Satria menghela napasnya saat begitu melihat Anisa sedang bergulat dengan alat dapurnya. Padahal Satria sudah mewanti-wanti agar Anisa tidak perlu menyiapkannya sarapan. Itu bisa dikerjakan Yati atau Satria bisa sarapan nanti dikantor
Tubuh jenjangnya menghampiri sang istri, sebentar Satria mengelus pucuk kepala Anisa. Membuat wanita itu menoleh
“Mas, apaan sih.”
“Aku kan udah bilang, gak perlu siapin aku sarapan.”
“Itung-itung badanku gerak. Biar sekalian olahraga,kan?”
Apa yang dikatakan Anisa ada benarnya. Jadi Satria tidak bisa untuk menggeleng. Untuk itu dia lebih memilih duduk dikursi, menunggu Anisa selesai memasak
“Nanti aku ke kantor kamu lagi ya.”
“Gak usah, kamu masih lemes kan?”
Anisa menggeleng “Nggak.”
“Aku gak bisa nolak kamu,Nis,” kata Satria pasrah. Karena pada dasarnya untuk mengatakan tidak kepada Anisa hatinya terasa berat. Dia tidak mampu.
“Makasih kalo gitu. Kamu selalu ngijinin apapun yang aku mau,Mas,” Anisa menoleh sebentar. Hanya untuk menunjukan senyuman indahnya
“Buat kamu seneng, memang udah tujuan aku hidup,Nis.”
Anisa tersenyum, mendengar itu dari Satria. Selalu senang, mendengar Satria mengatakan jika dirinya begitu mencintainya.
“Dan, membuat kamu hidup dengan baik adalah tujuan aku,” Anisa meletakan nasi goreng ke hadapan Satria
Laki-laki itu senang “Makasih.”
“Sama-sama.”
Satria menatap lekat sang Istri, membuat Anisa menukik heran “Kenapa, ada yang aneh?”
Satria jusru menggeleng “Kamu beneran udah sehat?”
Anisa mengangguk kukuh “Lihat, aku udah keliatan seger bukan?”
Satria menelisik, dan ya. Memang Anisa tidak seperti kemarin yang tampak lemas
“Syukur deh. Soalnya kalo kamu sakit, aku gak bisa buat ninggalin kamu.”
Anisa tergelak “Aku bukan anak kecil.”
“Tapi kamu anak kecil bagi aku.”
“Dih. Kok gitu!”
“Kenapa? Kamu maunya apa?”
“Jadi wanita kamu satu-satunya,” kata Anisa yang membuat Satria merubah ekspresinya.
Satria tahu, Anisa tidak berkata untuk membuat lelucon. Perkataan itu jujur dari dalam hatinya.
Untuk memberikan sebuah ketenangan, Satria memberikannya kecupan pada punggung tangannya. Hal itu membuat Anisa seperti merasakan kupu-kupu terbang dalam perutnya
“Kamu akan jadi wanita aku satu-satunya. Jangan takut. Karena aku akan tetap menjadi milik kamu seutuhnya.”
“Aku percaya sama kamu mas. Meski ibu sama kakak kamu nyuruh kamu buat nikah lagi, tapi aku percaya kamu punya pendirian sendiri.”
“Makasih. Udah percaya sama aku. Karena aku sendiri, gak yakin bisa kuat tanpa kamu dihidup aku,Nis.”
“Kita akan hidup sama-sama, sampai maut memisakan,Mas.”
“Iya,pasti.”
Tangan mereka saling mengenggam. Seolah mengatakan jika kekuatan cinta mereka sangatlah kuat.
Untuk sesaat, hanya dalam waktu berduaan seperti ini bersama Anisa. Satria dapat merasakan ingatannya yang lupa tentang perintah ibunya dan kakaknya untuk menikah lagi.
***
Hari ini mungkin akan menjadi hari yang sibuk bagi Satria. Sebab pekerjaan kemarin yang belum tuntas mesti dituntaskan hari ini.
