Di ruangan scrub up di Emerald Restorative Centre, sebuah rumah sakit terbesar, terlengkap dan terbaru di Emerald City, Ardyan melepas jubah dan sarung tangan sterilnya, dibantu oleh seorang perawat.Ardyan adalah seorang neurosurgeon atau yang biasa disebut sebagai dokter bedah syaraf. Dan ia baru saja selesai melakukan operasi tumor otak seorang pasien yang dikerjakan selama 7 jam di dalam ruangan operasi.“Dok, Pak Bastian menghubungi Dokter beberapa kali. Mungkin ada sesuatu yang penting,” ujar Rosita, salah seorang perawat yang berada di ruangan bedah itu.Ia mengerling dan memberikan lirikan menggoda sembari memberikan sebuah telepon genggam kepada dokter bedah muda yang masih mengenakan seragam scrub berwarna hijau muda itu.“Terima kasih, Sita,” ucap Ardyan sembari memberikan senyuman khas menawannya.Tidak ayal perawat-perawat muda yang ada di ruangan itu, melirik padanya dengan hati yang berdebar, berharap mendapat senyuman semanis itu dari sang dokter.Selain muda dan tampa
Ardyan menatap Bastian, menunggu jawaban darinya.Bastian menimbang apakah sekarang waktu yang tepat?Ia merubah posisi duduknya, menyandarkan punggungnya di sofa sembari menatap Ardyan."Bas, kalau kamu ingin aku membantumu, beri aku informasi," ujar Ardyan. Ia tidak memaksa Bastian, namun ia perlu mengetahui identitas pasien itu agar ia bisa membantunya."Dia ibunya Kanaya," jawab Bastian sambil menatap temannya itu.Ardyan bersumpah, ia seperti mendengar suara Bastian menahan gejolak emosi saat menyebutkan nama seorang perempuan.Apakah Kanaya wanita itu? Wanita lain yang ia lihat bersama Bastian di Hotel Royal tempo hari? Ardyan selalu penasaran, ingin mengetahui siapa sosok perempuan itu."Dan siapa Kanaya?" tanya Ardyan, berusaha menahan diri untuk tidak terlihat terlalu antusias bertanya.Diam-diam ia melirik jari manis Bastian. Dan benar dugaannya, temannya itu tidak mengenakan cincin pernikahannya. Itu artinya, Bastian baru saja meluangkan waktu bersama perempuan itu."Apa d
Kanaya berdiri di lobi rumah sakit. Matanya menatap ke atas, ke arah layar televisi yang ada di salah satu dinding lobi itu.“Dokter Nathan Pradipta, Dokter bedah toraks kardiovaskular, mendarat di bandara International Emerald City pagi ini bersama rombongannya.”Di layar televisi tampak dokter senior berusia 47 tahun itu turun dari sebuah pesawat jet pribadi, berjalan diantara beberapa orang rombongan timnya yang berjumlah delapan orang. Beberapa orang petugas keamanan berjalan di sisi mereka, mengamankan jalan yang akan mereka lalui. “Kedatangan Dokter Nathan beserta tim adalah untuk menghadiri Konferensi Dokter Bedah Toraks Kardiovaskular Internasional yang sedianya diadakan di Emerald City Convention Centre untuk tiga hari ke depan…”Kanaya mendengarkan apa yang dikatakan oleh pembawa berita itu. Kedua matanya tidak lepas menatap layar televisi hingga berita itu berakhir.Tiga hari. Ini kesempatan Kanaya untuk bisa bertemu dengan dokter itu dan memintanya mengecek keadaan ibunya
Bastian berdiri di depan jendela kaca ruangan ICU. Ia menatap tepat pada sosok wanita berparas mirip Kanaya. Hanya saja wanita itu tampak lemah tak berdaya dan kehilangan cahaya hidupnya.Baru kali pertama Bastian melihat Ayunda. Sayangnya, pertemuan pertama itu sangatlah tidak ideal. Ia justru melihat sosoknya saat ‘ibu mertuanya’ itu tengah berjuang bertahan untuk hidup.Berkelebat raut wajah sedih Kanaya saat ia membicarakan ibunya, dan timbul rasa sesal di hati Bastian.Kenapa ia tidak melakukan sesuatu sejak dulu? Kenapa ia tidak mempedulikan keadaan wanita itu? Padahal sejak pertama kali ia mengetahui keberadaan seorang perempuan bernama Kanaya melalui selembar kertas biodata, ia mengetahui gadis itu sedang berjuang mencari pengobatan ibunya. Dan Bastian tidak pernah mencari tahu bagaimana keadaan ibunya! Bastian menarik nafas dalam menyadari betapa egoisnya dirinya. Saat sedang menyesali diri, telepon genggamnya berbunyi dan ia mengangkatnya.“Bas, jadi pergi sore ini?” tanya
