Saat pintu terbuka, aroma menyengat menusuk indera penciuman Adhinatha, pemuda itu menutupi hidungnya dengan punggung tangannya. "Ya ampun! Bau apa ini," ujar Adhinatha. Kamar itu dalam keadaan gelap, pengap, berantakan dan bau arak. Kendi-kendi bekas arak berserakan, pemuda itu berjalan dengan perlahan lalu membuka tirai dan jendela. Walaupun sudah sore, tapi setidaknya ada sedikit cahaya dan udara yang masuk untuk mengurangi kepengapan dan aroma tidak sedap. Mata Adhinatha melotot, dia hampir pingsan saat melihat temannya tergeletak dan bertelanjang dada di atas ranjang. Pemuda tampan dan manis itu terlihat menyedihkan, tubuhnya kurus dan seperti tidak mandi berhari-hari. Kondisinya sangat buruk walaupun dia sedang mabuk, dia biasanya selalu mengunakan pakaian terbaik para bangsawan tapi sekarang dia seperti gembel. "Hei!! Danumaya .." panggil Adhinatha, dia berdiri di sisi ranjang dengan melipat kedua tangannya dengan angkuh. ''Humm .." Danumaya hanya berdehem, dia membuka mat
Brak!!!Suara pintu terdobrak paksa, membuat Candramaya kecil langsung loncat ke dalam pangkuan Ibunya. Wanita berusia 27 tahun yang duduk di sisi ranjang dengan perasaan was-was. Padmasari mendekap tubuh munyil putrinya yang menggigil ketakutan. Tangannya mengelus pucuk surai Candramaya menyalurkan rasa aman dan nyaman. Padmasari menatap suaminya dengan cemas. Dia sedang berdiri di depan pintu kamar, sambil memegang pedang yang masih di dalam sarungnya.Terdengar suara rintik hujan yang mulai terdengar deras begitu juga dengan suara gaduh pertaruangan. "Menyingkir! Kalian bukan tandinganku!""Dasar pengacau! Serang!"Cuaca malam itu sangat buruk. Menciptakan suasana mencengkam, seiring dengan suara eraman dan teriakkan. Damarjati menoleh ke arah istrinya yang sedang memeluk putri semata wayangnya. Tatapannya dalam dan lekat, begitu juga perasaannya yang berkecambuk. Setelah menyaksikan para pengawalnya yang sedang bertarung dengan penyusup mulai terlihat kewalahan.Candramaya kec
"Akhh!"Damarjati meringis, dia menekan dadanya yang terasa remuk dan terbakar. Ajian pria itu tidak asing di mata Damarjati. Saat mengingatnya mata Damarjati membulat, dia bergumam, "Ajian Tapak Geni!"Padmasari berlari untuk menghampiri suaminya yang duduk terkulai di lantai. Tubuhnya menunduk meraih tubuh suaminya yang terlihat lemah.Wajah Padmasari pucat saat melihat bekas telapak tangan berwarna hitam pada kain yang Damarjati kenakan. Dan buru-buru menyibak kain yang menutup dada suaminya.Mata Padmasari memerah dan berair, dia sangat sedih saat melihat dada suaminya yang terkena pukulan berwarna merah kehitaman seperti daging gosong. Dengan bibir yang bergetar dia berkata, "Ini Ajian Tapak Geni, kang mas!" Ucapnya."Hosh! Hosh!" Nafas Damarjati terdengar berat. "Kau benar!" Padmasari sadar, pria ini bukan tandingannya ataupun suaminya. Namun Padmasari ataupun Damarjati tidak akan pernah tunduk kepada calon raja yang gemar dengan selangkangan wanita. Pria bengis itu terlihat
Pria bengis itu menangkis tangan rekannya dengan kejam dan tatapan jijik. Tanpa memperdulikan tata krama, bahwa yang dia abaikan adalah orang yang jauh lebih tua.Tanpa ragu dia melangkah untuk membuktikan apa yang dia dengar.Sadar dalam bahaya, saat ada sepasang kaki menghampiri tempat persembunyiannya. Candramaya menyadarkan dirinya agar tetap tenang dengan apa yang baru dia saksikan.Dia masih kecil. Mampukah dia bertahan?Kematian kedua orang tuanya adalah sebuah pukulan keras yang mengguncang psikisnya.Candramaya kecil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Agar bisa mengingat jaba mantra yang selalu di ajarkan ibunya. Mulut gadis kecil itu komat-kamit, berusaha fokus di kala tubuhnya bergetar hebat."Kanjeng Ibu, Putri Tanjung Kidul! Butakan mata yang bisa melihat! Tulikan telinga yang bisa mendengar. Tubuhku tak terlihat bagaikan asap. Siang dan malam menjadi satu yang ada hanya kehampaan."Keris kecil itu bergerak. Dari ujungnya
"Di mana Candramaya?""Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan.Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang.Bagaimana ini?Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya?"Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu."Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya.Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman.Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya.
Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya. Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan. Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan. "Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya
"Tentu ada, Gusti"Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya. Adi Wijaya terpojok sekarang!Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu."Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar. Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"Candramaya men
Klekkk!!Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat."Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung."Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malik Rupa.Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam.Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis."Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas."Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karp