“Aku di sini, Naya. Kamu bisa cerita ada apa,” ucap Bastian sambil memeluk Kanaya.Kanaya menangis tersedu-sedu di dada Bastian. Emosi akan kesedihan dan ketakutan kehilangan ibunya yang telah di tekannya selama ini seakan meluap, tumpah ruah kala Bastian menanyakan apa yang terjadi padanya.Bahu Kanaya bergerak naik dan turun sejalan dengan nafasnya tersenggal-senggal. Bastian membiarkan Kanaya menangis di dadanya, meluapkan apa yang gadis itu rasakan.Bastian tidak yakin apa yang membuat Kanaya sampai menangis seperti itu. Namun melihat dari luapan emosinya, sepertinya istri mudanya itu tengah mengalami hari yang sangat berat.Apa dan siapa penyebabnya, Bastian tidak tahu. Tetapi jika ia mengetahui siapa orang yang telah membuat Kanaya bersedih seperti ini, ia tidak akan membiarkan orang itu lepas begitu saja!Perlahan Bastian mengarahkan Kanaya kembali duduk ke sofa di ruang keluarga bersamanya.Di sofa itu, ia kembali memeluk Kanaya dan mengelus punggungnya dengan lembut. Dibiark
“Direktur Alex, bisa saya bicara dengan Anda?”Alex baru saja menutup pintu kantornya saat seseorang berbicara dengannya. Ia berdecak kesal. Siapa yang berani mengganggunya? Saat itu sudah waktunya untuk pulang, tetapi masih saja ada yang datang ingin berbicara dengannya. Apa dia tidak tahu kapan jam kantornya berakhir?“Besok saja. Sekarang saya harus pergi menemui dewan direk—” Alex tidak meneruskan ucapannya saat ia berbalik badan dan melihat siapa orang yang berbicara dengannya. Seketika itu juga ia tercengang.“Pak Ezra?! A-ada keperluan apa Bapak datang ke sini? Wah, maaf, saya tidak tahu kalau Bapak yang datang,” ucap Alex cepat-cepat dengan bersidekap dan merubah nada suaranya menjadi sangat ramah.“Pak Alex mau bertemu dengan Dewan Direksi? Hm… kenapa saya tidak tahu jika ada rapat Dewan Direksi sore ini?” gumam Ezra sambil melihat jam tangannya.Ucapan Ezra sangat beralasan. Sebab jika Dewan Direksi rumah sakit itu mengadakan rapat, Bastian sebagai pemegang saham terbesar r
Bastian yang sedang mengaduk sesuatu di dalam panci refleks menoleh saat mendengar suara Kanaya.Kedua pupil mata Bastian melebar saat ia melihat sosok gadis itu.Si cantik yang sedang mengandung anaknya itu berhenti termangu di depan ruang makan.Bastian terkekeh pelan melihat reaksi Kanaya,dan ia pun berjalan mendekatinya.“Jangan suka bengong! Nanti ada lalat yang masuk,” ucap Bastian sambil menjentik bibir atas Kanaya dengan ujung jarinya.Kanaya terbangun dari ketertegunannya dan segera mengalihkan pandangannya dari Bastian dengan canggung.“Bapak kenapa masih di sini?” tanya Kanaya sambil lanjut berjalan dan berhenti di dekat dispenser air. Ia lalu mengambil segelas air putih dan meminumnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, antara antusias dan gelisah.“Duduk lah Naya, aku memasak bubur untukmu. Kamu pasti lapar.” Alih-alih menjawab pertanyaan Kanaya, Bastian justru menggiring istri mudanya itu untuk duduk di kursi meja makan.Ia lalu kembali ke dapur untuk meracik bubur yan
“Cheers Elsie!” Rosa mengangkat gelas whiskey ketiganya tinggi-tinggi, sebelum ia meneguknya. Elsie membalasnya dengan mengangkat tequila rose miliknya tetapi ia hanya menyesap sedikit saja. Elsie tidak ingin minum terlalu banyak dan berakhir mabuk malam ini. Sebab, Bastian akan pulang ke rumah. Ia tidak ingin Bastian mengetahui jika ia pergi clubbing dan minum-minum dengan Rosa dan teman kencan mereka. Baru saja Elsie menaruh gelas tequila miliknya, telepon genggam keluaran terbaru miliknya yang ada di atas meja menyala dan bergetar. Semua yang ada di meja itu otomatis menoleh, melihat ke arah layar telepon itu. Melihat siapa orang yang menghubunginya, Elsie langsung meraih telepon itu dan beranjak berdiri. “Sebentar,” ucapnya kepada teman-temannya sebelum ia berjalan menuju ke kamar mandi. Begitu sampai di kamar mandi, Elsie menjawab panggilan telepon itu dengan setengah hati. “Halo?” “Selamat malam Bu Elsie.” Suara Alex yang tegang terdengar dari ujung sambungan telepon.
Setelah tarik ulur mengenai uang itu. Alex pun akhirnya setuju. Ia dan Tyo mau tidak mau menerima keputusan Elsie. Apalagi mereka memang tidak memiliki bukti apa pun mengenai keterlibatan Elsie. Di kamar mandi club malam, Elsie tampak begitu kesal. Ia harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membungkam mulut mereka. Ini semua karena perempuan itu! Kalau saja dia tidak minta dinikahi, ia mungkin tidak perlu merasa sekhawatir ini! Batin Elsie mengumpat Kanaya di dalam hatinya. Setelah selesai berurusan dengan Alex di telepon, Elsie kembali ke mejanya. Namun mood-nya untuk bersenang-senang hilang sudah. “Els, tos lagi! Kamu harus coba ini! Mereka bilang ini minuman baru!” Rosa yang sudah setengah mabuk langsung menyambut Elsie dan memberikan temannya itu segelas minuman beralkohol terbaru club itu. “Sudahlah Ros, aku mau pulang saja!” ucap Elsie menolak. Ia lalu membereskan barang-barang miliknya di atas meja. “Babe, kok balik? Ini kan masih sore,” protes Rico merasa heran
Di ruangan scrub up di Emerald Restorative Centre, sebuah rumah sakit terbesar, terlengkap dan terbaru di Emerald City, Ardyan melepas jubah dan sarung tangan sterilnya, dibantu oleh seorang perawat.Ardyan adalah seorang neurosurgeon atau yang biasa disebut sebagai dokter bedah syaraf. Dan ia baru saja selesai melakukan operasi tumor otak seorang pasien yang dikerjakan selama 7 jam di dalam ruangan operasi.“Dok, Pak Bastian menghubungi Dokter beberapa kali. Mungkin ada sesuatu yang penting,” ujar Rosita, salah seorang perawat yang berada di ruangan bedah itu.Ia mengerling dan memberikan lirikan menggoda sembari memberikan sebuah telepon genggam kepada dokter bedah muda yang masih mengenakan seragam scrub berwarna hijau muda itu.“Terima kasih, Sita,” ucap Ardyan sembari memberikan senyuman khas menawannya.Tidak ayal perawat-perawat muda yang ada di ruangan itu, melirik padanya dengan hati yang berdebar, berharap mendapat senyuman semanis itu dari sang dokter.Selain muda dan tampa
Ardyan menatap Bastian, menunggu jawaban darinya.Bastian menimbang apakah sekarang waktu yang tepat?Ia merubah posisi duduknya, menyandarkan punggungnya di sofa sembari menatap Ardyan."Bas, kalau kamu ingin aku membantumu, beri aku informasi," ujar Ardyan. Ia tidak memaksa Bastian, namun ia perlu mengetahui identitas pasien itu agar ia bisa membantunya."Dia ibunya Kanaya," jawab Bastian sambil menatap temannya itu.Ardyan bersumpah, ia seperti mendengar suara Bastian menahan gejolak emosi saat menyebutkan nama seorang perempuan.Apakah Kanaya wanita itu? Wanita lain yang ia lihat bersama Bastian di Hotel Royal tempo hari? Ardyan selalu penasaran, ingin mengetahui siapa sosok perempuan itu."Dan siapa Kanaya?" tanya Ardyan, berusaha menahan diri untuk tidak terlihat terlalu antusias bertanya.Diam-diam ia melirik jari manis Bastian. Dan benar dugaannya, temannya itu tidak mengenakan cincin pernikahannya. Itu artinya, Bastian baru saja meluangkan waktu bersama perempuan itu."Apa d
Kanaya berdiri di lobi rumah sakit. Matanya menatap ke atas, ke arah layar televisi yang ada di salah satu dinding lobi itu.“Dokter Nathan Pradipta, Dokter bedah toraks kardiovaskular, mendarat di bandara International Emerald City pagi ini bersama rombongannya.”Di layar televisi tampak dokter senior berusia 47 tahun itu turun dari sebuah pesawat jet pribadi, berjalan diantara beberapa orang rombongan timnya yang berjumlah delapan orang. Beberapa orang petugas keamanan berjalan di sisi mereka, mengamankan jalan yang akan mereka lalui. “Kedatangan Dokter Nathan beserta tim adalah untuk menghadiri Konferensi Dokter Bedah Toraks Kardiovaskular Internasional yang sedianya diadakan di Emerald City Convention Centre untuk tiga hari ke depan…”Kanaya mendengarkan apa yang dikatakan oleh pembawa berita itu. Kedua matanya tidak lepas menatap layar televisi hingga berita itu berakhir.Tiga hari. Ini kesempatan Kanaya untuk bisa bertemu dengan dokter itu dan memintanya mengecek keadaan ibunya
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un