Meski jadwalnya sangat padat yang pasti akan membuat tubuhnya lelah. Mentari diluar menyinari begitu terang, itu membuat Satria sedikit mendapati rasa semangatnya.
Saat begitu kakinya, menginjak marmer ruangannya. Satria terkejut melihat seorang wanita yang duduk di kursi sekertaris bukanlah sekertarisnya yang biasa, tapi malah Nela.
Wanita itu dengan entengnya tersenyum manis, memberi hormat kepada bos barunya itu
“Kamu ngapain ditempat saya?”
“Kerjalah mas. Kamu pikir apa lagi?” Nela menjawab dengan begitu tenang. Seolah itu bukan kesalahannya. Padahal jelas iya.
“Sekertaris saya mana?” Satria menengok kesana kemari, tapi tidak menemukan sosok siapapun kecuali Nela
“Sekertasis mas ya saya,” jawabnya
“Jangan panggil saya mas!”
“Maaf pak,” Nela membukuk sopan. Padahal jelas, satria tidak butuh lagi perkataan maaf itu. Yang Satria butuh saat ini adalah, kepergian Nela dalam hidupnya
“Kamu jangan bercanda. Siapa yang nyuruh kamu disini?”
Nela tersenyum manis, berusaha terlihat mengesankan dimata Satria. Tapi semuanya akan percuma. Karena sampai kapan pun Satria tidak akan tertarik dengan wanita modelan Nela
“Tante Ratna sama mas Fahmi,” wanita itu menaikan sebelah alisnya.
“Apa? Gak mungkin. Pasti kamu yang minta kan?”
“Coba kamu pikir. Siapa orang yang minta saya untuk menjadi istri keduanya kamu?”
“Kamu juga mau!”
“Aku cuman gak mau buang-buang kesempatan ini aja. Ada lubang emas, masa aku biarin dia menghilang begitu saja,” kata Nela, seraya tersenyum
Satria sudah geram. Kepada semuanya. Ibunya dan kakaknya juga. Mereka kenapa menjerumuskannya ke dalam masalah yang membuatnya berpisah dengan Anisa.
“Saya minta, selama kamu bekerja harus menjaga jarak dengan saya sekitar satu meter!”
“Tapi—“
“Tidak ada bantahan!”
Satria masuk ke dalam ruangannya, membanting pintu dengan sangat keras, membuat Nela berjengit karena terkejut.
“Kamu kaya gitu, buat aku makin pengen milikin kamu segera mas,” kata Nela pelan, kemudian beralih lagi duduk ditempatnya.
***
“Ibu maksudnya apaa? Nempatin Nela disini?” tanya Satria tidak habis pikir kepada ibunya itu dalam sambungan telpon
“Biar kamu semakin dekat dengan Nela.”
“Bu, berapa kali aku bilang. Aku gak mau menikah lagi,” Satria sudah hampir prustasi mengatakan ini terus kepada ibunya yang tidak mau membuka telinga.
“Kamu begitu karena kamu belum kenal sama Nela. Makanya ibu deketin kamu, supaya kamu mengenal.”
Persetan dengan apa yang ibu katakan, karena semuanya hanya siasat untuknya agar menikahi Nela. Dan Satria pikir sekarang jalannya buntu. Tidak tahu harus bagaiaman lagi.
Menjauh tidak bisa. Membiarkan ini semua terjadi juga tidak bisa.
Tepat saat Satria menutup sambungan telponnya. Pintu terbuka menampilkan sosok Nela, tengah membawa satu gelas teh
“Minum tehnya pak.”
“Saya gak pengen!”
“Tapi kata sekretaris bapak yang dulu. Teh hangat minuman yang wajib menjadi teman bapak saat kerja.”
Satria diam. Karena memang itu benar. Dirinya juga tidak bisa untuk tidak meminum teh kalanya bekerja. Jadi yasudah dia menerima gelas itu dengan baik. Tapi tidak dengan orangnya.
