Pria itu membuka pakaian Aji Suteja, matanya melotot karena ini baru pertama kalinya dia melihat luka seperti itu. "Ajian apa ini?" Batinnya. Wajahnya memucat dan tubuhnya bergidik ngeri. Pantas saja Baladewa seperti mencium aroma daging bakar."Ekhhm!" Baladewa Berdehem untuk menyembunyikan keterkejutannya. Luka bakar itu berwarna merah kebiruan berbentuk telapak tangan. Pria itu mendongak, "Memang bekas lukanya tidak terlalu parah tapi organ di bawah telapak ini yang terluka parah. Tolong bantu dia duduk, aku akan meracik ramuan.""Baik Kisanak," ujar Kebo Ireng.Sambil meracik obat Baladewa bertanya, "Ngomong-ngomong Ajian apa itu?""Entahlah ..ini pertama kalinya aku melihat ajian yang mengerikan seperti itu," ujar Wismaya. Dia menatap sahabatnya yang sedang terkulai lemas. Lalu dia menyadari sesuatu, seketika matanya melebar dan mulutnya menganga, "Itu luka yang ada pada jasad Damarjati!"Tangan Baladewa saat mengaduk ramuan terhenti, "Apakah yang dia maksud Damarjati Romonya Ca
Mereka berdua mengangguk, Seno Aji berkata dengan lirih, "Memang bukan dia orangnya.""Tapi orang dalam gambar itu memiliki nama yang sama dengan orang yang Tuan Baladewa sebutkan. Jadi kita harus bertemu dengannya, selain untuk menghilangkan bekas luka itu, kita juga bisa memastikannya," ujar Kebo Ireng."Apa tidak berbahaya?" Tanya Seno Aji, wajahnya begitu tegang."Posisi kita sekarang memang sedang terpojok. Jadi kita harus ambil resiko ini," ujar Wismaya.Seno Aji mengangguk, "Aku setuju!"Begitu pula Kebo Ireng, "Aku juga."Wismaya duduk di sisi Aji Suteja, dia memandangi tubuh temannya yang tidak berdaya dengan iba. Pria itu berkata, "Kita harus bisa membujuknya, Danadyaksa berhasil melukai salah satu dari kita. Aku takut dia akan mencari orang dengan luka seperti ini. Jadi dalam dua hari kita harus kembali ke rumah masing-masing."Kebo Ireng melihat sekeliling ruangan, dia membuka jendela dan matanya menyisir ke area luar. Semua rumah tidak berpenghuni namun obor di biarkan me
Baladewa hanya menoleh ke arah Kebo Ireng dan tersenyum simpul. Sungguh expresi yang menyeramkan seperti seorang pembunuh berdarah dingin.Kebo Ireng menelan salivanya, jarinya menunjuk ke arah depan dengan wajah yang memucat, dia berteriak, "Di depan sana jalan buntu!""Lalu?" Ujar Baladewa dengan sudut bibir terangkat. Kebo Ireng tertegun, dia menoleh ke belakang. Wajah Wismaya dan Seno Aji terlihat pucat, mereka terlihat pasrah dengan keadaan."Kalian harus percaya kepadaku sepenuhnya," ujar pria itu. Dia menarik tali pengengkang dan menambahkan kecepatan, "Berpegangan!"Mereka bertiga hanya bisa menurut dan berpegangan lalu berteriak saat kereta kuda itu benar-benar menabrak semak belukar. "Huaaaa!"Wismaya dan Seno Aji memeluk tubuh Aji Suteja. Kereta itu tidak menabrak tapi menembus ke dalam semak belukar.Beberapa detik mereka berada di tempat yang berwarna hitam dan hampa, hingga sebuah titik putih terlihat semakin lama semakin melebar dan menyilaukan.Mereka telah melewati r
Kebo Ireng dan Seno Aji terkejut, begitu pula dengan Aji Suteja yang langsung membuka matanya lebar-lebar. Kebo Ireng merasa tertipu, dia menghunuskan pedangnya. Rahangnya mengatup dan sorot matanya tajam. Sedangkan Seno Aji langsung loncat dan berdiri di sisi Aji Suteja. Mereka berdua siaga, "Kalian menjebak kami rupanya!" Teriak Seno Aji. "Paman Guru dan kamu Wismaya ..beraninya kalian menghianati kami!" Ujar Kebo Ireng, dia merasa sangat kecewa. Wismaya bersikap tenang, "Itu tidak benar. Aku juga tidak tahu jika Ranu Baya adalah Arya Balaaditya." Kebo Ireng mencibir, "Tapi kamu langsung mengenalinya." "Tentu saja aku mengenalinya, kita satu seperguruan. Paman tolong jelaskan," Wismaya terlihat gelisah, dia tidak mau para sahabatnya salah paham. Aji Suteja hanya bisa mengamati, mungkin karena pertolongan Baladewa dan Ranu Baya alias Arya Balaaditya membuatnya tersentuh. Naladhipa menepuk pundak Kebo Ireng dan menatap matanya dengan lembut, "Turunkan pedangmu, kita bicarakan d
Prajurit itu menggoyang-goyangkan tubuh Tuannya, dia bahkan memeriksa denyut nadi dan memastikan bahwa Danadyaksa masih bernafas. Namun Danadyaksa tetap bergeming, prajurit itu mengernyitkan dahi karena bingung."Maaf Tuan, dia seperti mayat hidup," ujar salah satu warga dengan lirih dan hati-hati Prajurit itu mengangguk dan berkata, "Bantu aku membawa Tuan Danadyaksa masuk ke dalam."Mereka berdua mengangguk dan membawa tubuh Danadyaksa. Setelah dua orang warga itu pergi, semua prajurit berkumpul. Orang kepercayaan Danadyaksa yang bernama Ki Bayung memerintahkan salah satu pengawal untuk memanggil tabib.Berita perampokan rumah Mahapatih Danadyaksa sampai ke telinga Adi Wijaya dalam waktu yang singkat. Tentu membuat Adi Wijaya geram, apalagi saat mengetahui keadaan adik iparnya yang seperti mayat hidup itu.Sedangkan Permaisuri Puspita Sari dan cucunya Pangeran Adhinatha mengunjungi kediaman Danadyaksa.Puspita Sari tidak mau kehilangan adik semata wayangnya sekaligus satu-satunya
Saat pintu terbuka, aroma menyengat menusuk indera penciuman Adhinatha, pemuda itu menutupi hidungnya dengan punggung tangannya. "Ya ampun! Bau apa ini," ujar Adhinatha. Kamar itu dalam keadaan gelap, pengap, berantakan dan bau arak. Kendi-kendi bekas arak berserakan, pemuda itu berjalan dengan perlahan lalu membuka tirai dan jendela. Walaupun sudah sore, tapi setidaknya ada sedikit cahaya dan udara yang masuk untuk mengurangi kepengapan dan aroma tidak sedap. Mata Adhinatha melotot, dia hampir pingsan saat melihat temannya tergeletak dan bertelanjang dada di atas ranjang. Pemuda tampan dan manis itu terlihat menyedihkan, tubuhnya kurus dan seperti tidak mandi berhari-hari. Kondisinya sangat buruk walaupun dia sedang mabuk, dia biasanya selalu mengunakan pakaian terbaik para bangsawan tapi sekarang dia seperti gembel. "Hei!! Danumaya .." panggil Adhinatha, dia berdiri di sisi ranjang dengan melipat kedua tangannya dengan angkuh. ''Humm .." Danumaya hanya berdehem, dia membuka mat
Setelah beberapa hari Danumaya mengurung diri dan terlihat kacau, akhirnya dia bisa berpikir secara jernih."Dewata pasti telah menyiapkan gadis yang terbaik untukmu? Sekarang bersihkan dirimu dan temani pangeran. Pelayan akan membersihkan kamar ini," ujar Utari, wanita itu mengambil nampan makanan tadi siang yang masih utuh. Dia pergi meninggalkan Danumaya yang terpaku.Danumaya berusaha menyadarkan dirinya agar lebih tabah, lalu turun dari ranjang dan berjalan dengan sempoyongan menuju pemandian.Tentu saja kenyataan ini bukan hal yang mudah untuk dia lewati. Dia tahu bahwa kelak Candramaya memang akan menikah. Namun kenapa secepat ini? Itulah pertanyaan yang selalu terngiang di kepalanya. Dengan frustasi pemuda itu memukul permukaan air dengan keras.Byurr!!Pemuda itu berendam di kolam dengan tatapan kosong. Dia hanya menggunakan selembar kain untuk menutupi pinggang dan area sensitifnya. Kolam itu bertabur kelopak bunga mawar dan airnya sangat segar dan jernih. Dadanya yang bida
Adhinatha mengeluarkan pedangnya dan mulai mendekati arah cahaya itu. Ssssttt!!! Terdengar suara desisan hewan melata yang membuat tubuh bergidik ngeri. Adhinatha menajamkan mata dan pendengarannya. Dia bersiaga untuk menyerang mahluk itu. Tentu Danumaya tidak tinggal diam, dia melepaskan tangan gadis itu dan mengikuti langkah temannya. Jangan sampai ular itu menelan Putra Mahkota Harsaloka. Mereka berdua sama-sama masuk ke sumber cahaya yang perlahan hilang bersama kegelapan. Kini hanya mengikuti suara daun kering yang terinjak. Mereka berdua berlari masuk dan menyisir di mana suara itu berasal tapi tidak menemukan apapun hingga terdengar sebuah teriakan. "Huaaa!!" Gadis asing itu berteriak. Mereka berdua kecolongan. Danumaya dan Adhinata berlari menuju gadis itu berada. Seekor ular besar melilit tubuh gadis itu hingga memutahkan darah. Ular itu berdesis dan hendak mematuknya, namun Danumaya segera melompat dan menendang kepala ular itu dengan keras hingga tersungkur ke tana
Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga