Satria tidak pernah menduga, jika pergulatannya dengan setumpuk berkas akan ditemani sang ibu juga, yang tiba-tiba menghampirinya ke kantor. Satria bukan tidak senang, hanya saja waktunya yang kurang tepat. Apalagi jika mengingat kejadian kemarin
“Ibu ganggu kamu?”
Satria menggeleng, meski dalam decap hatinya berkata iya. Tapi siapa yang berani mengatakan hal yang semacam itu?
“Syukur deh. Ibu sengaja datang ke sini. Mau ada yang dibicarakan.”
Satria tahu, jika ibunya sudah menyandanginya langsung, itu artinya sang ibu hendak akan berbicara sesuatu hal yang sangat penting
“Satria Wiauthama. Kamu itu laki-laki berjiwa besar, lihat saja perusahaan bapak yang kamu bangun, semakin maju. Ibu bangga sama kamu. Tapi ingat nak, ini semua harus berakhir pada keturunanmu.”
Satria menghela napasnya, sudah bisa dipastikan sejak tadi jika ibunya pasti akan berbicara mengenai hal ini juga
“Satria tahu. Satria juga lagi berusaha bu.”
Sang ibu mendengus “Kamu masih mengharapkan Anisa?”
Perkataan itu sukses membuatnya memanas. Bagaimana bisa wanita yang dihormatinya mengatakan kata yang tidak pantas. Wajar bukan bila Satria marah
“Sampai kapan pun Satria akan sama Anisa terus. Dia istri aku.”
“Ibu gak nyuruh kamu ninggalin Anisa. Ibu minta kamu berhenti berharap punya keturunan dari Anisa.”
“Apa maksud ibu?”
“Menikah lagi. Ibu akan carikan wanita yang terbaik.”
Satria rasanya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. dalam kepalanya sudah penuh dengan rasa marah, tapi sampai saat ini Satria tidak mampu mengeluarkannya begitu saja. Hanya karena wanita ini seorang ibunya
“Gak akan bu. Satria gak akan menikah lagi.”
“Satria nurut sama ibu. Ini demi masa depan kamu.”
“Masa depan apanya bu? Masa depan Satria jelas Anisa. Kalo gitu sama saja namanya ibu merusak masa depan Satria.”
“Sampai kapan kamu maluin ibu hah? Kamu juga gak kasihan sama bapak? Kalo tahu anaknya gak punya keturunan?”
“Satria bisa bu, cuman butuh waktu saja.”
“Sepuluh tahun kamu cuman bilang kaya gitu sama ibu? Mau sampai tahun ke berapa lagi?”
Ratna kini sudah geram dengan putranya. Dia sudah tidak tahan dengan semuanya. Anisa yang tidak bisa diandalkan. Pikirnya, menikah hanya bermodalkan cinta memangnya cukup? Jelas itu akan merusak citra perusahaannya juga. Lalu akan kemana perginya semua warisan ini?
“Pikirkan baik-baik perkataan ibu.”
Wanita itu bangkit, seraya membawa tasnya yang terlihat mahal. Kemudian tangannya terulur menyematkan batang kacamatanya pada atas telinganya.
“Kamu jangan egois Satria. Kamu ini pemimpin perusahaan, jelas perusahaan juga penting untuk kamu pikirkan!”
Satria juga ikut bangkit, memandang ibunya dengan tatapan tegas “Tapi tidak dengan menikah lagi bu!”
Ratna mendengus, merasa jika Satria kini berubah mejadi anak yang pembangkang, padahal sejak kecil Satria adalah laki-laki cerdas yang tidak pernah membangkangnya.
“Terserah.”
Sang ibu begitu saja pergi, dengan langkah yang bergemelatuk pada marmer. Meski perkataannya seolah terdengar tidak peduli lagi, tapi jelas dalam hatinya dia bersiasat untuk melakukan agar Satria mau menikah lagi dengan wanita pilihannya.
Semua yang dilakukan Ratna murni untuk masa depan Satria dan juga perusahaannya.
***
Jika Anisa bilang jam sebelas, maka pak Rahmat sudah siap sejak bermit-menit sebelumnya, selalu seperti itu. Membuat Anisa terkagum-kagum dan menyayangkan sosok pak Rahmat jika pergi begitu saja,dan mencari majikan lain.
Anisa kini sudah cantik dengan busananya yang terlihat elegan. Juga dengan satu kantung paper bag bersisi makanan siang untuk suaminya.
Dalam hatinya senang bukan main, karena ini kali pertamanya lagi dia berkunjung ke kantor suaminya setelah seminggu Satria melarangnya untuk mengunjuginya karena Anisa sedang sakit, padahal hanya demam biasa.
Pak Rahmat memandu jalannya mobil. Hingga sampai pada pekarangan besar perusahaan suaminya. Anisa keluar dengan pintu yang dibuka pak Rahmat
“Bapak makan siang dikantin kantor aja, bilang sama petugasnya. Nanti saya bayar.”
Pak Rahmat mengangguk. Kemudian membiarkan ibu majikannya itu berjalan masuk ke dalam kantor
Anisa selalu mendapati sapaan hangat dari karyawan kantor, membuat Anisa harus berkali-kali tersenyum dan menjawab kata hai, untuk membalas puluhan sapaan hallo
Tepat didepan lift, Anisa bisa melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya “Mbak Anya.”
Wanita itu tersenyum “Hai Nis. Mau ngapel juga nih?”
Anisa mengangguk seraya terkikik “Mbak juga?”
Anya mengangguk
“Kok sendirian, anak-anak gak dibawa?”
“Bisa repot urusan nanti kalo anak-anak dibawa.”
Setelah itu pintu lift terbuka. Anisa dan Anya sama-sama terkejut saat menampakan sosok Ratna sang ibu mertua disana.
Anisa lantas tersenyum, namun senyuman itu tidak dibalas oleh Ratna. Wanita itu malah menyapa Anya dengan hangat “Nikmati saja waktu berdua sama suamimu, Ya. Biar anak-anak sama ibu.”
Anya mengangguk, setelah kemudian sang ibu mertua beringsut, barulah Anya masuk ke dalam lift bersama Anisa. Kebetulan lantai mereka sama.
Anisa masih merasakan efek dari pengabaiannya. Anya sepertinya mengetahui “Gak usah terlalu dipikirin,Nis. Nanti juga baik sendiri kok.”
“Mbak, apa gara-gara aku—“
“Gak bisa hamil?”
Anya buru-buru menyela perkataan Anisa
“Nis. Semua wanita itu sudah dikodratkan mengandung dan melahirkan, jangan khawatir. Teman mbak, ada kok yang sepuluh tahun baru dikasih anak. Jangan nyerah dulu.”
Untuk sesaat Anisa bisa merasakan keyakinan lagi pada hatinya. Dia lantas mengangguk dan berterima kasih. Sampai lift pun terbuka. Namun sayang, arah ruangan kerja suaminya berbeda, Anya dan Anisa terpaksa berpisah di depan lift
Meski dengan keadaan hati yang lara, Anisa tetap berusaha untuk tampil senyum. Apalagi kepada Dewi sekertaris pribadi Satria
“Bapak ada kok bu, ke dalam saja.” Dewi tahu, jika menyangkut paut tentang Anisa tidak perlu dimasukan ke dalam jadwal pertemuan agendanya Satria
Sebab kata laki-laki itu, Anisa boleh kapan pun masuk ke dalam ruangannya. Karena Anisa adalah orang yang sesungguhnya pemilik ruangan kebesarannya itu. Malah jika perlu izin, Satria yang harus melakukan itu kepada Anisa.
Satria yang semula, merebahkan kepalanya ke sandaran kursi, kini dia kembali duduk dengan tegap, hanya untuk melihat permaisurinya datang.
“Kamu kok datangnya cepet banget perasaan?” katanya seraya berjalan ke tempat sofa, menyusul Anisa lebih tepatnya
“Masa sih. Kamunya kali yang lagi banyak pikiran.”
Hanya dalam keheningan Satria mampu terdiam. Merasa jika perkataan Anisa kenapa rasanya tepat sasaran. Apakah ini suatu kebetulan.
“Ibu habis kesini ya. Pasti bicara yang buat kamu kepikiran.”
Satria menoleh dengan pandangan terkejutnya, dia juga menuntut jawaban, darimana asal Anisa tahu tentang kedatangan ibunya barusan
“Aku ketemu ibu di lift tadi.”
“Dia bilang sesuatu sama kamu?”
Anisa menggeleng, seraya tangannya bergerak membuka satu persatu wadah makanannya
“Tapi rasanya aku makin takut, mas.”
Satria mendekat, hanya untuk meraih jemari manis Anisa. Menggenggamnya. Jika boleh jujur, Satria lebih hancurnya saat ini. Tapi dalam kehancuran itu dia sangat enggan melihat kesedihan dari wajah Anisa
“Aku gak bakal ninggalin kamu, kalo emang itu yang kamu takutin.”
“Bener?”
Satria mengangguk, bersamaan dengan ukir senyum yang mampu membuat Anisa candu. Bahkan rasanya sampai mabuk kepayang
“Sini,” Satria mengisyaratkan Anisa untuk sampai kedalam pelukannya. Tanpa menunggu lama, wanita itu langsung membiarkan tubuhnya menghangat dalam pelukan Satria
Anisa jadi teringat tentang perkataan Satria sewaktu dulu masih pacaran, dia mengatakan “Nis. Bahkan sampai aku mati aku akan tetap selalu mencintai kamu.”
Anisa pikir perkataan itu hanya sebuah rayuan semata, tapi ternyata dia keliru, buktinya hingga sampai saat ini Satria masih orang yang sama, yang selalu mencintainya.
NEXT
Entah mimpi apa semalam, hari ini Satria di datangi lagi oleh ibunya. Yang lebih parah, kini wanita itu membawa seseorang. Yang Satria tidak mengenalinya. Perempuan itu hanya tersenyum manis di samping Ratna, sesekali melirik ke arah Satria dengan pandangan yang penuh harap, jika boleh jujur Satria benci tatapan perempuan itu“Kenalkan ini Nela, anaknya teman ibu,” Ratna membuka suara, yang membuat perempuan di sebelahnya unjuk keberadaan dengan mengulurkan tangannya kepada Satria.Satria geming, menatap uluran tangan itu sampai akhirnya dia membalasnya, sebab tidak ada pilihan lain“Nela,” perempuan itu lebih dulu menyebutkan namanyaBarulah disusul oleh Satria “Satria,” setelah itu Satria buru-buru melepaskan tautan tangannya“Jadi maksud ibu apa, bawa Nela kemari?”Hawa-hawanya sudah bisa dihirup tidak enak, Satria bisa bertaruh jika ibunya ini bermaksud untuk mendekatkan dirinya dengan wani
Sepasang kaki jenjang, dibalut dengan sepasang hels yang terdengar bergemlatuk dengan marmer. Nela Amanda, wanita karir yang sudah hampir 12 tahun bekerja sebagai sekertaris perusahaan besar itu, memutuskan untuk berhenti bekerja disana.seperti yang kalian ketahui, jika sekarang ada mimpi yang harus Nela wujudkan. Yaitu menjadi istri kedua bagi seorang Satria Wiauthama.Nela sendiri sudah mengenal Satria, sejak masa perkuliahan, kebetulan Satria menjadi kakak tingkatnya. Sebenarnya Nela sendiri juga telah menaruh hati kepda Satria, namun karena Satria memilih menikah dengan Anisa. Rasa cinta itu harus terpaksa ia kandaskanDan sekarang, seperti sebuah undian berhadiah. Nela mendapati permintaan langsung dari pihak keluarga Satria, untuk memintanya menjadi istri kedua. Nela mana mau menolak.Tapi ternyata untuk menjadi istri kedua bagi seorang Satria tidak mudah, karena ada penghalang besar untuknya. Nela pikir penghalang itu harus ia mu
Satria menghela napasnya saat begitu melihat Anisa sedang bergulat dengan alat dapurnya. Padahal Satria sudah mewanti-wanti agar Anisa tidak perlu menyiapkannya sarapan. Itu bisa dikerjakan Yati atau Satria bisa sarapan nanti dikantorTubuh jenjangnya menghampiri sang istri, sebentar Satria mengelus pucuk kepala Anisa. Membuat wanita itu menoleh“Mas, apaan sih.”“Aku kan udah bilang, gak perlu siapin aku sarapan.”“Itung-itung badanku gerak. Biar sekalian olahraga,kan?”Apa yang dikatakan Anisa ada benarnya. Jadi Satria tidak bisa untuk menggeleng. Untuk itu dia lebih memilih duduk dikursi, menunggu Anisa selesai memasak“Nanti aku ke kantor kamu lagi ya.”“Gak usah, kamu masih lemes kan?”Anisa menggeleng “Nggak.”“Aku gak bisa nolak kamu,Nis,” kata Satria pasrah. Karena pada dasarnya untuk mengatakan tidak kepada Anisa hatinya terasa b
Anisa sedang membantu susi –asisten rumah tangga mertuanya itu menyiapkan beberapa hidangan untuk menjamu para tamu teman-teman arisan Ratna.Ini pertama kalinya, Ratna menyuruh Anisa untuk membantu Susi, biasanya Ratna akan membeli beberapa hidangan itu. Tapi katanya khusus hari ini Ratna ingin menjamu teman-temannya, dengan kue buatan AnisaAnisa sendiri tidak masalah, justru dia senang. Sebab merasa kehadirannya sangat berguna.“Bu, kuenya sudah siap,” kata SusiTadi Anisa sempat meminta Susi untuk meletakan brownis ke dalam piring hias, kini tugas Susi sudah selesai, dia melakukannya dengan baik“Kamu tolong tungguin panggangan ini ya, kayanya sebentar lagi mateng.”Susi mengangguk. Lalu setelah itu Anisa beringsut membawa brownis itu ke ruang tamu. Dimana mertuanya sedang melakukan perkumpulan arisan.Seketika semuanya menolehkan pandangannya saat Anisa sampai disana dan meletakan piring ke atas meja
Tiga puluh menit berlalu. Satria dan Anisa masih saja betah duduk berdua saling berpelukan, tepat di balkon rumahnya, seraya menatap langit malam yang dihiasi bintang.Sama seperti cinta keduanya, selalu tampak berseri layaknya bintang.meski ada segumpal warna hitam disekitarannya. Kesempurnaan cinta itu akan selalu utuh“Kamu pasti cape,kan bantuin ibu?”“Heem,” jawab Anisa dengan dehamanSatria tersenyum. Hanya untuk merasakan hatinya terenyuh.“Buat kue apa aja tadi?”“Cuman buat brownis aja.”“Masa?” Satria tampak tidak percaya“Kok kamu kaya cape banget gini,” sekali lagi Satria menatap lekat wajah Anisa, barang kali dirinya hanya salah lihat saja. Tapi sayangnya, apa yang dilihatnya benar begituAnisa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, tentang perilaku ibu yang kasar. Tadi Ratna sempat menyuruh Anisa untuk membereskan semuanya. Padahal ada
Menyambangi kantor suaminya, adalah rutinitas hariannya. Anisa selalu membuat Satria merasa nyaman, mungkin karena itulah Satria selalu memperlakukan Anisa juga dengan baik.Kakinya melangkah memasuki lift. Orang-orang yang berada disekitarnya lantas menyapa dengan sopan.Anisa selalu berpkir apakah kehidupan mereka selalu enak. Tidak ada tuntutan apapun seperti dirinya. Tapi mana mungkin, setiap manuisa punya masalahnya masing-masing. Terkadang Anisa merasa menjadi manusia paling sedih di dunia. Ya, itu hanya prasangka dirinya saja.Meninggalkan pemikiran itu, kini Anisa melangkah menuju ruangan suaminya. Dan sudah bisa ditebak oleh kepala, jika kehadirannya pasti akan di sambut oleh Nela.Wanita itu tersenyum, kemudian bangkit dari kursinya. Seperti kemarin Nela selalu berprilaku sombong dimata Anisa.“Apa kamu sudah buat janji dengan atasan saya?” tanya Nela disengajaAnisa mendengus, Nela benar-benar wanita tidak tahu diri
Selagi Anisa masih di kamar mandi, Satria berniat untuk menghubungi Monika sekretarisnya yang lama, pasalnya dia pergi tanpa seucap pamit pun kepadanya.Itu membuat Satria merasa kehilangan juga.karena dibanding Nela jelas Monika adalah sekretaris terbaiknyaTanpa menunggu lama, sambungan telponnya terhubung dengan sang empu“Hallo pak? Maaf, tumben hubungi saya. ada hal penting kah?”Mendengar suara Monika dibalik telpon membuat Satria menghembuskan napasnya lega. Sebab sejak kemarin dirinya menelpon wanita itu tapi nomornya tidak kunjung aktif“Kamu keterlaluan. Pergi tanpa pamit sama saya.”Hening beberapa saat, sebelum akhirnya Monika menjawabnya dengan nada yang terdengar sedikit gelagapan “Ah, maaf pak sebelumnya. Saya juga sebenarnya kaget, tiba-tiba dipindahkan untuk bekerja di kantor cabang, pada hari bapak pulang terburu-buru saya sempat menemui bapak di depan pintu. Tadinya saya mau
Mobil sedan berwarna hitam itu terhenti di depan rumah mewah yang memiliki nuansa putih sebagai warna cat temboknya. Keluarlah sosok wanita yang terlihat manis dengan pakaian elegannya. Sebelum beranjak masuk ke dalam rumahnya, Anisa memberi kata terima kasih terlebih dahulu kepada pak Rahmat.Beliau memang sangat berjasa. Setidaknya untuk kehidupannya. Jika tidak ada pak Rahmat, Anisa pasti kelelahan untuk pulang pergi setiap harinya.Saat tibanya di dalam rumah, buru-buru Yati menghampiri Anisa. Sepertinya ada hal yang ingin wanita itu katakan“Bu. Nyonya Ratna ada di sini,” katanya.Yang sukses membuat Anisa terkejutPikirnya, ada apa Ratna datang kemari, apakah akan mengatakan hal-hal buruk yang seperti kemarin.“Dimana ibu sekarang?”Membuang jauh pikiran buruknya itu. Anisa berusaha untuk tetap baik kepada mertuanyaYati menunjuk menggunakan panda