“Astaga, apa yang telah aku lakukan? Aku benar-benar sudah gila. Kenapa aku bisa sampai melakukannya? Bagaimana ini?”
Arletta menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ingatannya kembali berputar tentang kejadian tadi malam. Sentuhan Keevan, dan tatapan Keevan yang memuja setiap inci tubuhnya selalu muncul dalam benak Arletta.
Kejadian malam itu tidak akan mungkin terlupakan. Bahkan kini Arletta bisa melihat dengan jelas dari pantulan cermin banyaknya bercak kemerahan di dadanya. Sebuah tanda yang telah dibuat oleh Keevan, mengisyaratkan dia telah menjadi milik pria itu. Jika membayangkannnya, sungguh perasaan Arletta sulit digambarkan. Bahagia, sedih, dan takut melebur menjadi satu.
Arletta bahagia karena akhirnya bisa menjadi milik Keevan seutuhnya. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri ada perasaan sedih dan takut. Banyak hal yang muncul di benaknya setelah menyerahkan dirinya pada Keevan.
“Arletta, setelah ini Keevan pasti akan mencintaimu. Dia pasti akan mencintaimu.” Arletta berucap pada dirinya sendiri dan mengatakan itu penuh dengan penuh keyakinan.
Dalam benak Arletta penuh keyakinan akan Keevan membalas perasaannya. Tadi malam Arletta mengingat bagaimana Keevan memuja setiap inci tubuhnya. Dia memang sedikit mabuk, tapi dia melakukannya dengan keadaan sadar.
Arletta memilih mengganti pakaianya, dan melangkah keluar kamar. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, dia sudah terlambat untuk kuliah.
“Selamat pagi, Non,” seorang pelayan menyapa Arletta dengan sopan kala melihat Arletta keluar dari kamar.
“Pagi. Apa kamu melihat Mama dan Papaku?” tanya Arletta seraya menatap sang pelayan.
“Bapak dan ibu sudah berangkat tadi pagi sekali, Non tapi mereka mengatakan sore ini sudah pulang,” jawab sang pelayan memberitahu. “Maaf, Non. Tadi Ibu meminta saya bertanya pada Anda; kenapa Anda tadi malam pulang hingga larut malam?”
Arletta terdiam sejenak mendengar pertanyaan sang pelayan. Tampak Arletta berusaha untuk tenang dan tak panik. “Ah, itu. Tadi malam aku menonton di rumah temanku. Aku sampai lupa waktu,” jawab Arletta dengan senyuman yang dipaksakan. Terpaksa dia harus berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya.
Arletta terpaksa berbohong mengatakan menonton hingga malam. Dia tidak mungkin mengatakan dirinya menghadiri pesta kelulusan Keevan yang diadakan di klub malam. Demi bisa menghadiri pesta kelulusan Keevan, Arletta sampai meminjam kartu identitas milik sepupunya.
Sang pelayan mengangguk paham. “Baik, Non. Nanti saya akan sampaikan pada Ibu Anda. Kalau begitu Anda sarapan dulu sebelum berangkat kuliah.”
“Nggak bisa. Aku sepertinya sarapan di kampus aja. Aku sudah terlambat,” jawab Arletta yang langsung menyambar kunci mobilnya dan berjalan terburu-buru meninggalkan rumah. Dia tidak ingin pelayannya itu banyak bertanya. Dasarnya, Arletta selalu sulit berbohong. Beruntung, kedua orang tua Arletta sering disibukan dengan pekerjaannya. Andai saja pagi ini kedua orang tuanya ada, maka Arletta sudah pasti akan mendapatkan rentetan pertanyaan.
***
Waktu menunjukan pukul dua belas siang, Arletta yang baru saja selesai kelas—dia langsung menuju kantin. Perutnya mulai terasa begitu lapar, karena tadi pagi dia belum sempat sarapan. Namun saat Arletta hendak menuju kantin, langkah Arletta terhenti kala melihat sebuah mobil sport berwarna biru memasuki halaman parkir. Seketika senyum di bibir Arletta terukir melihat mobil itu. Tentu saja Arletta mengenal siapa pemilik mobil sport itu.
