“Pa, itu Kakak!” Rogen berseru pada Dypta, lalu mereka berjalan mendekat. Tania mengembangkan senyum lebar menyambut orang-orang kesayangannya. Hari ini adalah hari wisuda Tania. Setelah lebih kurang empat tahun menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi bergengsi, akhirnya Tania berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan predikat cumlaude. Ia membuat bangga kedua orang tuanya. “Selamat ya, Sayang …” “Makasih, Mommy.” Tania menyambut pelukan Audry di tubuhnya. “Kakak hebat, Mommy bangga sama Kakak,” ucap Audry terharu. Bagaimana tidak. Tania adalah lulusan terbaik tahun ini di fakultasnya. “Mommy juga hebat, Tata begini adalah berkat Mommy dan Om juga,” ujar Tania sambil melirik Dypta yang berdiri tepat di sebelah Audry. Selama ini kedua orang tuanyalah yang paling berjasa menyokong kesuksesannya. Dypta menerbitkan senyum dari bibirnya. Sama seperti yang dilakukan Audry tadi, lelaki itu memberikan pelukan hangat untuk sang putri. Tania memejamkan matanya. Sekian tahun berl
Tania berbaring sambil memandangi satu demi satu foto-foto wisudanya tempo hari. Ada foto bersama orang tua dan adik-adik, teman-teman, hingga dosennya. Jari Tania berhenti menggulir menu di ponsel. Fotonya berdua dengan Dypta begitu menarik perhatiannya. Di foto itu Tania berdiri bersisian dengan Dypta. Lelaki itu merangkul punggungnya, sedangkan Tania menggenggam buket mawar merah. Buket bunga itu merupakan pemberian Dypta untuknya. Tanpa sadar senyum terselip di bibir Tania. Tania kemudian meletakkan ponsel. Ia beralih pada buket bunga yang diletakkannya di nakas. Tania mengambil lalu menciumnya. Pintu yang tiba-tiba terbuka membuat Tania terkejut. Ia langsung menyimpan senyum dan meletakkan buket bunga itu kembali ke tempatnya ketika mengetahui Audrylah yang datang. “Mommy boleh masuk?” tanya Audry dari sisi pintu. “Masuk aja, Mommy.” Audry menarik langkah menghampiri Tania. Ia ikut duduk di tepi ranjang bersama sang putri. Sepasang mata Audry tidak lepas dari buket bunga di
Pesawat yang membawa Tania dan sahabatnya Claudia baru saja mendarat dengan mulus di Phuket International Airport. Kedua gadis itu tersenyum lebar membayangkan liburan indah mereka selama beberapa hari ke depan.Dari bandara mereka langsung menuju ke hotel setelah taksi yang sebelumnya dipesan khusus datang menjemput. Tania dan Claudia bersahabat dekat. Sebagai best friend forever keduanya sudah saling mengenal luar dalam satu sama lain. Hanya saja tentu Tania tidak akan berbagi rahasia besarnya mengenai Dypta."Bokap nyokap lo bilang apa, Ta?" tanya Claudia pada Tania dalam perjalanan menuju hotel."Tentang apa?" Tania membuka kacamata hitamnya lalu memasukkan ke dalam tas."Kita liburan ke sini.""Nggak bilang apa-apa sih, paling cuma disuruh jaga diri baek-baek.""Enak banget ya bokap nyokap lo." Ada nada cemburu dalam nada suara Claudia.Segaris senyum terbit di bibir Tania. Secara otomatis wajah Audry dan Dypta melintas di depan matanya."Mommy dan Om Dypta emang baik banget," g
Titania Tamara menyandarkan punggung setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Hingga detik ini debar jantungnya masih tak terkendali. Emosinya mengubun-ubun mengingat apa yang baru saja dialaminya.Bagaimana mungkin pria itu bisa masuk ke kamar lalu dengan leluasa menyaksikan pergerakannya? Ingin rasanya Tania melaporkan pria itu pada petugas hotel.Tania beranjak dari sisi pintu. Ia segera memakai pakaiannya dengan terburu-buru. Khawatir kalau-kalau orang itu masuk lagi seperti maling.Tania langsung melirik ke arah pintu ketika terdengar ketukan di sana. Jantungnya kembali menghentak, sementara matanya menatap nyalang ke arah tersebut. Kalau-kalau yang datang adalah orang tadi.“Tata! Buka pintunya, Ta!”Seketika Tania merasa lega ketika mendengar suara Claudia.“Muka lo kenapa jadi tegang gitu?” tanya Claudia setelah Tania membuka pintu dan mendapati wajah tegang sahabatnya.“Lo dari mana aja, Clau? Tadi tuh ada cowok mesum masuk ke sini,” ucap Tania jengkel. Ia masih merasa ger
Empat hari di Phuket, Tania dan Claudia mengakhiri liburan mereka. Keduanya kembali membawa banyak pengalaman baru. Namun yang paling berkesan bagi Tania adalah insiden di kamar hotel.Claudia menebar senyum lebar begitu melihat kekasihnya sudah menanti di terminal kedatangan.“Ta, gue duluan ya! Lo gimana? Mau bareng sama gue?”“Gue dijemput Om Dypta,” jawab Tania.“Terus Om Dypta-nya mana?”“Mungkin lagi di jalan, paling bentar lagi nyampe.” Tania memandang jam tangannya.“Ya udah, gue duluan.” Claudia meninggalkan Tania sendiri.Tania mengedarkan pandangannya mencari-cari sosok sang penjemput. Tadi sebelum berangkat Tania menelepon Dypta agar menjemputnya. Dypta pun menyanggupi. Namun sudah lebih sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan Dypta masih belum menampakkan diri.Tania baru akan berencana menelepon Dypta ketika melihat Audry beberapa meter di depannya. Perempuan itu berjalan mendekat ke arahnya.“Kak, sorry Mommy agak telat, Kakak udah lama nyampenya?”Tania menjauhkan po
“Tania, ini lho anak Tante, namanya Gatra. Ayo, Gat, kenalan dulu sama Tania.”Sepasang anak muda itu saling tatap. Begitu mata mereka bertemu keduanya membeku di tempat masing-masing. Muka Tania mendadak tegang, begitu pun dengan Gatra. Pertemuan pertama mereka yang tidak menyenangkan memberi kesan yang begitu melekat hingga saat ini.“Gat, ayo! Kenapa malah bengong? Kamu tuh ya nggak bisa ngeliat cewek cantik dikit.” Lena tersenyum sambil menarik tangan Gatra yang mendadak beku di tempatnya.Gatra langsung mengubah ekspresi. Ia menyembunyikan rasa terkejut sejauh mungkin dan bersikap sewajarnya seakan tidak ada yang terjadi. Gatra melangkah tepat ke arah Tania lalu mengulurkan tangan. “Hai, aku Gatra,” sambil menyebutkan nama.Tania tidak bereaksi apa-apa. Ia membiarkan tangan Gatra menggantung di udara. Sementara matanya menyorot pada laki-laki itu dengan tatapan menusuk.“Ta!” tegur Audry sambil menyikut Tania.Tania terpaksa mengulurkan tangan menyambut tangan Gatra sambil menyeb
Tania mendadak gelagapan. Demi apa pun ia sudah menyembunyikan rahasia hidupnya paling besar jauh di dasar hati paling dalam. Jadi kalau ada seseorang yang mengungkit bahkan hanya sekadar menyebut nama Dypta jantungnya langsung menggigil.“Kak?” Audry menegur sang putri yang membungkam mulut tiba-tiba. Ia merasa butuh jawaban tersebut detik ini juga.“Semua orang pasti pengen punya pasangan kayak Om Dypta, siapa sih yang nggak mau?” Tania berhasil memberi jawaban setelah susah payah merangkai kalimat yang pas tanpa membuat Audry jadi curiga.“Emangnya Papa gimana? Kenapa semua orang pengen punya pasangan kayak Papa?” Audry terus memancing. Well, itu pertanyaan jebakan. Audry harap Tania tidak menyadarinya.“Om Dypta baik, penyayang dan juga setia. Dan Om Dypta hanya akan menikah satu kali. Istri Om Dypta hanya Mommy.” Tania menguraikan satu demi satu poin-poin positif dari seorang Pradypta Syailendra.Audry tersenyum lebar. Senang mendengarkan sang putri menjabarkannya dengan tepat.
Gatra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin mamanya berpikir untuk menjodohkannya dengan orang yang tidak Gatra kenal? Tapi inti pertanyaannya bukan itu, melainkan, bagaimana mungkin mamanya bisa memikirkan untuk menjodohkan dirinya di zaman serba canggih begini?Gatra kira perjodohan hanya ada di film-film atau buku cerita. Nyatanya saat ini mamanya malah ikut-ikutan menjadi tokoh antagonis dalam cerita tersebut. Bagaimana Gatra tidak menyebutnya sebagai antagonis, Gatra tidak pernah percaya pada konsep perjodohan macam apa pun. Menurutnya perjodohan hanya dilakukan karena terpaksa oleh dua orang yang tidak saling mencintai. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip hidup yang Gatra pegang dengan teguh. Gatra hanya akan menikah dengan orang yang ia cintai dan juga mencintainya."Selama ini Mama nggak pernah minta apa-apa sama kamu. Tapi untuk kali ini boleh kan kalau Mama meminta?"Gatra mengembuskan napas panjang. Tidak perlu dijelaskan lagi
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama