Satu bulan kemudian…
Arletta menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. Sebuah testpack dengan hasil dua garis membuat tubuh Arletta membatu. Dia menggelengkan kepalanya meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Tapi tidak, apa yang dia lihat ini tidaklah salah. Hasil yang tertera di hadapannya sangatlah nyata.
“Tidak, ini tidak mungkin.” Arletta menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di lantai. Bulir air matanya mulai berlinang membasahi pipinya. Dia tampak begitu ketakutan. Dia bahkan tidak tahu harus bagaimana. Saat ini dia mengandung anak Keevan—pria yang jelas-jelas telah membuangnnya layaknya sampah.
Sejak di mana Keevan memintanya untuk tidak lagi mengganggu, Arletta sudah menjauh dari hidup Keevan. Tapi sekarang? Dia harus di hadapakan dengan kenyataan mengandung anak dari pria yang telah membuangnya. Arletta tidak tahu harus bagaimana sekarang, dia tidak mungkin menggugurkan bayi yang ada di kandungannya.
Membunuh bayi yang ada di kandungannya adalah sebuah dosa besar yang tidak akan pernah bisa termaafkan. Arletta tidak mau sampai hal tersebut dia lakukan. Yang salah adalah dirinya, bukan bayi yang ada di kandungannya. Tidak adil jika sampai dirinya harus menggugurkan anaknya yang sama sekali tidak bersalah.
“Arletta keluar kamu!!” Suara teriakan dari luar kamar mandi begitu kencang, sontak membuat Arletta terkejut. Wajah Arletata mulai memucat. Namun Arletta berusaha menguatkan dirinya. Dia menghapus sisa air mata dan menyembunyikan testpack yang ada di tanganya dan melangkah keluar kamar mandi.
“Pa? Ma? Kalian di rumah?” Arletta berusaha bersikap normal, ketika melihat kedua orang tuanya berada di hadapannya. Gadis itu tak ingin sampai kedua orang tuanya tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.
“Bisa kau jelaskan kenapa benda ini ada di kamarmu?!” Raka—sang ayah—melempar sebuah bungkusan yang dia dapatkan dari kamar Arletta tepat mengenai wajah putrinya itu.
Seketika wajah Arletta kian memucat. Kala melihat sebuah testpack baru yang terbungkus oleh plastik. Dia menelan salivanya susah payah. Arletta lupa untuk menyimpan testpack baru itu. Dia meletakanya di atas meja kamarnya, hingga membuat kedua orang tuanya menemkan testpack itu. Kini Arletta terus menunduk dan tidak berani mengatakan sepatah kata pun pada kedua orang tuanya.
Otak Arletta berusaha mencari sebuah alasan yang tepat, tapi sayangnya otak Arletta seakan blank tidak mampu lagi berpikir jernih. Rasanya Arletta ingin terjun ke jurang lari dari semua masalah yang menyiksa dirinya.
“Jawab Arletta! Kenapa benda itu ada di kamarmu!” teriak Raka begitu menggelegar. Emosi pria paruh baya itu sudah tidak bisa lagi terkendali di kala menemukan testpack di kamar putrinya.
“Pa, tenangkan dirimu,” ujar Melisa yang berusaha membuat suaminya tenang. Meski dia marah dan kecewa, akan tetapi wanita paruh baya itu berusaha untuk menjadi penengah. Jika dirinya ikut menyudutkan Arletta, maka tidak akan membuahkan hasil apa pun. Yang ada malah Arletta semakin terpojok.
“Sayang, bisa kamu jelaskan pada Papa dan Mama. Kenapa benda itu ada di kamarmu?” Melisa mendekat kea rah Arletta, berusaha membujuk putrinya agar menceritakan padanya. Nadanya pelan, hangat, dan penuh kelembutan. Jauh dari dalam lubuk hatinya terdalam, dia ingin Arletta mengatakan bahwa semua ini hanyalah bohong.
“A-aku—” Arletta menggigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada kedua orang tuanya. Hingga perlahan bulir air matanya menetes, tidak mampu membendung di kelopak matanya.
“Kau hamil, Arletta?! Apa itu benar?!” bentak Raka penuh emosi yang membakarnya.
Arletta terisak dan mengangguk merespon ucapan Raka. Gadis itu sudah berada di posisi terjepit. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan selalin kejujuran. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menutupi, pasti akan sia-sia. Pasalnya, ayahnya sudah menemukan testpack miliknya.