Keterdiaman Satria padahal untuk membuat Nela pergi, tapi rupanya wanita itu tidak mengerti tentang arti diamnya
“Ngapain kamu masih disitu?”
“Takutnya bapak butuh saya lagi.”
Satria mendengus, merasa Nela sangat percaya diri sekali. Padahal sumpah demi apapun, Satria tidak akan merasa jika dirinya membutuhkannya
“Tidak! Silahkan kamu keluar dan kembali bekerja.”
Nela mengagguk “Baik pak. Kalo bapak butuh bantuan, saya siap pak. Panggil saya kapapun bapak mau.”
Satria tidak menjawab, bahkan melirik pun tidak.
Sudah jelas bukan, jika Satria sangat tidak suka kepada Nela
***
Satria mendesah sedih, sebab dia baru saja mendapati sms dari Anisa jika dirinya tidak bisa menyambangi kantornya, untuk membawakannya makan siang. Katanya, tiba-tiba mendadak tubuh Anisa lemas.
Tanpa diundang, lagi-lagi Nela masuk ke dalam ruangannya kali ini dia membawa satu kotak makan siang.
Wanita itu tersenyum, seraya meletakan kotak makanan itu ke atas meja kerja Satria
“Saya tahu, bapak orangnya sehat banget. Makannya saya bawakan makanan sehat untuk bapak.”
“Tidak perlu, saya akan makan dikantin kantor saja,” Satria sudah berdiri bersiap untuk melangkah
“Kamu bisa kasih makanan itu ke satpam,” kemudian Satria melangkahkan kakinya
Setelah keberadaannya di area kantin. Seluruh karyawan dibuat terkejut dengan kehadiran bosnya yang membaur di kantin. Mereka semua tahu, jika Satria tidak sembarang makan makanan
Suasana cukup ramai pada saat itu, sampai Satria tidak bisa melihat tempat yang kosong. Itu membuat hatinya meringis. Bukan karena dirinya tidak kedapatan tempat, melainkan mengetahui jika karyawanannya sudah mencapai ratusan, tapi kantor hanya menyediakan kantin yang sangat kecil. Mereka pasti kesulitan untuk mendapatkan makan siang.
“Bapak yakin gak mau makan makanan yang saya bawa,” lagi Nela hadir tanpa di undang. Hal itu membuat Satria geram
“Tidak!” Satria begitu saja melangkah. Nela lantas mengikutinya dari belakang
“Bapak mau kemana? Habis ini ada meeting pak!”
“Saya tahu apa yang harus saya lakukan!”
Kini Satria melangkah ke luar gedung perusahaan. “Saya sudah bilangkan, kasih saja makanan itu ke satpam,” katanya seraya menunjuk satpam yang tampak sedang merasa lapar, karena dia memegangi perutnya seraya meringis
Anisa sedang membantu susi –asisten rumah tangga mertuanya itu menyiapkan beberapa hidangan untuk menjamu para tamu teman-teman arisan Ratna.Ini pertama kalinya, Ratna menyuruh Anisa untuk membantu Susi, biasanya Ratna akan membeli beberapa hidangan itu. Tapi katanya khusus hari ini Ratna ingin menjamu teman-temannya, dengan kue buatan AnisaAnisa sendiri tidak masalah, justru dia senang. Sebab merasa kehadirannya sangat berguna.“Bu, kuenya sudah siap,” kata SusiTadi Anisa sempat meminta Susi untuk meletakan brownis ke dalam piring hias, kini tugas Susi sudah selesai, dia melakukannya dengan baik“Kamu tolong tungguin panggangan ini ya, kayanya sebentar lagi mateng.”Susi mengangguk. Lalu setelah itu Anisa beringsut membawa brownis itu ke ruang tamu. Dimana mertuanya sedang melakukan perkumpulan arisan.Seketika semuanya menolehkan pandangannya saat Anisa sampai disana dan meletakan piring ke atas meja