“Keevan…”
Arletta berlari, menghampiri mobil sport yang kini sudah terparkir. Namun, tubuh Arletta mematung ketika dia melihat Keevan turun dari mobil bersama dengan Nasha—teman satu angkatannya. Terlebih Keevan memeluk tubuh Nasha, begitu mesra di hadapan banyak orang yang melihat mereka.
“Arletta?” Keevan sedikit terkejut saat Arletta berada di hadapannya.
“K-Keevan, k-kamu—” Arletta menggigit bibir bawahnya, melihat Keevan yang tampak begitu mesra dengan seorang gadis. Dia ingin bertanya tapi begitu banyak orang disekelilingnya yang memperhatikan dirinya.
“Ikut aku.” Keevan langsung menarik tangan Arletta sedikit kasar, menjauh dari orang-orang yang sejak tadu memperhatikan mereka.
“Keevan, tanganku sakit.” Arletta merintih kesakitan saat Keevan mencengkram tangannya dengan erat.
“Ada apa kamu menemuiku?” tanya Keevan seraya melepaskan cengkraman tangannya. Iris mata cokelatnya, menatap dingin Arletta yang berdiri di hadapannya.
“K-kamu dan Nasha memiliki hubungan apa? K-kenapa kalian dekat sekali?” Arletta balik bertanya dengan tatapan mata yang begitu sendu. Tenggorokannya bagaikan tercekat jika dia hanya diam saja.
“Itu bukan urusanmu, Letta. Jangan mencampuri urusanku,” jawab Keevan menekankan dan penuh ketegasan di sana.
“Keevan, tapi kita sudah—”
“Arletta Pradipta, jika kamu berpikir karena kita berhubungan seks dan setelah itu kita menjadi sepasang kekasih, kamu salah besar! Aku nggak pernah terpikir hal itu! Lebih baik kamu pulang dan jangan menggangguku lagi!” seru Keevan dengan tatapan yang mulai menajam.
Mata Arletta berkaca-kaca ketika mendengar ucapan Keevan. Hatinya begitu perih dan hancur bagai sebilah pisau yang tertancap di hatinya. Saat bulir air mata Arletta hendak menetes, dengan cepat Arletta menahannya. “Jadi tadi malam nggak ada artinya sama sekali untuk kamu?” tanyanya dengan suara parau.
Keevan membuang napas kasar. “Just one night stand, Letta. Jangan berlebihan. Kamu tau gimana aku. Aku nggak pernah serius sama perempuan,” jawabnya tegas.
Arletta tidak sanggup lagi menahan bulir air matanya. Harusnya dia tahu, Keevan tidak pernah menginginkannya. Harusnya dia tidak boleh menaruh harapan lebih pada Keevan. Tapi, Arletta tidak pernah mampu menahan dirinya. Dia selalu mencintai Keevan. Tidak peduli apapun yang menghalanginya. Arletta hanya menginginkan Keevan.
“A-apa sama sekali aku nggak pernah penting di hidup kamu, Keevan?” Arletta kembali bertanya dengan suara yang mulai serak, akibat menahan tangisnya.
“Arletta, apa yang terjadi malam itu hanya akan ada di malam itu. Aku harap kamu nggak mikir lebih tentang aku,” ucap Keevan menegaskan kembali. “Sebentar lagi aku akan ke New York. Aku akan melanjutkan sekolah di sana dan meninggalkan Jakarta. Aku harap, kamu lupain semuanya. Termasuk kejadian tadi malam.”
Mata Arletta semakin memerah. Dia terus menggigit bibir bawahnya, menahan tangisnya. “K-kamu akan pergi ke New York?”
“Ya, aku akan melanjutkan S2 di sana,” jawab Keevan dingin.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau mau ke New York, Keevan?”
“Bukankah tadi aku sudah mengatakannya?”
“Maksudku sebelumnya, kamu nggak pernah bilang tentang kamu yang ingin melanjutkan S2 di New York.”
“Nggak penting untuk kamu tahu.”
“Itu penting, Keevan! Kamu tau kalau aku cinta sama kamu! Apa pun tentang kamu adalah penting untuk aku!!”
Keevan terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Arletta. Lagi dan lagi Arletta mengungkapkan perasaan padanya. Sejak di awal ospek, Arletta memang terang-terangan mengatakan menyukai dirinya.
Beberapa kali Keevan mengabaikan junior kampusnya ini tetapi Arletta tetap keras kepala. Awalnya Keevan pikir setelah dirinya lulus akan terbebas dari kejaran Arletta. Namun apa yang Keevan pikir salah. Kejadian tadi malam membuat Arletta memiliki pengharapan lebih padanya.
“Pulanglah, aku nggak memiliki waktu untuk bicara.” Keevan tak mengindahkan ungkapan cinta Arletta tadi.
“Kamu nggak punya waktu untuk aku tapi kamu punya waktu untuk Nasha?” tanya Arletta parau dan lemah.
“Sejak awal aku udah bilang jangan berharap sama aku, Letta. Apa yang terjadi tadi malam nggak akan merubah apa pun.” Keevan menjawab dengan tegas dan penuh penekanan.
“Kamu jahat, Keevan!” Air mata Arletta tumpah membasahi pipinya. Dia tidak lagi sanggup menahan air matanya. “Aku benci kamu, Keevan! Aku benci kamu!”
Dengan isak tangis yang kencang, Arletta berlari meninggalkan Keevan yang masih tidak bergeming dari tempatnya. Keevan bungkam saat melihat Arletta menangis. Entah kenapa Keevan merasakan sesuatu di hatinya.
Pertama kalinya Keevan melihat Arletta menangis seperti ini. Ada rasa keinginan Keevan mengejar Arletta, namun dia merasakan kakinya yang memberat hingga tidak bisa mengejar Arletta.
Satu bulan kemudian… Arletta menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. Sebuah testpack dengan hasil dua garis membuat tubuh Arletta membatu. Dia menggelengkan kepalanya meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Tapi tidak, apa yang dia lihat ini tidaklah salah. Hasil yang tertera di hadapannya sangatlah nyata.“Tidak, ini tidak mungkin.” Arletta menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di lantai. Bulir air matanya mulai berlinang membasahi pipinya. Dia tampak begitu ketakutan. Dia bahkan tidak tahu harus bagaimana. Saat ini dia mengandung anak Keevan—pria yang jelas-jelas telah membuangnnya layaknya sampah.Sejak di mana Keevan memintanya untuk tidak lagi mengganggu, Arletta sudah menjauh dari hidup Keevan. Tapi sekarang? Dia harus di hadapakan dengan kenyataan mengandung anak dari pria yang telah membuangnya. Arletta tidak tahu harus bagaimana sekarang, dia tidak mungkin menggugurkan bayi yang ada di kandungannya.Membunuh bayi yang ada di kandungannya adalah sebuah dosa besar yang tid
Lima tahun berlalu… Seorang pria berperawakan tampan, dengan tubuh tinggi tegap melangkahkan kakinya keluar dari lobby bandara. Pria itu memiliki struktur wajah yang sempurna. Hidung mancung menjulang melebihi bibir tipis merah muda. Rahang tegas dan ditumbuhi bulu-bulu membuat pria itu benar-benar terlihat jantan dan matang.Keevan Danuarga—seorang arsitek muda baru saja kembali dari New York. Setelah lima tahun meninggalkan Jakarta, membuat Keevan sedikit merindukan kota kelahirannya. Dan tahun ini, Kaivan kembali ke Jakarta karena harus memimpin perusahaan keluarganya. Jakarta adalah kota kelahiran dan kota di mana dirinya dibesarkan.“Selamat pagi, Pak Keevan,” sapa Angga—asisten pribadi Keevan. Pria dengan berpakaian formal kantor itu menyambut Keevan dengan penuh sopan.“Apa jadwalku hari ini, Angga?” tanya Keevan dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Hari ini kita memiliki meeting dengan para arsitek, Pak. Perusahaan pribadi milik Anda beberapa tahun ini berkembang sangat
“Keevan.”Arletta bergumam lirih memanggil nama yang sudah lama tak pernah keluar dari mulutnya. Dia kembali dipertemukan dengan sosok pria yang telah berhasil menorehkan luka begitu dalam padanya.Jantung Arletta berdetak semakin kencang tak karuan mendengar nama yang sudah lama tak dia sebut. Debaran jantungnya tetap sama. Dia tetap berdebar melihat keberadaan sosok pria yang sudah lama tak dia jumpai.Mata Arletta berembun bahkan nyaris mengeluarkan air mata. Akan tetapi, dia tak akan membiarkan air matanya terjatuh membasahi pipinya. Di hadapan semua orang, dia tidak akan menjadi sosok yang lemah. Arletta menggelengkan kepalanya tegas, berusaha meneguhkan hatinya bahwa dirinya kuat dan mampu melewati semua ini.Arletta sama sekali tidak menyangka CEO dari perusahaan barunya bekerja adalah pria yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang bahkan tak ingin lagi dia lihat. Tapi sepertinya takdir sedang mengajak dirinya bercanda.Sungguh, andai saja Arletta tahu Mahardika Company adal
Arletta sedikit mengangkat dagunya dan melanjutkan, “Kita harus memerhatikan besarnya gedung milik client tersebut serta kita harus menentukan budaya mana yang kental dengan Indonesia. Jika kita hanya menyebut nuansa Indonesia maka artinya luas. Indonesia kaya akan budaya. Setiap kota dari Indonesia memiliki budaya-budaya yang luar biasa indah. Di sini apa client tersebut menginginkan nuansa jawa atau menyerahkan sepenuhnya pada arsitek?”Perkataan yang terlontar dari Arletta itu sukses membuat semua orang melihatnya. Sebuah pertanyaan yang menunjukan bahwa cara pandang Arletta sangatlah cerdas. Termasuk Keevan yang sempat terdiam kala mendengar ucapan Arletta.Hening. Ruang meeting tersebut menjadi hening, tidak sama sekali ada yang bersuara. Sebagai karyawan baru, Arletta mampu membungkam karyawan lama. Cara sudut pandang Arletta menunjukkan bahwa cara berpikirnya cerdas dan teliti.Keevan belum mengatakan apa pun. Pria itu menatap dalam pancaran mata tegas Arletta. Jika dulu dia me
“Arletta? Kenapa kamu di dalam lama sekali? Apa Pak Keevan membicarakan sesuatu padamu?” Rima—rekan kerja Arletta—bertanya pada Arletta yang baru saja keluar dari ruang meeting. Padahal meeting sudah sejak tadi selesai, tetapi Arletta masih juga berada di ruang meeting itu.Arletta buru-buru menyeka air matanya kala melihat Rima menghampirnya. Dia tak ingin sampai Rima melihat dirinya menangis. Arletta memasang topeng pura-pura. Dia tidak mau sampai ada yang melihat kerapuhannya.“Ah … iya. Aku kan karyawan baru jadi Pak Keevan menanyakan sesuatu padaku,” dusta Arletta dengan senyuman yang sengaja dia buat-buat. Arletta tidak mungkin membiarkan orang lain tahu tentangnya.Kening Rima mengerut. Sorot mata wanita itu menatap mata Arletta yang merah seperti habis menangis. “Arletta, matamu kenapa? Apa kamu habis menangis?” tanyanya penasaran bercampur kebingungan melihat mata Arletta memerah.Arletta kembali menyeka matanya. “Tadi aku kelilipan. Di dalam banyak debu. Aku alergi debu, Rim