Raka memejamkan mata frustrasi. Sedangkan Melisa tak henti meneteskan air mata. Pasangan suami istri itu begitu hancur dan kacau mendengar putri mereka ternyata tengah hamil di luar pernikahan.
“Siapa ayah dari kandunganmu!” Raka nyaris beteriak saat mengatakan itu.
“Maaf, Pa.” Dengan mata yang memerah, Arletta menatap sang ayah yang menatap tajam dirinya. Tak ada kata yang dia bisa katakan. Hanya permintaan maaf yang bisa dia ucapkan saat ini. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Plakkkk
Sebuah tamparan mendarat di pipi putih Arletta, hingga membuatnya tersungkur di lantai. Sudut bibir Arletta serta hidungnya mengeluarkan darah akibat tamparan keras itu.
“Pa!” Melisa langsung menahan lengan Raka saat suaminya itu hendak kembali memukul putri mereka. “Pa, jangan seperti ini! Tenangkan dirim.” Melisa berusaha menenangkan sang suami. Pasalnya kekerasan hanyalah sia-sia. Tidak akan berdampak apa pun.
“Jawab aku, Arletta! Siapa ayah dari kandunganmu!” seru Raka meninggikan suaranya. Nadanya terdengar putus asa. Tapi pria paruh baya itu tidak akan puas, sebelum dirinya tahu siapa bajingan yang berani menghamili putrinya.
“P-pacar aku, Pa.” Arletta hanya mengatakan itu. Dia tidak tahu bagaimana harus mengatakan pada keluarganya. Jika dia bilang ayah dari kandungannya adalah Keevan, itu pun percuma. Karena Keevan akan segera meninggalkan Jakarta. Arletta yakin, jika Keevan mengetahui kehamilannya, pria itu akan memintanya membunuh bayi yang ada di kandungannya. Tidak! Arletta tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.
Raka meremas rambutnya dengan kasar. Wajahnya tampak begitu frustrasi. Dia merasa gagal sebagai ayah, tidak bisa menjaga putri tunggalnya dengan baik. Melisa yang mendengar pengakuan putrinya, dia terus meneteskan air matanya.
“Gugurkan bayi itu! Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi yang ada di kandunganmu!” seru Raka dengan tatapan yang menatap tajam putrinya.
“Nggak, Pa. Aku tidak mungkin membunuh kandunganku,” ucap Arletta dengan isak tangisnya. Dia menatap ayahnya penuh dengan permohonan.
“Arletta Pradipta! Aku bilang gugurkan kandunganmu!” bentak Raka keras.
“Pa, jangan seperti itu. Kasihan, Arletta,” ucap Melisa yang tidak tega melihat keadaan putrinya.
“Diam! Jangan membelanya!” seru Raka menatap tajam sang istri yang sejak tadi terus menerus membela Arletta.
Arletta menghapus air matanya, berusaha untuk menguatkan diri. Detik selanjutnya, dia mendekat ke arah ayahnya dan berkata tegas, “Arletta nggak akan gugurin! Meski Papa memaksa, aku nggak mungkin membunuh bayi yang ada di kandunganku. Bayi ini sama sekali nggak bersalah, Pa.”
“Kamu—” Raka hendak melayangkan tamparan ke pipi putrinya. Dan Arletta langsung memejamkan matanya kala melihat ayahnya ingin melayangkan tamparan. Namun, Raka menghempaskan tangannya, dia memukul dinding dengan keras meluapkan kemarahannya.
“Jika kamu nggak menggugurkan kandunganmu! Lebih baik kamu angkat kaki dari sini!” teriak Raka yang langsung meninggalkan Arletta. Raut wajahnya tampak begitu kecewa dan putus asa bercampur dengan amarah yang menjadi.
Tangis Arletta pecah mendengar ucapan ayahnya. Dia tahu dirinya telah membuat keluarganya malu. Sudah sepatasnya ayahnya memintanya pergi.
“Sayang, jangan dengarkan Papamu,” ucap Melisa seraya memeluk erat putrinya. “Mama yakin, Papa akan segera memaafkanmu.”
