Entahlah sudah berapa lama Anisa disini. Dikantin rumah sakit yang beruntungnya sedang sepi. Anisa bisa menikmati suasana dengan tenang. Mungkin ada beberapa suara dentingan sendok dan piring dari beberapa orang. Dan Anisa tidak sama sekali tertarik untuk makan juga sama seperti mereka
Anisa hanya memesan satu gelas satu teh hangat. Dia pikir teh hangat itu bisa meredakan segala jenis rasa sakit hatinya.
Fahmi dan Anya, sejak tadi terus saja berkata yang memojokannya jika jatuhnya ibu sakit itu karena berasal dari permasalahannya yang tidak kunjung hamil
Anisa sendiri merasa sedih, sebab apa yang ia alami bisa berdampak juga bagi orang lain. Anisa tentu saja merasa dirinya tidak berguna sama sekali
Sampai akhirnya, Anisa bisa merasakan sosok Satria duduk di depannya. Dengan kemeja kerjanya yang tampak kusut, dasinya melonggar dari simpulnya. Terlihat jelas jika laki-laki itu sama hancurnya. Atau mungkin lebih
“Kok gak di minum?” tanyany
Pada akhirnya Satria hanya bisa menatap kepergian Anisa, dan meratapi keberadaannya bersama Nela disatu ruangan rawat inap vvip iniIngin hati menjauhi Nela, agar tidak menimbulkan perasaan apapun lagi pada wanitu itu, namun ibunya seakan menjadi penghalang untuknya.Itu membuat Satria mau tidak mau harus menerima. Kini dia duduk di sofa, melihat bagaimana sang ibu sedang disuapi buah jeruk oleh wanita yang sangat ia hindari. Ibunya tersenyum seperti senang dijamu oleh NelaKemudian, Ratna menatap Satria “Kata Nela, kamu izin buat cuti itu benar?”Satria mengangguk “Tadinya besok pagi. Tapi mana rela aku tinggalin ibu dalam kondisi seperti ini.”Ratna tersenyum, hatinya berbunga saat diprioritaskan oleh Satria “Anisa yang minta kamu buat cuti?”Satria menggeleng “Aku sendiri.”“Kemana tujuan liburan kamu?”“Bukan kemana-mana, cuman akan mengunjungi rumah orang tu
Disini Anisa sekarang, dikursi taman rumah sakit yang cukup luas. Ditemani dengan cahaya lampu taman, serta angin malam yang masuk ke dalam pori-pori kulitnya, membuat Anisa merasa dingin, sebab dirinya hanya menggunakan baju yang tidak memiliki lengan yang panjang.“Anisa?”Anisa lantas menoleh, saat bias suara berat menyeruak didekatnya. Matanya melotot, terkejut bukan main saat mendapati siapa orang yang memanggilnya itu“Dimas,” kata AnisaLaki-laki itu tersenyum, duduk disamping Anisa “Kemana aja kamu?”“Aku ada aja kok, cuman keseringan dirumah aja,” kata Anisa menjawab, laki-laki dengan setelan dokter itu disampingnyaDimas adalah temannya semasa kuliah, mereka hanya satu universitas. Dimas dulu masuk jurusan kedokteran sementara Anisa masuk ke pendidikan sekolah dasar“Satria sehat?”Anisa mengangguk, tapi kenapa saat nama itu disebuh hatinya merasakan gertakan
Sebelum masuk, Anisa membuang napasnya. itu berarti dia sedang membuang rasa sakit yang bermenit-menit yang lalu dia rasakan di tempat ini. Persis di tempatnya ia berdiriSetelah itu, Anisa membuka pintu. Merasakan jika udara dingin dan senyap menyergap dalam ruangan mertuanya itu.Tubuhnya yang sudah sepenuhnya masuk ke dalam ruangan itu dibuat terheran, karena ruangan tampak sepi, tidak ada Satria dan Nela. Hanya ada Ratna yang sedang terbaring lelap di atas bangsalnya.Dengan pelan, Anisa berjalan meletakan tasnya di atas sofa. Kemudian dia berjalan hendak mendekat ke arah Ratna. Tidak, Anisa tidak berniat membangunkannya hanya akan melihat keadaan Ratna.Namun, belum sepenuhnya sampai tepat di depan bangsal Ratna. Pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan sosok Anya. Wanita itu tersenyum ke arah Anisa“Nis, kamu udah balik?” tanyanyaAnisa lantas menjawab “Iya, mbak. Tapi kok sepi, mas Satria juga kemana?”
Anisa pikir kedatangan Satria akan membaikan suasana hatinya. Pada kenyataannya, Anisa merasakan rasa sakit lagi. dan lagi Anisa tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain diam.Satria tadi sudah berencana untuk menemani Anisa yang akan menemani ibu bersama mbak Anya. Akan tetapi rencana itu digagalkan oleh RatnaRatna menyuruh Satria untuk pulang, dan beristrirahat yang baik. Sebab Ratna tahu, anaknya itu sedang melakukan proyek besar untuk perusahaannya. Oleh karena itu Satria harus mempersiapkan dirinya. Agar menghasilkan yang terbaik.Satria menolak, dia akan tetap disini bersama Anisa. Itu membuat Ratna kesal“Satria, denger kata ibu. Jangan ngebantah.”“Bu. Aku gak apa-apa disini.”“Nggak. Kamu harus istrirahat yang cukup. Biarkan Anisa sama Anya disini, temani ibu. Kamu pulang sama Nela saja sana.”Nela yang merasa terpanggil, dibuat terhenyak dalam keheningan yang diciptakan oleh dirinya itu. Te
Wanita yang duduk dibawah cahaya rembulan itu, sesekali menengok kebelakang, sudah sejak hampir 30 menit dirinya menunggu sendirian hanya bersama semilir angin malam. “Anisa.” Suara lembut namun memiliki aksen berat itu akhirnya mengudara, membuat Anisa menolehkan kepalanya dan tersenyum cerah saat mendapat suaminya berjalan, dengan satu tangkai bunga mawar putih ditangan kanannya, juga kue berbentuk love ditangan kirinya, lengkap juga lilin berwana merah yang menyala. Angkanya menunjukan angka 10. Jika diingat bagaimana selama itu dirinya hidup bersama Satria. laki-laki yang lembut dan penyanyang, membuat Anisa rasanya tidak merasakan lamanya pernikahan mereka. Anisa terkikik pelan, “Kamu ini ngapain sih mas?” Kini tubuh satria mendekat, meletakan kue itu ke atas meja kayu. Kemudian medeku tepat di depan wanitanya yang sudah 10 tahun menemaninya “Sudah sepuluh tahun, tapi ras
Dalam ruangan serba putih, disinilah Anisa dan Satria berada, melihat bagaimana sang ibu yang entah hanya perasaan keduanya saja atau memang begitu adanya. Jika Ratna sedang menatap kedua insan itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Sudah sepuluh tahu ya, pernikahan kalian?” Satria maupun Anisa mengangguk, dengan ukiran senyuman yang terlontar “Jadi kapan kalian mau kasih ibu cucu?” Pertanyaan itu, sukses membuat Anisa bergetar. Hatinya mendadak berdegup kencang, apalagi aura yang dipancarkan sang ibu mertua malah mampu menujukannya ke dalam ruangan yang penuh adrenalin “Itu bukan pertanyaan yang bisa Satria jawab bu,” suaminya menjawab, dengan bahasa yang lembut seperti biasa, kemudian kepalanya menoleh pada Anisa, lalu bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis. Satria tahu, jika istrinya itu sedang menyimpan begitu banyak ketakutan “Kenapa?karena itu urusan tuhan? Kalo begitu kenapa kakak kamu yang baru saja menikah 2 bul
Pagi sekali, sekitar pukul enam. Dari dalam kamarnya Anisa sudah tidak lagi melihat Satria yang tidur terlelap disampingnya. Kemudian setelah mencuci muka dan mengosok gigi, Anisa beringsut turun dari lantai dua. Dari atas tangga, Anisa bisa mendengar suara bising dari arah dapur Begitu dia melongok kesana, bibirnya terukir sempurna, hanya karena sosok suaminya yang terlihat sedang berkutik dengan alat dapur. Melihat Satria yang sibuk di depan kompor, selalu membuat Anisa terpana. Laki-laki itu selain bisa menyayanginya bisa juga memanjakannya melalui masakan. Pernah waktu mereka belum menikah Satria mengatakan seperti ini “Gak masalah kok, kalo nanti istri aku gak bisa masak, karena aku yang akan masakin dia setiap pagi.” Tapi kenyataannya malah Satria ditakdirkan untuk mempunyai istri yang handal dalam urusan memasak. Tapi hal itu tidak selalu membuat Satria bermalas-malasan, tetap saja laki-laki itu akan mengambil alih tugas Anisa untuk meny
Satria tidak pernah menduga, jika pergulatannya dengan setumpuk berkas akan ditemani sang ibu juga, yang tiba-tiba menghampirinya ke kantor. Satria bukan tidak senang, hanya saja waktunya yang kurang tepat. Apalagi jika mengingat kejadian kemarin “Ibu ganggu kamu?” Satria menggeleng, meski dalam decap hatinya berkata iya. Tapi siapa yang berani mengatakan hal yang semacam itu? “Syukur deh. Ibu sengaja datang ke sini. Mau ada yang dibicarakan.” Satria tahu, jika ibunya sudah menyandanginya langsung, itu artinya sang ibu hendak akan berbicara sesuatu hal yang sangat penting “Satria Wiauthama. Kamu itu laki-laki berjiwa besar, lihat saja perusahaan bapak yang kamu bangun, semakin maju. Ibu bangga sama kamu. Tapi ingat nak, ini semua harus berakhir pada keturunanmu.” Satria menghela napasnya, sudah bisa dipastikan sejak tadi jika ibunya pasti akan berbicara mengenai hal ini juga “Satria tahu. Satria juga lagi berusaha bu.”