Dalam ruangan serba putih, disinilah Anisa dan Satria berada, melihat bagaimana sang ibu yang entah hanya perasaan keduanya saja atau memang begitu adanya. Jika Ratna sedang menatap kedua insan itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.
“Sudah sepuluh tahu ya, pernikahan kalian?”
Satria maupun Anisa mengangguk, dengan ukiran senyuman yang terlontar
“Jadi kapan kalian mau kasih ibu cucu?”
Pertanyaan itu, sukses membuat Anisa bergetar. Hatinya mendadak berdegup kencang, apalagi aura yang dipancarkan sang ibu mertua malah mampu menujukannya ke dalam ruangan yang penuh adrenalin
“Itu bukan pertanyaan yang bisa Satria jawab bu,” suaminya menjawab, dengan bahasa yang lembut seperti biasa, kemudian kepalanya menoleh pada Anisa, lalu bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis. Satria tahu, jika istrinya itu sedang menyimpan begitu banyak ketakutan
“Kenapa?karena itu urusan tuhan? Kalo begitu kenapa kakak kamu yang baru saja menikah 2 bulan, sudah bisa hamil?”
“Takdir orang itu beda-beda. Satria sama Anisa disini juga sudah berusaha, tapi tuhan selalu kasih jalan lain.”
Yang Anisa lakukan hanya menunduk, menghela napasnya dalam-dalam. Memang pada hakikatnya seorang perempuan harus mampu mengandung, dan memberi suaminya sebuah keturunan, tapi sampai sekarang dia belum mampu, jadi wajar jika Anisa merasa tertekan
“Alah, itu alasan kamu aja! Anisa kamu yakin, kamu gak punya kelainan?”
Anisa mendongak, dengan bibir yang bergetar, bahkan air matanya hampir saja tumpah. Jika saja suaminya tidak menjawab membelanya
“Apa maksud ibu? Anisa sehat-sehat aja.”
“Ibu curiga Anisa mandul.”
Kini Satria yang membuang napasnya kasar, Satria tahu jika wanita yang sekarang dihadapannya ini adalah ibunya, yang merawat dan mengandungnya, tapi mendengar wanita itu mengatakan hal yang tidak sepaptutnya dilontarkan kepada wanita yang berada disampingnya, Satria cukup marah.
“Bu, bicara apaan sih!”
“Ya, buktinya sampai sekarang Anisa belum juga hamil.”
“Kamu tuh yang sadar Satria. Kamu ini pemimpin perusahaan bapak, harus punya keturunan. Mau ditaruh mana muka ibu, kalo anaknya ini gak punya keturunan?!”
Kini, air mata yang sempat tadi Anisa tahan mati-matian, tumpah begitu saja, membanjiri pipinya yang mulus dan bersih, perkataan ibunya sangat-sangat menghujam ulu hatinya, sampai-sampai Anisa tidak tahu lagi caranya bernafas dengan benar itu seperti apa
“Kamu juga tahu, wasiat bapakmu apa sebelum meninggal? Tahta yang kamu pengang harus turun sama anak kamu. Gak bisa dikasih sama saudara yang lain! Pikirkan baik-baik tentang itu!”
Beriringan dengan Ratna yang beringsut, dari hadapan Anisa dan Satria. Tangis Anisa begitu saja pecah, dalam ruangan ini. Satria tidak tega melihat wanitanya menangis tersedu-sedu, sumpah demi apapun! Melihat Anisa menangis adalah bencana besar lebih dari apapun.
“Kamu yang tenang dulu,” Satria memeluk istrinya begitu hangat dan erat, seolah berharap dari hangat dan eratnya itu bisa mampu membuat tangis istrinya mereda.
“Jangan terlalu dipikirin,ya. Semua bakal baik-baik aja, kok. Aku yakin,” seiring suara lembut yang mengudara, sentuhan halus pada rambutnya juga terasa. Namun hal itu tidak begitu saja mensudahi tangis Anisa, biarkan saja, air matanya membasahi kemeja Satria, dirinya sudah tidak sanggup menahan semuanya.
***“Dari dulu abang sudah bilang. Buat kamu pernikahan itu bukan Cuma perkara menyatukan dua manusia yang saling cinta, tapi ujung-ujung ke masalah perusahaan juga kan?”Laki-laki yang berada dua tahun lebih tua dari Satria itu bersuara, tepat dibawah sinar matahari yang menyinari balkon rumah ibunya.
Perkataan Fahmi, memang benar adanya. Lalu Satria merasa bersalah, kepada apapun itu. Tapi tidak kepada Anisa, karena memutuskan untuk hidup bersama Anisa bukan kesalahan baginya.
“Ibu aja yang terlalu gegabah, bukan gitu bang? Aku sama Anisa masih sama-sama muda, jalan kita masih panjang.”
Fahmi tersenyum tipis mendengar itu dari adiknya “Sepuluh tahun harusnya cukup, Satria.”
Satria menghela napasnya berat, memang Satria juga tidak sedih? Jelas dia yang lebih sedih dan khawatir daripada semuanya disini. Tapi bagi Satria, daripada memastikan apa yang bukan tugasnya, hal itu malah akan menyakitinya secara perlahan, jadi Satria memilih untuk bersikap tidak terlalu memikirkan, yang terpenting dia bisa bahagia bersama Anisa
“Kamu ini bibit penerus, harusnya gak melulu mikirin soal bahagia kamu aja sama Anisa. Hidup kamu itu sejauh manapun pasti selalu akan terikat dengan perusahaan.”
“Aku tahu,bang.”
“Kalo tahu, kenapa kamu gak berusaha?”
“Jadi abang juga sama kaya ibu?”
“Jelas dong. Kamu juga pasti kalo diposisi abang, ya bakal begini.”
Satria hanya membuang napasnya, merasa jika sekarang disini tidak ada satupun lagi yang bisa ia ajak berbicara. Semuanya pasti akan menyangkal. Mereka semua terlalu memikirkan masa depan perusahaan, padahal ada yang lebih penting dari itu.
“Sekarang periksa dulu aja, siapa tahu Anisa betulan yang dikatakan ibu.”
“Bang. Gak mungkin. Ini cuman sekedar waktu.”
“Waktu, waktu,waktu. Itu aja yang kamu pikirin. Emang butuh berapa lama lagi, mau sampe perusahaan keluarga bangkrut?”
Satria diam, mendadak lidahnya kelu. Lantas apa yang harus ia perbuat lagi. semua keluarganya mendesak untuk dia segera mempunyai keturunan, Satria mau saja berusaha, tapi Satria tidak yakin akan berhasil dengan waktu yang cepat.
“Kalo Anisa beneran mandul, kamu harus bertindak, untuk nikah lagi.”
“Apa?!”
Rentetan kata dari kakanya bagaikan peluru yang menghujam hatinya, bedanya ini malah berefek emosi yang menjalar, bagaimana bisa Fahmi berbicara enteng seperti itu
“Sampe kapanpun, saya gak akan pernah menikah lagi. istri saya cukup Anisa!”
Fahmi mendengus, dia tahu jika Satria sudah menggunakan bahasa saya, itu artinya dia sedang marah.
***Dalam ruangan yang remang akan cahaya, Anisa meratapi kesedihannya. Ternyata hal yang ditakutinya selama ini terjadi begitu saja. Tanpa ia duga akan mengancurkannya perlahan-lahan.Pintu kamarnya terbuka, menampakan Satria dengan wajah sedihnya. Sejujurnya Anisa enggan seperti ini, dia tahu ini akan berakibat juga kepada suaminya
“Kamu masih mikirin, kata ibu?”
Anisa menghapus jejak air matanya, tubuhnya yang semula diam, kini sedikit bergerak seiring tubuh Satria mendarat dikasur kamarnya.
“Gimana aku gak mikirin,mas. Jelas itu masalah yang penting banget.”
“Dengerin aku,” Satria membawa sang istri untuk menatap matanya, setelah kedua manik mata Anisa beradu dengan manik miliknya, Satria mengulum senyum. Sampai kapan pun Satria akan selalu tersenyum menenangkan seperti itu, Anisa tahu, itu bertujuan untuk membuatnya merasa lega
“Mereka semua Cuman terburu-buru, padahal waktu masih panjang. Kita masih bisa terus berusaha dan berdoa.”
“Gimana kalo bener apa yang dikatakan ibu, kamu mau apa,mas?”
Untuk saat ini, Satria meluruhkan senyumannya. Dari situ jelas, jika Satria sudah tidak bisa merasa baik-baik saja
“Omongan manusia itu gak ada yang benar kalo menyangkut paut tentang takdir. Kamu tahukan? Ini bukan tugas aku atau kamu, tapi tugas tuhan, mungkin tuhan mau kita bersabar lebih banyak lagi, sampai waktunya tiba tuhan percaya, kalo kita sama-sama sudah bisa menjaga titipannya.”
“Aku takut, kalo pada akhirnya ibu kamu, abang kamu. Akan nyuruh kamu nikah lagi, cuman itu yang aku pikirin,mas.”
“Syuutt, jangan bilang seperti itu,” kini Satria membawa terkasihnya ke dalam muara cintanya. Mengatakan kalimat, seolah perkataan Anisa tidak mungkin akan terjadi, meski Satria sendiri sama mempunyai pemikiran seperti itu, apalagi dia sudah mendengar langsung kalimat laknat itu dari abangnya tadi siang.
“Kamu tahu sendiri, kalo aku sangat mencintai kamu. Aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja. Aku gak peduli sama semuanya, karena yang aku pengen adalah kamu. Kamu adalah masa depanku, sampai kapanpun akan selalu seperti itu.”
Sesudah suara Satria mereda, Anisa masih saja diam dipelukannya, Satria tahu, jika Anisa sedang benar-benar rapuh, jadi yang harus dia lakukan adalah, meyakinkan kembali istrinya untuk tidak memikirkan yang macam-macam
“Kamu dengerkan?”
Anisa mengangguk, Satria kini bisa tersenyum lagi. menciumi pucuk kepala Anisa dengan lembut.
NEXT
Pagi sekali, sekitar pukul enam. Dari dalam kamarnya Anisa sudah tidak lagi melihat Satria yang tidur terlelap disampingnya. Kemudian setelah mencuci muka dan mengosok gigi, Anisa beringsut turun dari lantai dua. Dari atas tangga, Anisa bisa mendengar suara bising dari arah dapur Begitu dia melongok kesana, bibirnya terukir sempurna, hanya karena sosok suaminya yang terlihat sedang berkutik dengan alat dapur. Melihat Satria yang sibuk di depan kompor, selalu membuat Anisa terpana. Laki-laki itu selain bisa menyayanginya bisa juga memanjakannya melalui masakan. Pernah waktu mereka belum menikah Satria mengatakan seperti ini “Gak masalah kok, kalo nanti istri aku gak bisa masak, karena aku yang akan masakin dia setiap pagi.” Tapi kenyataannya malah Satria ditakdirkan untuk mempunyai istri yang handal dalam urusan memasak. Tapi hal itu tidak selalu membuat Satria bermalas-malasan, tetap saja laki-laki itu akan mengambil alih tugas Anisa untuk meny
Satria tidak pernah menduga, jika pergulatannya dengan setumpuk berkas akan ditemani sang ibu juga, yang tiba-tiba menghampirinya ke kantor. Satria bukan tidak senang, hanya saja waktunya yang kurang tepat. Apalagi jika mengingat kejadian kemarin “Ibu ganggu kamu?” Satria menggeleng, meski dalam decap hatinya berkata iya. Tapi siapa yang berani mengatakan hal yang semacam itu? “Syukur deh. Ibu sengaja datang ke sini. Mau ada yang dibicarakan.” Satria tahu, jika ibunya sudah menyandanginya langsung, itu artinya sang ibu hendak akan berbicara sesuatu hal yang sangat penting “Satria Wiauthama. Kamu itu laki-laki berjiwa besar, lihat saja perusahaan bapak yang kamu bangun, semakin maju. Ibu bangga sama kamu. Tapi ingat nak, ini semua harus berakhir pada keturunanmu.” Satria menghela napasnya, sudah bisa dipastikan sejak tadi jika ibunya pasti akan berbicara mengenai hal ini juga “Satria tahu. Satria juga lagi berusaha bu.”
Entah mimpi apa semalam, hari ini Satria di datangi lagi oleh ibunya. Yang lebih parah, kini wanita itu membawa seseorang. Yang Satria tidak mengenalinya. Perempuan itu hanya tersenyum manis di samping Ratna, sesekali melirik ke arah Satria dengan pandangan yang penuh harap, jika boleh jujur Satria benci tatapan perempuan itu“Kenalkan ini Nela, anaknya teman ibu,” Ratna membuka suara, yang membuat perempuan di sebelahnya unjuk keberadaan dengan mengulurkan tangannya kepada Satria.Satria geming, menatap uluran tangan itu sampai akhirnya dia membalasnya, sebab tidak ada pilihan lain“Nela,” perempuan itu lebih dulu menyebutkan namanyaBarulah disusul oleh Satria “Satria,” setelah itu Satria buru-buru melepaskan tautan tangannya“Jadi maksud ibu apa, bawa Nela kemari?”Hawa-hawanya sudah bisa dihirup tidak enak, Satria bisa bertaruh jika ibunya ini bermaksud untuk mendekatkan dirinya dengan wani
Sepasang kaki jenjang, dibalut dengan sepasang hels yang terdengar bergemlatuk dengan marmer. Nela Amanda, wanita karir yang sudah hampir 12 tahun bekerja sebagai sekertaris perusahaan besar itu, memutuskan untuk berhenti bekerja disana.seperti yang kalian ketahui, jika sekarang ada mimpi yang harus Nela wujudkan. Yaitu menjadi istri kedua bagi seorang Satria Wiauthama.Nela sendiri sudah mengenal Satria, sejak masa perkuliahan, kebetulan Satria menjadi kakak tingkatnya. Sebenarnya Nela sendiri juga telah menaruh hati kepda Satria, namun karena Satria memilih menikah dengan Anisa. Rasa cinta itu harus terpaksa ia kandaskanDan sekarang, seperti sebuah undian berhadiah. Nela mendapati permintaan langsung dari pihak keluarga Satria, untuk memintanya menjadi istri kedua. Nela mana mau menolak.Tapi ternyata untuk menjadi istri kedua bagi seorang Satria tidak mudah, karena ada penghalang besar untuknya. Nela pikir penghalang itu harus ia mu
