Terdengar kekehan pelan dari ujung sambungan telepon. “Tidak apa Kanaya. Tidak perlu sungkan denganku. Ada apa?” tanya Rizal dengan ramah. “Mm, aku ingin bertanya sesuatu. Apa kamu sudah bicara dengan Om-mu perihal Dokter Nathan?” Kanaya tidak bisa menutupi kegundahan hatinya, sehingga ia langsung bertanya.“Mengenai itu, aku sudah meminta Om-ku untuk menyampaikan permintaanmu kepada Dokter Nathan. Tetapi dia belum bisa memberikan jawaban saat ini,” jawab Rizal terdengar ada sedikit rasa sesal dari nada suaranya.Kanaya menarik nafas dengan tersenggal, berat sekali dirasanya. Rupanya ia belum mendapat kabar baik sesuai harapannya.“Bisakah kamu menanyakannya lagi?” tanya Kanaya masih berharap.“Tentu. Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” Rizal bertanya, kali ini terdengar khawatir. “Ibuku— mendapat serangan jantung,” jawab Kanaya sambil berusaha menahan gejolak emosi di dadanya.Ia yang berusaha untuk tegar, tiba-tiba sulit sekali menahan airmata agar tidak menetes di pipinya saat seseor
“Ibumu berhasil melalui masa kritis, Kanaya. Organ vitalnya stabil dan mulai berfungsi dengan baik.” “Syukurlah, Dokter…” Kanaya merasa lega mendengar ucapan Dokter Tyo. Setelah menunggui ibunya semalaman di rumah sakit, Kanaya mendapatkan hasil pemeriksaan kondisi ibunya. “Akan tetapi, sampai saat ini ibumu belum sadarkan diri. Untuk itu kami masih perlu mengobservasi Bu Ayunda sampai beberapa hari ke depan.” Dokter Tyo kembali berkata. “Kenapa ibu bisa belum sadar? Apakah hal ini biasa terjadi pasca operasi?” Kanaya penasaran, khawatir dan ingin tahu lebih lanjut apa yang tengah dialami ibunya. “Melihat dari gejalanya, kami menduga ibumu mengalami hipoksia atau biasa disebut gagal nafas saat serangan terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh otak. Itu sebabnya ibumu ditemukan tidak sadarkan diri,” terang Dokter Tyo. “Kira-kira berapa lama lagi ibu bisa sadar Dok? Maksud saya pada kasus seperti ini, berapa lama biasanya pasien bisa tersada
Bastian duduk di meja kerjanya dengan bertopang kaki. Salah satu tangannya memegang dagunya, dan ia tampak berpikir. Ezra baru saja memberitahu jika mereka mendapat jalan buntu dalam mencari tahu identitas Rizal. Sesuai perkiraan Bastian, mereka tidak mendapatkan hasil dari nomor polisi mobil SUV hitam yang dikendarai Rizal. Nomor itu diketahui adalah nomor palsu yang sudah tidak lagi terpakai. Dan setelah menelusuri kamera lalu lintas, mobil itu diketahui memasuki area pergudangan. Namun saat Ezra melacaknya ke sana, mobil itu seakan menghilang. Mereka tidak bisa menemukan jejaknya ataupun rekaman CCTV di area itu.“Kamu sudah tugaskan orang untuk mengawasi Sunset Summit?” tanya Bastian. Nada suaranya tenang saja. Ia tidak tampak emosi atau kesal setelah mendapat laporan dari Ezra.Hal ini karena ia sudah bisa menduga hasilnya. “Sudah Bos. Jay sudah mengawasi rumah itu sejak tadi pagi. Dan dia baru melaporkan bahwa Ibu dan Sifa pulang satu jam yang lalu,” ujar Ezra melaporkan.“P
“Aduh!” Kanaya merasakan sakit di lututnya saat ia terjatuh. Rumput hijau yang ada dibawahnya itu, meskipun tidak terasa keras, namun tetap membuat goresan di kulit yang menutupi tempurung kakinya. Rasa perih menyelekit dirasakannya. Kanaya beranjak berdiri dan melihat ke sekelilingnya. Sebuah taman dengan bunga-bunga kembang sepatu berwarna-warni yang tampak familiar baginya. Kanaya tahu taman itu. Lebih jauh matanya memandang, ia melihat sebuah rumah kecil tidak jauh dari tempat ia berdiri. Kanaya juga mengenali rumah itu. Rumah itu adalah rumah yang ia tinggali bersama kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Di depan rumah itu ada sebuah ayunan yang sering dimainkannya. Dan setiap kali Ayahnya pulang dari bekerja, mereka akan bermain di sana. Saat itu ia belum berusia 10 tahun dan Ayahnya masih hidup. Tunggu… apakah ia kembali ke waktu saat ia kecil? Kanaya melihat ke bawah, dan kakinyanya lah yang pertama kali menarik perhatiannnya. Saat itu kedua kakinya mengenakan s