Arletta menjatuhkan tubuhnya kala dirinya baru saja tiba di apartemennya. Tangis Arletta pecah. Sejak bertemu lagi dengan Keevan; Arletta sudah menahan diri untuk tidak menangis. Arletta seakan dipermainkan oleh takdir. Tujuan Arletta menerima pekerjaan ini dari temannya karena dia benar-benar membutuhkan uang.Lima tahun terakhir Arletta banting tulang mencari uang. Setelah dia keluar dari rumah keluarganya; Arletta harus putus kuliah hampir dua tahun. Tahun lalu Arletta baru saja lulus kuliah. Setelah banyaknya perjuangan yang harus dia lalui akhirnya Arletta bisa menyelesaikan pendidikannya.Butuh perjuangan yang tak mudah untuk Arletta melewati badai kehidupannya. Jatuh bangun, dia lakukan sendiri. Tak terhitung banyaknya air mata yang sudah dia keluarkan demi bertahan sampai detik ini.Tak pernah Arletta sangka, dia akan kembali bertemu dengan Keevan. Karena memang terakhir Arletta mendengar Keevan tengah menempuh pendidikan S2 di New York. Tapi kenapa Keevan harus pulang ke Jaka
Arletta tersenyum lembut dan membawa tangannya mengelus pipi bulat Keanu sambil berkata, “Papa nggak membuat Mama menangis, Sayang. Mata Mama merah karena debu.”Arletta memang membenci Keevan, bahkan dia selalu ingin menghindar dari Keevan, akan tetapi dia tak pernah menjelek-jelekan sosok Keevan di mata Keanu. Meskipun dia tidak akan memberi tahu Keevan tentang Keanu, tapi tetap saja dia tidak akan menjelek-jelekan Keevan di mata putranya.Alasan utama Arletta tak menjelek-jelekan Keevan di hadapan Keanu adalah karena dia tidak ingin meninggalkan jejak memori keburukan sosok ayah biologis putranya. Jika hal buruk yang diberi tahu, pasti Keanu akan sedih. Dan Arletta tidak pernah mungkin membiarkan putranya merasakan kesedihan.“Mama nggak bohong kan?” tanya Keanu sembari memiringkan kepalanya, menatap lekat Arletta, meminta ibunya untuk berkata jujur.“No, Sayang. Mama nggak bohong sama Keanu.” Arletta tersenyum rapuh. Dalam hati Arletta merasa bersalah karena harus membohongi putra
Pagi menyapa, Arletta sudah bersiap-siap untuk pergi ke supermarket. Wanita itu berpenampilan cantik dan segar, meski hanya memakai riasan tipis. Rambut messy bun menonjolkan leher jenjang nan indah. Ditambah dress polos berwarna navy dengan model tali spaghetti, membuat Arletta tampil sangat cantik.Sejatinya, Arletta memang sudah memiliki paras yang sangat cantik. Wanita itu tidak perlu lagi memakai riasan tebal hanya demi agar terlihat cantik. Dia sudah memiliki paras cantik secara natural.Arletta menatap ke cermin sebentar, melihat penampilannya sudah rapi. Matanya memang masih sedikit sembab. Untungnya, dia pintar merias di bagian mata, agar tidak terlalu sembab.Arletta ingin menata lagi hatinya. Sekalipun dia kembali dipertemukan dengan Keevan, tetap tidak akan mengubah apa pun. Wanita itu akan bersikap professional, menganggap Keevan hanyalah bos di mana dia bekerja.“Bu, biar saya saja yang pergi ke supermarket.” Mirna—pengasuh Keanu berucap dengan nada yang sopan pada Arlet