Satria menghela napasnya saat begitu melihat Anisa sedang bergulat dengan alat dapurnya. Padahal Satria sudah mewanti-wanti agar Anisa tidak perlu menyiapkannya sarapan. Itu bisa dikerjakan Yati atau Satria bisa sarapan nanti dikantorTubuh jenjangnya menghampiri sang istri, sebentar Satria mengelus pucuk kepala Anisa. Membuat wanita itu menoleh“Mas, apaan sih.”“Aku kan udah bilang, gak perlu siapin aku sarapan.”“Itung-itung badanku gerak. Biar sekalian olahraga,kan?”Apa yang dikatakan Anisa ada benarnya. Jadi Satria tidak bisa untuk menggeleng. Untuk itu dia lebih memilih duduk dikursi, menunggu Anisa selesai memasak“Nanti aku ke kantor kamu lagi ya.”“Gak usah, kamu masih lemes kan?”Anisa menggeleng “Nggak.”“Aku gak bisa nolak kamu,Nis,” kata Satria pasrah. Karena pada dasarnya untuk mengatakan tidak kepada Anisa hatinya terasa b
Anisa sedang membantu susi –asisten rumah tangga mertuanya itu menyiapkan beberapa hidangan untuk menjamu para tamu teman-teman arisan Ratna.Ini pertama kalinya, Ratna menyuruh Anisa untuk membantu Susi, biasanya Ratna akan membeli beberapa hidangan itu. Tapi katanya khusus hari ini Ratna ingin menjamu teman-temannya, dengan kue buatan AnisaAnisa sendiri tidak masalah, justru dia senang. Sebab merasa kehadirannya sangat berguna.“Bu, kuenya sudah siap,” kata SusiTadi Anisa sempat meminta Susi untuk meletakan brownis ke dalam piring hias, kini tugas Susi sudah selesai, dia melakukannya dengan baik“Kamu tolong tungguin panggangan ini ya, kayanya sebentar lagi mateng.”Susi mengangguk. Lalu setelah itu Anisa beringsut membawa brownis itu ke ruang tamu. Dimana mertuanya sedang melakukan perkumpulan arisan.Seketika semuanya menolehkan pandangannya saat Anisa sampai disana dan meletakan piring ke atas meja
Tiga puluh menit berlalu. Satria dan Anisa masih saja betah duduk berdua saling berpelukan, tepat di balkon rumahnya, seraya menatap langit malam yang dihiasi bintang.Sama seperti cinta keduanya, selalu tampak berseri layaknya bintang.meski ada segumpal warna hitam disekitarannya. Kesempurnaan cinta itu akan selalu utuh“Kamu pasti cape,kan bantuin ibu?”“Heem,” jawab Anisa dengan dehamanSatria tersenyum. Hanya untuk merasakan hatinya terenyuh.“Buat kue apa aja tadi?”“Cuman buat brownis aja.”“Masa?” Satria tampak tidak percaya“Kok kamu kaya cape banget gini,” sekali lagi Satria menatap lekat wajah Anisa, barang kali dirinya hanya salah lihat saja. Tapi sayangnya, apa yang dilihatnya benar begituAnisa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, tentang perilaku ibu yang kasar. Tadi Ratna sempat menyuruh Anisa untuk membereskan semuanya. Padahal ada
Menyambangi kantor suaminya, adalah rutinitas hariannya. Anisa selalu membuat Satria merasa nyaman, mungkin karena itulah Satria selalu memperlakukan Anisa juga dengan baik.Kakinya melangkah memasuki lift. Orang-orang yang berada disekitarnya lantas menyapa dengan sopan.Anisa selalu berpkir apakah kehidupan mereka selalu enak. Tidak ada tuntutan apapun seperti dirinya. Tapi mana mungkin, setiap manuisa punya masalahnya masing-masing. Terkadang Anisa merasa menjadi manusia paling sedih di dunia. Ya, itu hanya prasangka dirinya saja.Meninggalkan pemikiran itu, kini Anisa melangkah menuju ruangan suaminya. Dan sudah bisa ditebak oleh kepala, jika kehadirannya pasti akan di sambut oleh Nela.Wanita itu tersenyum, kemudian bangkit dari kursinya. Seperti kemarin Nela selalu berprilaku sombong dimata Anisa.“Apa kamu sudah buat janji dengan atasan saya?” tanya Nela disengajaAnisa mendengus, Nela benar-benar wanita tidak tahu diri