Kanaya masih merasa kesal dan enggan bertemu dengan Bastian. Ia masih ingat apa yang Bastian katakan nengenai hubungan mereka beberapa waktu yang lalu. Bahwa hubungan mereka tidak lebih dari hubungan nafsu dan gairah yang membara di atas ranjang. Kanaya pikir, ketidakhadiran Bastian beberapa hari terakhir ini karena dia telah menyetujui keinginannya untuk memutuskan hubungan mereka. Akan tetapi, diluar dugaan, saat ini Bastian datang menemuinya. Kanaya beranjak duduk dan bergeser mundur hingga punggungnya bersandar di kepala ranjang. “Pak Bas sedang apa di sini?” tanyanya dengan tatapan setengah menunduk dan tanpa tersenyum. Bastian mengerlingkan matanya dan terkekeh pelan. “Masih marah?” ia malah menggoda Kanaya. Kanaya menghela nafas dengan cepat. Dia pikir aku bercanda dengan semua yang aku katakan saat itu? Pikir Kanaya dengan kesal. “Naya serius. Pak Bas mau apa ke sini?” tanya Kanaya sekali lagi. Bastian bergeser mendekati Kanaya. “Menurutmu?” tanya Bastian sambil menata
“Aku di sini, Naya. Kamu bisa cerita ada apa,” ucap Bastian sambil memeluk Kanaya.Kanaya menangis tersedu-sedu di dada Bastian. Emosi akan kesedihan dan ketakutan kehilangan ibunya yang telah di tekannya selama ini seakan meluap, tumpah ruah kala Bastian menanyakan apa yang terjadi padanya.Bahu Kanaya bergerak naik dan turun sejalan dengan nafasnya tersenggal-senggal. Bastian membiarkan Kanaya menangis di dadanya, meluapkan apa yang gadis itu rasakan.Bastian tidak yakin apa yang membuat Kanaya sampai menangis seperti itu. Namun melihat dari luapan emosinya, sepertinya istri mudanya itu tengah mengalami hari yang sangat berat.Apa dan siapa penyebabnya, Bastian tidak tahu. Tetapi jika ia mengetahui siapa orang yang telah membuat Kanaya bersedih seperti ini, ia tidak akan membiarkan orang itu lepas begitu saja!Perlahan Bastian mengarahkan Kanaya kembali duduk ke sofa di ruang keluarga bersamanya.Di sofa itu, ia kembali memeluk Kanaya dan mengelus punggungnya dengan lembut. Dibiark
“Direktur Alex, bisa saya bicara dengan Anda?”Alex baru saja menutup pintu kantornya saat seseorang berbicara dengannya. Ia berdecak kesal. Siapa yang berani mengganggunya? Saat itu sudah waktunya untuk pulang, tetapi masih saja ada yang datang ingin berbicara dengannya. Apa dia tidak tahu kapan jam kantornya berakhir?“Besok saja. Sekarang saya harus pergi menemui dewan direk—” Alex tidak meneruskan ucapannya saat ia berbalik badan dan melihat siapa orang yang berbicara dengannya. Seketika itu juga ia tercengang.“Pak Ezra?! A-ada keperluan apa Bapak datang ke sini? Wah, maaf, saya tidak tahu kalau Bapak yang datang,” ucap Alex cepat-cepat dengan bersidekap dan merubah nada suaranya menjadi sangat ramah.“Pak Alex mau bertemu dengan Dewan Direksi? Hm… kenapa saya tidak tahu jika ada rapat Dewan Direksi sore ini?” gumam Ezra sambil melihat jam tangannya.Ucapan Ezra sangat beralasan. Sebab jika Dewan Direksi rumah sakit itu mengadakan rapat, Bastian sebagai pemegang saham terbesar r
Bastian yang sedang mengaduk sesuatu di dalam panci refleks menoleh saat mendengar suara Kanaya.Kedua pupil mata Bastian melebar saat ia melihat sosok gadis itu.Si cantik yang sedang mengandung anaknya itu berhenti termangu di depan ruang makan.Bastian terkekeh pelan melihat reaksi Kanaya,dan ia pun berjalan mendekatinya.“Jangan suka bengong! Nanti ada lalat yang masuk,” ucap Bastian sambil menjentik bibir atas Kanaya dengan ujung jarinya.Kanaya terbangun dari ketertegunannya dan segera mengalihkan pandangannya dari Bastian dengan canggung.“Bapak kenapa masih di sini?” tanya Kanaya sambil lanjut berjalan dan berhenti di dekat dispenser air. Ia lalu mengambil segelas air putih dan meminumnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, antara antusias dan gelisah.“Duduk lah Naya, aku memasak bubur untukmu. Kamu pasti lapar.” Alih-alih menjawab pertanyaan Kanaya, Bastian justru menggiring istri mudanya itu untuk duduk di kursi meja makan.Ia lalu kembali ke dapur untuk meracik bubur yan
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un