Tiga puluh menit berlalu. Satria dan Anisa masih saja betah duduk berdua saling berpelukan, tepat di balkon rumahnya, seraya menatap langit malam yang dihiasi bintang.Sama seperti cinta keduanya, selalu tampak berseri layaknya bintang.meski ada segumpal warna hitam disekitarannya. Kesempurnaan cinta itu akan selalu utuh“Kamu pasti cape,kan bantuin ibu?”“Heem,” jawab Anisa dengan dehamanSatria tersenyum. Hanya untuk merasakan hatinya terenyuh.“Buat kue apa aja tadi?”“Cuman buat brownis aja.”“Masa?” Satria tampak tidak percaya“Kok kamu kaya cape banget gini,” sekali lagi Satria menatap lekat wajah Anisa, barang kali dirinya hanya salah lihat saja. Tapi sayangnya, apa yang dilihatnya benar begituAnisa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, tentang perilaku ibu yang kasar. Tadi Ratna sempat menyuruh Anisa untuk membereskan semuanya. Padahal ada
Menyambangi kantor suaminya, adalah rutinitas hariannya. Anisa selalu membuat Satria merasa nyaman, mungkin karena itulah Satria selalu memperlakukan Anisa juga dengan baik.Kakinya melangkah memasuki lift. Orang-orang yang berada disekitarnya lantas menyapa dengan sopan.Anisa selalu berpkir apakah kehidupan mereka selalu enak. Tidak ada tuntutan apapun seperti dirinya. Tapi mana mungkin, setiap manuisa punya masalahnya masing-masing. Terkadang Anisa merasa menjadi manusia paling sedih di dunia. Ya, itu hanya prasangka dirinya saja.Meninggalkan pemikiran itu, kini Anisa melangkah menuju ruangan suaminya. Dan sudah bisa ditebak oleh kepala, jika kehadirannya pasti akan di sambut oleh Nela.Wanita itu tersenyum, kemudian bangkit dari kursinya. Seperti kemarin Nela selalu berprilaku sombong dimata Anisa.“Apa kamu sudah buat janji dengan atasan saya?” tanya Nela disengajaAnisa mendengus, Nela benar-benar wanita tidak tahu diri
Selagi Anisa masih di kamar mandi, Satria berniat untuk menghubungi Monika sekretarisnya yang lama, pasalnya dia pergi tanpa seucap pamit pun kepadanya.Itu membuat Satria merasa kehilangan juga.karena dibanding Nela jelas Monika adalah sekretaris terbaiknyaTanpa menunggu lama, sambungan telponnya terhubung dengan sang empu“Hallo pak? Maaf, tumben hubungi saya. ada hal penting kah?”Mendengar suara Monika dibalik telpon membuat Satria menghembuskan napasnya lega. Sebab sejak kemarin dirinya menelpon wanita itu tapi nomornya tidak kunjung aktif“Kamu keterlaluan. Pergi tanpa pamit sama saya.”Hening beberapa saat, sebelum akhirnya Monika menjawabnya dengan nada yang terdengar sedikit gelagapan “Ah, maaf pak sebelumnya. Saya juga sebenarnya kaget, tiba-tiba dipindahkan untuk bekerja di kantor cabang, pada hari bapak pulang terburu-buru saya sempat menemui bapak di depan pintu. Tadinya saya mau
Mobil sedan berwarna hitam itu terhenti di depan rumah mewah yang memiliki nuansa putih sebagai warna cat temboknya. Keluarlah sosok wanita yang terlihat manis dengan pakaian elegannya. Sebelum beranjak masuk ke dalam rumahnya, Anisa memberi kata terima kasih terlebih dahulu kepada pak Rahmat.Beliau memang sangat berjasa. Setidaknya untuk kehidupannya. Jika tidak ada pak Rahmat, Anisa pasti kelelahan untuk pulang pergi setiap harinya.Saat tibanya di dalam rumah, buru-buru Yati menghampiri Anisa. Sepertinya ada hal yang ingin wanita itu katakan“Bu. Nyonya Ratna ada di sini,” katanya.Yang sukses membuat Anisa terkejutPikirnya, ada apa Ratna datang kemari, apakah akan mengatakan hal-hal buruk yang seperti kemarin.“Dimana ibu sekarang?”Membuang jauh pikiran buruknya itu. Anisa berusaha untuk tetap baik kepada mertuanyaYati menunjuk menggunakan panda
Meski ada Yati yang mengurus semua pekerjaan rumah. Anisa tetap saja andil, seperti dalam urusan menyiapkan makan malam.Biasanya Anisa hanya akan mengambil pekerjaan yang ringan, seperti menyiapkan meja makan dengan segala menu hidangan yang dimasaknya.Jika untuk urusan memasak Yati yang melakukannya. Anisa bukan tidak bisa, hanya saja Yati yang selalu memintanya untuk diam.“Kamu bisa istirahat sama makan malam,Yat. Biar sisanya saya yang kerjain,” kata Anisa. Satu tangan sebelah kanannya mengambil satu mangkuk besar berisi sayur sop wortel kesukaan RatnaTerlihat wanita yang umurnya lebih muda dua tahun dari Anisa itu mengangguk “Baik bu, terima kasih.” Setelah mengucapkan kata terima kasihnya, Yati undur diri seraya membawa satu piring makanan. Biasanya Yati akan makan dikamarnya sambil menonton sinetron kesukaannya.Suara denting karena mangkok dan permukaan meja kaca mengudara, saat Anisa meletakan mangkuk itu. Dalam
Beruntung Nela memiliki teman yang mempunyai usaha restoran, dan menyediakan menu yang Satria inginkan.Sebenarnya Satria juga malas harus meminta ini kepada Nela, Satria tahu itu malah akan membuat Nela menjadi memiliki ruang untuk masuk ke dalam hatinya.Saat Nela sedang menyiapkan makanan, selagi Satria masih ditoilet. Ponsel Satria yang ia letakan di atas meja itu berdering menampilkan nama Istriku. Nela tahu itu adalah AnisaDengan liciknya Nela menggeser nomor itu ke tombol merah. Menolaknya.“Ganggu aja!” gumamnyaKemudian tangannya kembali menata kotak-kotak makanan. Suara derap langkah Satria mengudara, Nela lantas menoleh, tersenyum kemudian.“Makanannya sudah siap pak.”Seraya melipat kemeja panjangnya sampai sikut, Satria duduk melihat deretan makanan yang bahkan lebih dari ekspetasinya“Kamu gak tuangin pelet kan?” Satria agaknya curigaNela terkekeh “Saya gak sampai
Entahlah sudah berapa lama Anisa disini. Dikantin rumah sakit yang beruntungnya sedang sepi. Anisa bisa menikmati suasana dengan tenang. Mungkin ada beberapa suara dentingan sendok dan piring dari beberapa orang. Dan Anisa tidak sama sekali tertarik untuk makan juga sama seperti merekaAnisa hanya memesan satu gelas satu teh hangat. Dia pikir teh hangat itu bisa meredakan segala jenis rasa sakit hatinya.Fahmi dan Anya, sejak tadi terus saja berkata yang memojokannya jika jatuhnya ibu sakit itu karena berasal dari permasalahannya yang tidak kunjung hamilAnisa sendiri merasa sedih, sebab apa yang ia alami bisa berdampak juga bagi orang lain. Anisa tentu saja merasa dirinya tidak berguna sama sekaliSampai akhirnya, Anisa bisa merasakan sosok Satria duduk di depannya. Dengan kemeja kerjanya yang tampak kusut, dasinya melonggar dari simpulnya. Terlihat jelas jika laki-laki itu sama hancurnya. Atau mungkin lebih“Kok gak di minum?” tanyany