Bastian mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Dia sedang mengandung anakku dan aku tidak ingin kondisi kesehatan ibunya berpengaruh pada kesehatannya.”“Benarkah? Hanya itu saja?” tanya Ardyan sambil terkekeh.“Alasan apa lagi yang aku perlukan? Bukankah itu sudah jelas?” sergah Bastian dengan cepat sambil memberi Ardyan tatapan kesal. Ardyan tertawa melihat respon Bastian.“Tidak ada— I love you Kanaya! I’ll do anything for you?” ledek Ardyan dengan suara yang dibuat heboh. Ia lalu tertawa dan baru berhenti saat Bastian memelototinya. Tidak lama mereka sampai di halaman Hotel Pacific Star. Mereka tidak berhenti di lobi hotel, melainkan turun di basement lalu naik lift ke lantai 25. Dan setelah menunggu selama beberapa menit, mereka akhirnya diperbolehkan bertemu dengan Dokter Nathan di ruang tamu hotelnya.“Selamat sore Prof,” sapa Ardyan saat mereka akhirnya bertemu sosok Dokter Nathan.“Ardyan, lama tidak bertemu! Bagaimana rasanya menjadi direktur rumah sakit besar?” ucap Na
“Riky, apa Anda tidak bisa membantu saja bertemu dengan Dokter Nathan? Sebentar saja. Saya hanya perlu waktu sebentar untuk bertemu dan berbicara dengannya.” Rizal membujuk Riky, salah satu dari seorang anggota tim medis Dokter kondang itu.“Maaf Pak, jadwal temu Dokter Nathan sudah penuh hari ini. Kalau bapak mau, mungkin saya bisa memasukkan Bapak di hari ketiga. Hanya itu yang bisa saya lakukan,” terang Riky sambil memberi gestur meminta maaf.Rizal menarik nafas dengan dalam, berusaha meredakan kekesalannya. Ia sudah berusaha mendekati Riky sejak tadi dan pada akhirnya ia tidak bisa bertemu dengan Dokter Nathan hari ini.Mau tidak mau ia harus menerima, dan menunggu dua hari lagi hingga ia bisa bertemu dengan Dokter itu.Di lobi hotel, Rizal menghubungi Kanaya untuk memberi tahu hal itu.“Maaf Kanaya, aku tidak bisa menemuinya hari ini. Tiba-tiba saja Dokter Nathan mendapat panggilan darurat sehingga tidak bisa menemui kami,” ucap Rizal beralasan.Di ujung sambungan telepon, Kana
“Dokter Alex, Bapak Ezra masih saja menanyakan Anda. Apa yang harus saya lakukan?” Sisca, sekertaris Alex menghubunginya siang itu. Alex yang sejak tadi mendapat laporan dari sejumlah stafnya mengenai kedatangan Ezra ke rumah sakit, tidak berani kembali ke kantornya.“Katakan saja jika saya tidak kembali ke rumah sakit hari ini!” seru Alex dengan kesal sekaligus merasa gelisah. Sekertarisnya itu sudah benerapa kali menghubunginya, dan setiap kali membuatnya bertambah gelisah saja.“Jabgan hubungi aku lagi, Sisca! Apa kamu tidak tahu aku sedang bekerja?” bentaknya sebelum mematikan panggilan telepon itu dengan sepihak.“Om, apa dia masih ada di rumah sakit?” Tyo yang berdiri di belakangnya dengan gelisah, bertanya.“Kamu pikir untuk apa Sisca menghubungiku sejak tadi?” Bukannya menjawab, Alex malah mendamprat Tyo.“Tuh kan benar kataku, Om! Dia yang kulihat datang menengok Ibu Ayunda kemarin sore! Aku tidak salah lagi. Dia pasti Bastian Aryo Dwipangga!” seru Tyo dengan panik.Kemari
Kanaya berdiri di depan jendela ruangan ICU ibunya. Ia belum lama datang, baru saja menggantikan Laila menunggui Ayunda. Kedua mata sayu Kanaya menatap dengan sedih ke arah sosok Ayunda yang masih terbaring dengan mata terpejam. Sampai hari ini, ibunya itu belum juga sadarkan diri.Ibu, bangunlah. Jangan tinggalkan Kanaya sendiri, ucap Kanaya di dalam hati.Merasa sedih sendiri, pandangan Kanaya turun ke bawah ke arah perutnya, bertepatan dengan bulir-bulir air mata mengalir di pipinya. Ia mengelus dengan lembut perutnya, berusaha menenangkan bayi dalam kandungannya yang bergerak, merespon kesedihannya. Kanaya tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak bisa berpura-pura bahagia saat hatinya sedang merasakan sedih. Ah, seandainya saja bayi dalam kandungannya tidak ikut bersedih merasakan suasana hatinya, mungkin Kanaya tidak harus merasa bersalah karenanya. Tiba-tiba saja sepasang tangan dari arah belakang, menangkup kedua tangannya yang ada di atas perutnya.Kanaya hafal betul siapa pe
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m