“Ma,” Arletta menatap Melisa penuh dengan mata yang memerah. “Apa yang Papa bilang benar. Kalau aku masih di sini. Aku akan membuat kalian malu. Biarkan aku pergi dari sini, Ma. Aku akan membesarkan anakku sendiri. Maaf telah membuat kalian malu atas apa yang aku perbuat.”
***
Keevan menatap tiket pesawat yang ada di tangannya. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke New York. Dia akan melanjutkan S2 di sana. Harusnya dia senang karena bisa keluar dari Jakarta.
Namun, entah kenapa pikirannya tertuju pada Arletta. Gadis itu berhasil mengusik pikirannya. Biasanya Keevan selalu mendapatkan telepon ataupun pesan dari Arletta setiap harinya.
Tapi sekarang? Dia tidak menerima satupun pesan atau telepon dari Arletta.Terakhir Keevan bertemu dengan Arletta saat di kampus. Tepat di mana dia meminta Arletta untuk tidak lagi mengganggu hidupnya. Dan di sana, pertama kalinya Keevan melihat Arletta menangis.
“Den Keevan, apa kita berangkat sekarang?” tanya Wisnu—sang sopir—yang menghampiri Keevan.
Keevan belum menjawab. Raut wajahnya terlihat memikirkan sesuatu. Hingga didetik selanjutnya Keevan mengganggukan kepalanya, lalu dia masuk ke dalam mobil. Wisnu langsung memasukan koper Keevan ke dalam bagasi. Tak berselang lama, mobil Keevan mulai berjalan meninggalkan area parkiran rumah.
“Den Keevan, beberapa hari lalu saya melihat rumah keluarga Non Arletta dijual. Pantas saja saya sudah lama tidak melihat Non Arletta, ternyata keluarga Non Arletta sepertinya tidak lagi tinggal di Jakarta,” ujar Wisnu yang tengah melajukan mobil. Sontak, Keevan terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Wisnu.
“Keluarga Arletta pindah? Pindah ke mana?” tanya Keevan dengan wajah yang begitu ingin tahu. Pria itu sama sekali tidak tahu kalau Arletta pindah.
“Saya kurang tahu, Den. Terakhir pembantu di sana hanya mengatakan Keluarga Non Arletta sudah meninggalkan Jakarta,” jawab Wisnu memberitahu.
Keevan terdiam. Rasa penasaran menyelimuti dirinya. Terakhir Arletta tidak mengatakan apa pun padanya. Gadis itu bahkan tidak bilang akan meninggalkan Jakarta. Padahal sebelumnya, Keevan mengatakan pada Arletta akan melanjutkan pendidikan S2 di New York.
‘Shit!’ Keevan mengumpat dalam hati. Harusnya dia tidak perlu memikirkan gadis itu. Tapi kenapa sekarang dia harus memikirkan gadis itu? Keevan benar-benar membenci di mana dirinya harus memikirkan gadis yang selalu mengganggu kehidupanya itu.
“Wisnu, apa kita masih punya waktu untuk mampir ke satu tempat?” tanya Keevan dengan raut wajah yang serius.
“Maaf, Den. Pesawat Anda sebentar lagi. Saya hanya takut Anda terlambat. Dan jalanan pun hari ini kebetulan sedang macet,” jawab Wisni memberi saran.
Keevan mengembuskan napas kasar seraya memejamkan mata singkat. “Ya sudah, tidak perlu putar balik. Teruskan saja ke bandara.”
Lima tahun berlalu… Seorang pria berperawakan tampan, dengan tubuh tinggi tegap melangkahkan kakinya keluar dari lobby bandara. Pria itu memiliki struktur wajah yang sempurna. Hidung mancung menjulang melebihi bibir tipis merah muda. Rahang tegas dan ditumbuhi bulu-bulu membuat pria itu benar-benar terlihat jantan dan matang.Keevan Danuarga—seorang arsitek muda baru saja kembali dari New York. Setelah lima tahun meninggalkan Jakarta, membuat Keevan sedikit merindukan kota kelahirannya. Dan tahun ini, Kaivan kembali ke Jakarta karena harus memimpin perusahaan keluarganya. Jakarta adalah kota kelahiran dan kota di mana dirinya dibesarkan.“Selamat pagi, Pak Keevan,” sapa Angga—asisten pribadi Keevan. Pria dengan berpakaian formal kantor itu menyambut Keevan dengan penuh sopan.“Apa jadwalku hari ini, Angga?” tanya Keevan dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Hari ini kita memiliki meeting dengan para arsitek, Pak. Perusahaan pribadi milik Anda beberapa tahun ini berkembang sangat
“Keevan.”Arletta bergumam lirih memanggil nama yang sudah lama tak pernah keluar dari mulutnya. Dia kembali dipertemukan dengan sosok pria yang telah berhasil menorehkan luka begitu dalam padanya.Jantung Arletta berdetak semakin kencang tak karuan mendengar nama yang sudah lama tak dia sebut. Debaran jantungnya tetap sama. Dia tetap berdebar melihat keberadaan sosok pria yang sudah lama tak dia jumpai.Mata Arletta berembun bahkan nyaris mengeluarkan air mata. Akan tetapi, dia tak akan membiarkan air matanya terjatuh membasahi pipinya. Di hadapan semua orang, dia tidak akan menjadi sosok yang lemah. Arletta menggelengkan kepalanya tegas, berusaha meneguhkan hatinya bahwa dirinya kuat dan mampu melewati semua ini.Arletta sama sekali tidak menyangka CEO dari perusahaan barunya bekerja adalah pria yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang bahkan tak ingin lagi dia lihat. Tapi sepertinya takdir sedang mengajak dirinya bercanda.Sungguh, andai saja Arletta tahu Mahardika Company adal
Arletta sedikit mengangkat dagunya dan melanjutkan, “Kita harus memerhatikan besarnya gedung milik client tersebut serta kita harus menentukan budaya mana yang kental dengan Indonesia. Jika kita hanya menyebut nuansa Indonesia maka artinya luas. Indonesia kaya akan budaya. Setiap kota dari Indonesia memiliki budaya-budaya yang luar biasa indah. Di sini apa client tersebut menginginkan nuansa jawa atau menyerahkan sepenuhnya pada arsitek?”Perkataan yang terlontar dari Arletta itu sukses membuat semua orang melihatnya. Sebuah pertanyaan yang menunjukan bahwa cara pandang Arletta sangatlah cerdas. Termasuk Keevan yang sempat terdiam kala mendengar ucapan Arletta.Hening. Ruang meeting tersebut menjadi hening, tidak sama sekali ada yang bersuara. Sebagai karyawan baru, Arletta mampu membungkam karyawan lama. Cara sudut pandang Arletta menunjukkan bahwa cara berpikirnya cerdas dan teliti.Keevan belum mengatakan apa pun. Pria itu menatap dalam pancaran mata tegas Arletta. Jika dulu dia me
“Arletta? Kenapa kamu di dalam lama sekali? Apa Pak Keevan membicarakan sesuatu padamu?” Rima—rekan kerja Arletta—bertanya pada Arletta yang baru saja keluar dari ruang meeting. Padahal meeting sudah sejak tadi selesai, tetapi Arletta masih juga berada di ruang meeting itu.Arletta buru-buru menyeka air matanya kala melihat Rima menghampirnya. Dia tak ingin sampai Rima melihat dirinya menangis. Arletta memasang topeng pura-pura. Dia tidak mau sampai ada yang melihat kerapuhannya.“Ah … iya. Aku kan karyawan baru jadi Pak Keevan menanyakan sesuatu padaku,” dusta Arletta dengan senyuman yang sengaja dia buat-buat. Arletta tidak mungkin membiarkan orang lain tahu tentangnya.Kening Rima mengerut. Sorot mata wanita itu menatap mata Arletta yang merah seperti habis menangis. “Arletta, matamu kenapa? Apa kamu habis menangis?” tanyanya penasaran bercampur kebingungan melihat mata Arletta memerah.Arletta kembali menyeka matanya. “Tadi aku kelilipan. Di dalam banyak debu. Aku alergi debu, Rim
Arletta menjatuhkan tubuhnya kala dirinya baru saja tiba di apartemennya. Tangis Arletta pecah. Sejak bertemu lagi dengan Keevan; Arletta sudah menahan diri untuk tidak menangis. Arletta seakan dipermainkan oleh takdir. Tujuan Arletta menerima pekerjaan ini dari temannya karena dia benar-benar membutuhkan uang.Lima tahun terakhir Arletta banting tulang mencari uang. Setelah dia keluar dari rumah keluarganya; Arletta harus putus kuliah hampir dua tahun. Tahun lalu Arletta baru saja lulus kuliah. Setelah banyaknya perjuangan yang harus dia lalui akhirnya Arletta bisa menyelesaikan pendidikannya.Butuh perjuangan yang tak mudah untuk Arletta melewati badai kehidupannya. Jatuh bangun, dia lakukan sendiri. Tak terhitung banyaknya air mata yang sudah dia keluarkan demi bertahan sampai detik ini.Tak pernah Arletta sangka, dia akan kembali bertemu dengan Keevan. Karena memang terakhir Arletta mendengar Keevan tengah menempuh pendidikan S2 di New York. Tapi kenapa Keevan harus pulang ke Jaka
Arletta tersenyum lembut dan membawa tangannya mengelus pipi bulat Keanu sambil berkata, “Papa nggak membuat Mama menangis, Sayang. Mata Mama merah karena debu.”Arletta memang membenci Keevan, bahkan dia selalu ingin menghindar dari Keevan, akan tetapi dia tak pernah menjelek-jelekan sosok Keevan di mata Keanu. Meskipun dia tidak akan memberi tahu Keevan tentang Keanu, tapi tetap saja dia tidak akan menjelek-jelekan Keevan di mata putranya.Alasan utama Arletta tak menjelek-jelekan Keevan di hadapan Keanu adalah karena dia tidak ingin meninggalkan jejak memori keburukan sosok ayah biologis putranya. Jika hal buruk yang diberi tahu, pasti Keanu akan sedih. Dan Arletta tidak pernah mungkin membiarkan putranya merasakan kesedihan.“Mama nggak bohong kan?” tanya Keanu sembari memiringkan kepalanya, menatap lekat Arletta, meminta ibunya untuk berkata jujur.“No, Sayang. Mama nggak bohong sama Keanu.” Arletta tersenyum rapuh. Dalam hati Arletta merasa bersalah karena harus membohongi putra
Pagi menyapa, Arletta sudah bersiap-siap untuk pergi ke supermarket. Wanita itu berpenampilan cantik dan segar, meski hanya memakai riasan tipis. Rambut messy bun menonjolkan leher jenjang nan indah. Ditambah dress polos berwarna navy dengan model tali spaghetti, membuat Arletta tampil sangat cantik.Sejatinya, Arletta memang sudah memiliki paras yang sangat cantik. Wanita itu tidak perlu lagi memakai riasan tebal hanya demi agar terlihat cantik. Dia sudah memiliki paras cantik secara natural.Arletta menatap ke cermin sebentar, melihat penampilannya sudah rapi. Matanya memang masih sedikit sembab. Untungnya, dia pintar merias di bagian mata, agar tidak terlalu sembab.Arletta ingin menata lagi hatinya. Sekalipun dia kembali dipertemukan dengan Keevan, tetap tidak akan mengubah apa pun. Wanita itu akan bersikap professional, menganggap Keevan hanyalah bos di mana dia bekerja.“Bu, biar saya saja yang pergi ke supermarket.” Mirna—pengasuh Keanu berucap dengan nada yang sopan pada Arlet
Sepanjang perjalanan, Arletta hanya diam dengan sorot mata yang membendung kemarahan tertahan. Hatinya hancur berkeping-keping dan tersayat, jika berada di dekat Keevan Danuarga. Tidak pernah dia sangka kalau dirinya akan kembali berada di dekat pria yang tak pernah ingin dia lihat lagi di muka bumi ini. Andai saja bukan karena membutuhkan uang, sudah pasti dia memilih untuk pergi sejauh mungkin.“Turunkan aku saja di sini.” Arletta berucap dengan nada dingin pada Keevan, tak melihat ke arah wanita itu sama sekali. Dia lebih memilih Keevan menurunkannnya di halte daripada harus berhenti di lobby apartemennya. Bukan tanpa alasan, Arletta takut kalau sampai Keevan melihat Keanu. Arletta tidak akan membiarkan itu sampai terjadi.“Kenapa kamu ingin berhenti di halte? Apartemenmu masih di ujung.” Keevan menatap Arletta dengan tatapan penuh curiga. Hatinya berat menurunkan Arletta di pinggir jalan.“Aku nggak mau ada yang melihat kalau aku dianter sama kamu,” tukas Arletta ketus, dan dingin