Sepasang kaki jenjang, dibalut dengan sepasang hels yang terdengar bergemlatuk dengan marmer. Nela Amanda, wanita karir yang sudah hampir 12 tahun bekerja sebagai sekertaris perusahaan besar itu, memutuskan untuk berhenti bekerja disana.
seperti yang kalian ketahui, jika sekarang ada mimpi yang harus Nela wujudkan. Yaitu menjadi istri kedua bagi seorang Satria Wiauthama.
Nela sendiri sudah mengenal Satria, sejak masa perkuliahan, kebetulan Satria menjadi kakak tingkatnya. Sebenarnya Nela sendiri juga telah menaruh hati kepda Satria, namun karena Satria memilih menikah dengan Anisa. Rasa cinta itu harus terpaksa ia kandaskan
Dan sekarang, seperti sebuah undian berhadiah. Nela mendapati permintaan langsung dari pihak keluarga Satria, untuk memintanya menjadi istri kedua. Nela mana mau menolak.
Tapi ternyata untuk menjadi istri kedua bagi seorang Satria tidak mudah, karena ada penghalang besar untuknya. Nela pikir penghalang itu harus ia musnahkan terlebih dahulu.
Langkahnya terhenti, saat tepat berada di depan pintu rumah mewah. Hanya dalam sekali ketuk pintu itu terbuka yang menampilkan langsung sosok yang diincarnya.
"Maaf, ada urusan apa datang kemari?"
Wanita yang masih menggunakan apron itu bertanya. Matanya menelisik Nela dari bawah sampai ujung kepala. Dan saat itu perasaan Anisa mulai tidak enak.
"Apa nyonya Anisa sedang sibuk? saya berniat menemui anda datang kemari," sahut Nela dengan congak sombongnya
"Nggak. Silahkan masuk," Anisa menyuruhnya untuk duduk disofa ruang tamu
setelah Nela duduk, dia pun langsung menghujami berbagai pertanyaan untuk Nela
"Ada perlu apa ya,mbak?"
"Sebelumnya kamu tau, siapa saya?"
Anisa menggeleng
"Perkenalkan, saya Nela calon istri keduanya Satria."
Dalam sekejap mata, Anisa mampu merasakan jika hatinya meluluh lantah tidak berdaya. Apa katanya tadi, calon istri kedua Satria? bukankah suaminya sendiri enggan untuk menikah lagi.
"Maaf. Suami saya tidak ada rencana untuk menikah lagi. Jadi silahkan kamu keluar dari rumah saya," Anisa tidak ingin amarahnya mencuat. Sudah cukup baginya melihat Nela dalam waktu satu detik saja
Nela tertawa, yang malah membuat Anisa rasanya lebih kesal lagi
"Kata siapa? Bagaimana pun, Satria pasti akan menikahi saya. Jadi saya minta kamu dan Saya harus akur, karena kita akan menjadi istri dari suami yang sama."
Persetan, dengan apa yang wanita itu katakan. Karena menurut Anisa. Nela hanyalah orang yang tidak tahu diri. Satria sudah keras menolak untuk menikah lagi, tapi lihat kelakuan Nela. Seperti tidak ada malunya
"Oh iya. Kamu tidak bisa mengelak apapun lagi keputusan ini. Karena saya diminta langsung oleh tante Ratna dan bang Fahmi. Jadi, saya harap hubungan kita tetap baik-baik saja ya," dengan segan, Nela menepuk bahu Anisa pelan
Tidak tahu saja, jika Anisa sekarang sedang menaruh benci kepadanya.
"Sampai ketemu lagi, ya," Nela tersenyum, yang menurut Anisa. Senyum itu menjengkelkan sekali
Dan, tanpa diusir Nela beranjak sendiri keluar dari rumahnya. Meninggalkan segala jejak tidak tahu dirinya, dihadapan Anisa.
Setelah benar-benar tubuh Nela lenyap, dari pandangannya. Anisa dengan sisa tubuhnya seketika saja melemas ambruk ke atas sofa. Mengatur nafasnya yang terasa memburu, akibat dari menahan rasa kekesalannya.
"Dasar wanita gila!" umpatnya
lalu kemudian Anisa merasa kepalanya pening "Dia juga bawa ibu sama bang Fahmi," decaknya prustasi
Anisa pikir dirinya tidak memiliki siapapun lagi, yang akan mendukungnya. Jika begitu, Anisa takut jika dirinya akan kalah.
sementara, Anisa sendiri tidak mau Satria menjadi milik orang lain, Anisa hanya menginginkan Satria menjadi miliknya seutuh-utuhnya.
***
"Kamu sudah bertemu dengan Anisa?" tanya Ratna, ditengah meminum tehnya bersama Nela di taman belakang rumahnya.
Anisa mengangguk. Yang langsung dibalas dengan senyuman senang dari Ratna, seolah dia sangat puas dengan apa yang dilakukan oleh Nela
"Terus bagaimana reaksi dia?"
Untuk sesaat Nela, menyimpan kembali cangkir tehnya ke atas meja "Sepertinya dia cukup terkejut. Dan aku yakin, sekarang dia pasti lagi merasa takut karena gak punya siapa-siapa lagi yang mendukungnya."
"Bagus kalo gitu. Sekarang yang paling penting, kamu harus buat Satria meluluhkan hatinya sama kamu."
"Gampang."
"Kamu sudah punya rencana?"
Nela mengangguk, dengan senyuman khasnya yang terlihat licik! persis seperti nenek sihir yang sudah mengalahkan mangsanya
"Aku akan jadi sekretarisnya Satria, aku juga sudah bilang sama bang Fahmi, dan dia setuju. Dia juga akan bantu, supaya aku bisa masuk kerja dikantornya Satria."
Dengan menjadi sekretaris untuk Satria, bukankah nanti akan membawa Nela ke dalam lubang pendekatan dengan Satria.Dan Nela berharap Satria akan bisa jatuh ke dalam lubangnya sampai tidak bisa kembali lagi.
Lagi-lagi Ratna tersenyum puas "Memang ibu gak salah pilih menantu."
Nela tergelak "Tenang saja bu, nanti saya akan berikan apa yang perusahaan butuhkan."
"Ya, ibu percaya. Kamu pasti bisa ngasih keturunan pewaris yang baik."
***
Di dalam ruangannya, yang memiliki arsitektur mewah itu terdapat sosok Satria dengan setumpuk berkas yang mesti dia kerjakan.
Sebagai pemimpin perusahaan, tentu menjadikan Satria menanggung banyak beban. Hari-harinya pasti selalu ada yang membuatnya lelah dan ingin menyerah dalam hidupnya. Tapi, Satria memiliki penawarnya di rumah, yaitu Anisa istrinya.
menikah dengan wanita itu, adalah pilihan yang tepat selama hidupnya. Dan Satria pikir, tidak ada lagi wanita yang mampu mengantikan poisisi Anisa dihidupnya.
Ponselnya berdering, dan Satria sedikit menukik heran, saat mendapati sambungan itu dari asiseten rumah tanggnya --Yati .
Tanpa mengurangi sedikit rasa pengabaian, Satria mengangkat telpon itu dan langsung mendengar suara Yati yang cemas, itu membuat Satria bertanya-tanya dalam hati yang panik juga.
"Ada apa?"
"Pak, ibu pingsan di rumah. Tadi Saya sudah--"
"Saya pulang sekarang."
Gerak cepat, Satria langsung menyambar jasnya dan meninggalkan setumpuk pekerjaannya yang belum rampung. Tidak perduli. Bagaimana pun Anisa lebih penting dari setumpuk berkas itu.
Saat membuka pintu, Satria disuguhkan oleh sekeretarisnya --Monika sepertinya dia akan mengatakan sesuatu hal yang penting kepada Satria.
Tapi keadaan Satria yang terburu-buru membuat Monika terabaikan.
"Tolong kamu, bereskan berkas yang belum saya kerjakan. Saya harus pulang."
"Baik pak. Sebelumnya ada yang mau saya bicarakan."
"Besok saja, saya buru-buru."
Satria berlari, meninggalkan Monika dengan menghela napasnya pasrah. Padahal apa yang akan dikatakannya sangat penting, tapi keliatannya ada yang begitu penting bagi satria ketimbang kabar pemindahan kerjanya ke kantor cabang di Bandung.
Monika juga terkejut, saat mendapati perintah dirinya untuk bekerja di kantor cabang. Monika sih sebenarnya senang-senang saja, sebab Bandung adalah kota asalnya.
***
Dengan tergopoh-gopoh Satria sampai pada rumahnya, menaiki tangga untuk sampai pada kamarnya. Saat membuka pintu, Satria bisa melihat Anisa yang terbaring lemah diatas ranjang
Melihat pemandangan itu, justru membuat Satria putus asa.
"Kenapa, kok bisa pingsan?" Satria bertanya kepada Yati, yang kebetulan ada disisi Anisa
"Tadi ibu sempat nerima tamu. Tapi setelah itu, ibu keliatan banyak pikiran banget. Mungkin ibu pingsan karena banyak pikiran itu,pak," Yati sendiri sudah sangat mengerti, jika kondisi tubuh Anisa memang mudah sakit
"Sudah periksa ke dokter?"
Yati menggeleng "Ibunya gak mau, tadi saya sudah bilang buat panggil dokter aja, tapi ibu minta buat saya telpon bapak buat pulang."
Dari penjelasan Yati, Satria menjadi mengerti jika saat ini yang dibutuhkan Anisa bukanlah obat dokter tapi dirinya.
"Yasudah, makasih."
"Sama-sama pak. Saya permisi dulu," Yati undur diri, karena tugasnya sudah selesai, dia kembali ke dapur untuk bekerja.
Suara pintu yang tertutup terdengar, itu tandanya Yati sudah benar-benar keluar dari kamarnya. Dan, itu juga mengatarnya ke dalam keadaan yang sunyi. Hanya terdengar suara alunan napas Anisa yang menderu tenang
Satria menghela napasnya, menatap sang istri dengan pandangan penuh perhatian. Melihat Anisa terkulai lemas seperti ini, Satria entah kenapa selalu merasa bahwa itu adalah kesalah dirinya.
Saat sedang menatap kedua manik mata Anisa yang terpejam, Satria begitu saja melengkungan senyumannya ketika mendapati Anisa yang membuka matanya.
"Aku ada disini," katanya lembut, yang saat ini mampu membuat Anisa tersenyum ditengah kelemahannya
Anisa bernafas lega, saat mendapati satria yang duduk disampingnya, dengan kemeja putih kerjanya yang masih melekat pada tubuhnya. Dari situ, Anisa bisa tahu, jika Satria baru saja tiba dari kantornya
"Maaf, sebenarnya aku gak mau ganggu kamu kerja, tapi aku butuh kamu.”
kadang ada kalanya Anisa membiarkan dirinya egois, hanya untuk membuat Satria bersamanya, meski Anisa sangat tahu, jika tidak selamanya Satria terus berada disampingnya, karena ada perusahaan yang harus diurusinya.
Tapi anehnya, Satria tidak mempermasalahkannya, Satria malah seakan membiarkan raganya digeggam terus menerus oleh Anisa.
"Kamu lebih penting dari apupun,Nis bagi aku," kata Satria, seraya membawa Anisa ke dalam rengkuhannya.
"Kenapa, ada masalah?"
"Tadi Nela ke rumah, dia bilang kamu dan Nela akan tetap akan menikah."
Dari penjelasan itu, Satria paham, jika kenapa Anisa seperti ini.
"Kamu tahu kan, kalo banyak pikiran kesehatan kamu suka menurun. Jadi jangan buat diri kamu sakit,Nis. Kamu gak perlu khawatir, karena aku akan tetap selalu sama kamu, meski semua orang bilang aku harus nikah lagi."
Dalam hangatnya rengkuhan Satria, Anisa menangis. Seperti memberitahukan bahwa dirinya benar-benar takut
“Tapi mas, Nela bilang dia punya ibu sama bang Fahmi yang mendukung.Aku takut, kalo suatu hari nanti apa yang mereka rencanakan akan tetap terjadi.“
Disini Satria juga sama rapuhnya, jika harus dibandingkan Satrialah yang paling rapuh hatinya. Sebab dia yang paling mencintai Anisa seutuh hatinya
“Aku juga takut,Nis.“
Mendengar lirihan Satria, membuat Anisa semakin tidak yakin akan kekuatan cintanya lagi
“Terus kita harus gimana,Mas?“
Satria menggeleng, sebab dirinya juga tidak tahu lagi apa yang mesti ia perbuat. Ibu dan juga Fahmi sangat kekeh sekali, tidak mungkin jika Satria melawannya sendirian. Bisa jadi hanya akan melukai dirinya sendiri
“Kita harus saling percaya saja ya. Apapun yang terjadi kamu harus percaya sama aku.“
Anisa mengangguk
Meski memiliki ketakutan yang teramat mendalam, untuk saat ini hatinya bisa cukup merasa tenang. Anisa tahu, ini semua karena cinta yang sama-sama dimilikinya
Next---
Satria menghela napasnya saat begitu melihat Anisa sedang bergulat dengan alat dapurnya. Padahal Satria sudah mewanti-wanti agar Anisa tidak perlu menyiapkannya sarapan. Itu bisa dikerjakan Yati atau Satria bisa sarapan nanti dikantorTubuh jenjangnya menghampiri sang istri, sebentar Satria mengelus pucuk kepala Anisa. Membuat wanita itu menoleh“Mas, apaan sih.”“Aku kan udah bilang, gak perlu siapin aku sarapan.”“Itung-itung badanku gerak. Biar sekalian olahraga,kan?”Apa yang dikatakan Anisa ada benarnya. Jadi Satria tidak bisa untuk menggeleng. Untuk itu dia lebih memilih duduk dikursi, menunggu Anisa selesai memasak“Nanti aku ke kantor kamu lagi ya.”“Gak usah, kamu masih lemes kan?”Anisa menggeleng “Nggak.”“Aku gak bisa nolak kamu,Nis,” kata Satria pasrah. Karena pada dasarnya untuk mengatakan tidak kepada Anisa hatinya terasa b
Anisa sedang membantu susi –asisten rumah tangga mertuanya itu menyiapkan beberapa hidangan untuk menjamu para tamu teman-teman arisan Ratna.Ini pertama kalinya, Ratna menyuruh Anisa untuk membantu Susi, biasanya Ratna akan membeli beberapa hidangan itu. Tapi katanya khusus hari ini Ratna ingin menjamu teman-temannya, dengan kue buatan AnisaAnisa sendiri tidak masalah, justru dia senang. Sebab merasa kehadirannya sangat berguna.“Bu, kuenya sudah siap,” kata SusiTadi Anisa sempat meminta Susi untuk meletakan brownis ke dalam piring hias, kini tugas Susi sudah selesai, dia melakukannya dengan baik“Kamu tolong tungguin panggangan ini ya, kayanya sebentar lagi mateng.”Susi mengangguk. Lalu setelah itu Anisa beringsut membawa brownis itu ke ruang tamu. Dimana mertuanya sedang melakukan perkumpulan arisan.Seketika semuanya menolehkan pandangannya saat Anisa sampai disana dan meletakan piring ke atas meja
Tiga puluh menit berlalu. Satria dan Anisa masih saja betah duduk berdua saling berpelukan, tepat di balkon rumahnya, seraya menatap langit malam yang dihiasi bintang.Sama seperti cinta keduanya, selalu tampak berseri layaknya bintang.meski ada segumpal warna hitam disekitarannya. Kesempurnaan cinta itu akan selalu utuh“Kamu pasti cape,kan bantuin ibu?”“Heem,” jawab Anisa dengan dehamanSatria tersenyum. Hanya untuk merasakan hatinya terenyuh.“Buat kue apa aja tadi?”“Cuman buat brownis aja.”“Masa?” Satria tampak tidak percaya“Kok kamu kaya cape banget gini,” sekali lagi Satria menatap lekat wajah Anisa, barang kali dirinya hanya salah lihat saja. Tapi sayangnya, apa yang dilihatnya benar begituAnisa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, tentang perilaku ibu yang kasar. Tadi Ratna sempat menyuruh Anisa untuk membereskan semuanya. Padahal ada
Menyambangi kantor suaminya, adalah rutinitas hariannya. Anisa selalu membuat Satria merasa nyaman, mungkin karena itulah Satria selalu memperlakukan Anisa juga dengan baik.Kakinya melangkah memasuki lift. Orang-orang yang berada disekitarnya lantas menyapa dengan sopan.Anisa selalu berpkir apakah kehidupan mereka selalu enak. Tidak ada tuntutan apapun seperti dirinya. Tapi mana mungkin, setiap manuisa punya masalahnya masing-masing. Terkadang Anisa merasa menjadi manusia paling sedih di dunia. Ya, itu hanya prasangka dirinya saja.Meninggalkan pemikiran itu, kini Anisa melangkah menuju ruangan suaminya. Dan sudah bisa ditebak oleh kepala, jika kehadirannya pasti akan di sambut oleh Nela.Wanita itu tersenyum, kemudian bangkit dari kursinya. Seperti kemarin Nela selalu berprilaku sombong dimata Anisa.“Apa kamu sudah buat janji dengan atasan saya?” tanya Nela disengajaAnisa mendengus, Nela benar-benar wanita tidak tahu diri
Selagi Anisa masih di kamar mandi, Satria berniat untuk menghubungi Monika sekretarisnya yang lama, pasalnya dia pergi tanpa seucap pamit pun kepadanya.Itu membuat Satria merasa kehilangan juga.karena dibanding Nela jelas Monika adalah sekretaris terbaiknyaTanpa menunggu lama, sambungan telponnya terhubung dengan sang empu“Hallo pak? Maaf, tumben hubungi saya. ada hal penting kah?”Mendengar suara Monika dibalik telpon membuat Satria menghembuskan napasnya lega. Sebab sejak kemarin dirinya menelpon wanita itu tapi nomornya tidak kunjung aktif“Kamu keterlaluan. Pergi tanpa pamit sama saya.”Hening beberapa saat, sebelum akhirnya Monika menjawabnya dengan nada yang terdengar sedikit gelagapan “Ah, maaf pak sebelumnya. Saya juga sebenarnya kaget, tiba-tiba dipindahkan untuk bekerja di kantor cabang, pada hari bapak pulang terburu-buru saya sempat menemui bapak di depan pintu. Tadinya saya mau
Mobil sedan berwarna hitam itu terhenti di depan rumah mewah yang memiliki nuansa putih sebagai warna cat temboknya. Keluarlah sosok wanita yang terlihat manis dengan pakaian elegannya. Sebelum beranjak masuk ke dalam rumahnya, Anisa memberi kata terima kasih terlebih dahulu kepada pak Rahmat.Beliau memang sangat berjasa. Setidaknya untuk kehidupannya. Jika tidak ada pak Rahmat, Anisa pasti kelelahan untuk pulang pergi setiap harinya.Saat tibanya di dalam rumah, buru-buru Yati menghampiri Anisa. Sepertinya ada hal yang ingin wanita itu katakan“Bu. Nyonya Ratna ada di sini,” katanya.Yang sukses membuat Anisa terkejutPikirnya, ada apa Ratna datang kemari, apakah akan mengatakan hal-hal buruk yang seperti kemarin.“Dimana ibu sekarang?”Membuang jauh pikiran buruknya itu. Anisa berusaha untuk tetap baik kepada mertuanyaYati menunjuk menggunakan panda
Meski ada Yati yang mengurus semua pekerjaan rumah. Anisa tetap saja andil, seperti dalam urusan menyiapkan makan malam.Biasanya Anisa hanya akan mengambil pekerjaan yang ringan, seperti menyiapkan meja makan dengan segala menu hidangan yang dimasaknya.Jika untuk urusan memasak Yati yang melakukannya. Anisa bukan tidak bisa, hanya saja Yati yang selalu memintanya untuk diam.“Kamu bisa istirahat sama makan malam,Yat. Biar sisanya saya yang kerjain,” kata Anisa. Satu tangan sebelah kanannya mengambil satu mangkuk besar berisi sayur sop wortel kesukaan RatnaTerlihat wanita yang umurnya lebih muda dua tahun dari Anisa itu mengangguk “Baik bu, terima kasih.” Setelah mengucapkan kata terima kasihnya, Yati undur diri seraya membawa satu piring makanan. Biasanya Yati akan makan dikamarnya sambil menonton sinetron kesukaannya.Suara denting karena mangkok dan permukaan meja kaca mengudara, saat Anisa meletakan mangkuk itu. Dalam
Beruntung Nela memiliki teman yang mempunyai usaha restoran, dan menyediakan menu yang Satria inginkan.Sebenarnya Satria juga malas harus meminta ini kepada Nela, Satria tahu itu malah akan membuat Nela menjadi memiliki ruang untuk masuk ke dalam hatinya.Saat Nela sedang menyiapkan makanan, selagi Satria masih ditoilet. Ponsel Satria yang ia letakan di atas meja itu berdering menampilkan nama Istriku. Nela tahu itu adalah AnisaDengan liciknya Nela menggeser nomor itu ke tombol merah. Menolaknya.“Ganggu aja!” gumamnyaKemudian tangannya kembali menata kotak-kotak makanan. Suara derap langkah Satria mengudara, Nela lantas menoleh, tersenyum kemudian.“Makanannya sudah siap pak.”Seraya melipat kemeja panjangnya sampai sikut, Satria duduk melihat deretan makanan yang bahkan lebih dari ekspetasinya“Kamu gak tuangin pelet kan?” Satria agaknya curigaNela terkekeh “Saya gak sampai