Tania mendadak gelagapan. Demi apa pun ia sudah menyembunyikan rahasia hidupnya paling besar jauh di dasar hati paling dalam. Jadi kalau ada seseorang yang mengungkit bahkan hanya sekadar menyebut nama Dypta jantungnya langsung menggigil.“Kak?” Audry menegur sang putri yang membungkam mulut tiba-tiba. Ia merasa butuh jawaban tersebut detik ini juga.“Semua orang pasti pengen punya pasangan kayak Om Dypta, siapa sih yang nggak mau?” Tania berhasil memberi jawaban setelah susah payah merangkai kalimat yang pas tanpa membuat Audry jadi curiga.“Emangnya Papa gimana? Kenapa semua orang pengen punya pasangan kayak Papa?” Audry terus memancing. Well, itu pertanyaan jebakan. Audry harap Tania tidak menyadarinya.“Om Dypta baik, penyayang dan juga setia. Dan Om Dypta hanya akan menikah satu kali. Istri Om Dypta hanya Mommy.” Tania menguraikan satu demi satu poin-poin positif dari seorang Pradypta Syailendra.Audry tersenyum lebar. Senang mendengarkan sang putri menjabarkannya dengan tepat.
Gatra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin mamanya berpikir untuk menjodohkannya dengan orang yang tidak Gatra kenal? Tapi inti pertanyaannya bukan itu, melainkan, bagaimana mungkin mamanya bisa memikirkan untuk menjodohkan dirinya di zaman serba canggih begini?Gatra kira perjodohan hanya ada di film-film atau buku cerita. Nyatanya saat ini mamanya malah ikut-ikutan menjadi tokoh antagonis dalam cerita tersebut. Bagaimana Gatra tidak menyebutnya sebagai antagonis, Gatra tidak pernah percaya pada konsep perjodohan macam apa pun. Menurutnya perjodohan hanya dilakukan karena terpaksa oleh dua orang yang tidak saling mencintai. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip hidup yang Gatra pegang dengan teguh. Gatra hanya akan menikah dengan orang yang ia cintai dan juga mencintainya."Selama ini Mama nggak pernah minta apa-apa sama kamu. Tapi untuk kali ini boleh kan kalau Mama meminta?"Gatra mengembuskan napas panjang. Tidak perlu dijelaskan lagi
“Ta! Tania! Kamu dengar suara aku kan?” Gatra meningkatkan volume suara lantaran ia pikir Tania tidak mendengarnya.“Are you insane?” Akhirnya suara emas itu terdengar juga menjawab pertanyaan Gatra.“Apa? Kamu bilang aku gila hanya karena ngajak kamu nikah?” Gatra tertawa terbahak. “Aneh kamu, Ta. Justru karena aku masih waras makanya aku ngajak kamu nikah. Emang ada yang salah? Kalo aku gila kamu kuajak tidur bareng, bukannya nikah. Lagian kita nggak usah pura-pura bodohlah. Tujuan orang tua kita ngenalin kita adalah buat ngejodohin kita, dan ujung-ujungnya adalah pernikahan. Masa gitu aja kamu nggak ngerti?” Gatra mencerocos panjang lebar. Di ujung telepon sana Tania melongo mendengar ocehan panjang laki-laki itu. Apa yang baru saja tertangkap oleh gendang telinganya sangat mengejutkannya."Tania, hei, jangan diam aja dong! Aku tuh lagi ngomong sama kamu. Direspon dong kata-kata aku! Mau ya nikah sama aku? Kamu nggak usah takut soal malam pertama, aku janji bakal pelan-pelan.”"Or
Tania terperanjat. Begitu pun dengan Audry. Keduanya sama-sama terkejut. Audry kaget menyadari dirinya bisa lepas kendali setelah bertahun-tahun mampu menyimpannya sendiri. Seharusnya tadi ia tidak terpancing emosi. Semestinya ia bisa lebih sabar lagi menghadapi Tania seperti yang sudah-sudah. Ia hanya perlu menanti sampai Tania membuka hati untuk Gatra.Wajah Tania memucat dalam hitungan detik. Apa artinya Audry mengetahui semuanya mengenai perasaan Tania terhadap Dypta? Tapi bagaimana mungkin? Audry tahu dari mana? Tania pastikan tidak ada yang mengetahui rahasia itu selain dirinya dan sang pencipta. Audry melirik kiri kanannya, meyakinkan tidak ada orang di sekitar mereka. Lalu menarik tangan Tania ke kamar. Tania menurut tanpa perlawanan.Begitu tiba di sana Audry mengunci pintu rapat-rapat. Ia merasa perlu bicara dari hati ke hati dengan sang putri. Ia tidak mau saat mereka berbicara nanti terinterupsi seseorang.Audry bersedekap sambil berdiri memandang pada Tania yang duduk d
"Tania, buruan!" tegur Claudia sekali lagi agar Tania beranjak.Tania mengembuskan napas panjang sambil merotasi kedua bola matanya. Ia kemudian melangkah tanpa semangat keluar dari counter kasir."Selamat pagi, selamat datang di Tamara Latte. Mari silakan duduk." Tania menyapa dengan ramah sambil merekahkan senyum terbaik. Ia juga mengembangkan tangannya menunjuk ke arah tempat duduk.Gatra menyipit, menatap aneh pada Tania. "Tadi kamu nggak salah minum obat kan?""Obat apa?" tanya Tania heran. Ini orang datang tanpa diundang nanyanya aneh pula."Kali aja kamu keminum obat cacing."Detik itu juga senyum menghilang dari wajah Tania. Berganti dengan bibirnya yang mengerucut."Pantas cafe ini sepi, owner-nya galak," sindir Gatra sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.'Sabar, Ta, sabar.' Tania berbisik di dalam hati. Menguatkan diri agar mampu mengerem emosi menghadapi Gatra."Mau minum apa?" tanya Tania menghampiri Gatra yang sudah duduk manis di salah satu spot strategis."Bentar."
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Claudia, Jodi dan Uwi sudah pulang sejak tadi. Tapi Tania masih berada di cafe. Hari perdana cafe dibuka semua berjalan lancar. Meski awalnya pesimis tidak ada yang mengunjungi cafenya, namun semakin siang pengunjung bertambah ramai. Dan menurut dugaan Claudia itu semua tidak lepas dari bantuan Gatra. Lelaki itu berperan besar menarik orang-orang agar datang ke Tamara Latte. Tania berutang ucapan terima kasih padanya. Tania meregangkan badan, melemaskan otot-otot yang sedikit kaku. Sudah saatnya ia pulang, nyatanya ia masih duduk termenung di balik counter kasir sambil memandang satu demi satu ke arah meja dan kursi kosong. Tania bingung harus pulang ke mana. Tania malu pulang ke rumah. Walaupun Audry tidak menghakiminya, namun Tania kehilangan nyali membalas pandang ibunya itu. Terlebih tadi siang tidak seorang pun dari mereka datang ke cafe. Tania tidak ingin berburuk sangka, namun Dypta yang gagal datang memenuhi janjinya membuat
Tania tersenyum pahit mendengar perkataan Jeff.Tania juga berharap andai waktu bisa diulang. Tania akan mencegah Jeff dan Audry berpisah. Agar Audry tidak bisa bersama Dypta. Tapi dirinyalah.Astaga …Tania mengusap muka, membuang jauh pikiran negatif yang sempat singgah di kepalanya. Tania tidak akan sejahat itu. Audry adalah ibu kandungnya. Anak seperti apa Tania? Semesta pasti akan mengutuknya sepanjang zaman.Kedua ayah dan anak itu duduk bersisian di tepi ranjang. Jeff terus mengurai membangkitkan memori masa silam. Sedangkan Tania berusaha mengingat dengan keras kapan momen-momen itu terjadi.“Pernah suatu hari badan Kakak panas, Kakak demam. Papi dan Mommy sudah bawa Kakak ke dokter, tapi panasnya nggak turun juga. Kakak nangis keras-keras, Kakak nggak kasih izin Papi pergi ke mana-mana. Maunya Kakak Papi tetap di rumah, di sini, di kamar ini menemani Kakak. Padahal waktu itu Papi harus menghadiri meeting untuk tender. Akhirnya Papi nggak jadi datang. Kita kalah. Tapi nggak ap
Audry menelepon Dypta setelah mendapat pesan dari Tania. Tak lama kemudian Dypta tiba di rumah.“Kenapa dia menginap di rumah om Jeff?” Itu adalah pertanyaan pertama yang disampaikannya. Seharusnya bukan hal yang aneh lantaran Jeff adalah ayah kandung Tania. Namun akan menjadi sangat janggal mengingat selama ini Tania tidak biasa menginap di sana.“Katanya lagi kangen sama Papinya,” jawab Audry sambil menunjukkan ponselnya agar Dypta bisa membaca sendiri pesan dari sang putri.Dypta tersenyum setelah menekuri ponsel Audry. “Sekarang kamu sudah tahu kan? Jadi nggak usah khawatir lagi.”Audry mencoba melakukan yang Dypta katakan. Namun ia gagal menepis rasa gelisah. Hingga Dypta mengajaknya tidur mata Audry enggan terpejam.“Mikirin apa lagi, Yang?” tanya Dypta menyadari kegelisahan Audry.“Tania,” jawab Audry pelan.“Dia kan di rumah Papinya, dia aman di sana,” kata Dypta menenangkan walaupun berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Tumben Tania menginap di rumah Jeff.“Iya, Dyp, mungki
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama