaru club itu. “Sudahlah Ros, aku mau pulang saja!” ucap Elsie menolak. Ia lalu membereskan barang-barang miliknya di atas meja. “Babe, kok balik? Ini kan masih sore,” protes Rico merasa heran
Di ruangan scrub up di Emerald Restorative Centre, sebuah rumah sakit terbesar, terlengkap dan terbaru di Emerald City, Ardyan melepas jubah dan sarung tangan sterilnya, dibantu oleh seorang perawat.Ardyan adalah seorang neurosurgeon atau yang biasa disebut sebagai dokter bedah syaraf. Dan ia baru saja selesai melakukan operasi tumor otak seorang pasien yang dikerjakan selama 7 jam di dalam ruangan operasi.“Dok, Pak Bastian menghubungi Dokter beberapa kali. Mungkin ada sesuatu yang penting,” ujar Rosita, salah seorang perawat yang berada di ruangan bedah itu.Ia mengerling dan memberikan lirikan menggoda sembari memberikan sebuah telepon genggam kepada dokter bedah muda yang masih mengenakan seragam scrub berwarna hijau muda itu.“Terima kasih, Sita,” ucap Ardyan sembari memberikan senyuman khas menawannya.Tidak ayal perawat-perawat muda yang ada di ruangan itu, melirik padanya dengan hati yang berdebar, berharap mendapat senyuman semanis itu dari sang dokter.Selain muda dan tampa
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu