Audry dan Dypta begitu terkejut mendengar penuturan Nora. Detik itulah keduanya tidak menyesali keputusan untuk memenuhi undangan perempuan itu datang ke rumah sakit."Ibu Audry, Mas Dypta, saya nggak bohong. Semua yang saya katakan adalah fakta," imbuh Nora meyakinkan pasangan itu."Kami percaya," jawab Dypta. "Tapi kenapa kamu bohong dan memberi kesaksian palsu? Kenapa nggak bilang aja yang sebenarnya pada polisi?""Saya ditekan, Mas, saya diancam akan dibunuh," jawab Nora lagi.Nora kemudian menceritakan detail kejadiannya. Waktu itu ia meminta pertanggung jawaban dari Jeff. Ia meminta laki-laki itu untuk menikahinya. Akan tetapi, seperti dugaan, Jeff menolak dan meminta Nora untuk menggugurkan kandungannya.Nora bertahan. Ia akan terus mempertahankan anak itu hingga Jeff naik pitam.Flashback ...Nora berbaring gelisah di tempat tidur. Entah mengapa malam ini ia susah sekali memejamkan mata. Tadi Jeff mengajaknya menginap di rumah laki-laki itu. Jeff meminta untuk menjaga Tania y
“Ini surat apa, Rid?” tanya Audry setelah Inggrid meletakkan langsung amplop itu ke tangannya.“Lo lihat aja sendiri.”Audry membuka amplop lalu membaca dengan lantang di dalam hati kata demi kata yang tertera di sana.Jeff menggugat cerai sebelum Audry mengajukannya dengan resmi. Apa pria itu sadar saat melakukannya? Kenapa jadi segampang ini?“Lo sedih?” tanya Inggrid ketika Audry mengangkat muka setelah menekuri kertas di tangannya.“Nggak, gue cuma kaget,” jawab Audry sejujurnya.“Beneran?” Inggrid memiringkan kepala memandang Audry dengan sorot menyelidik.Audry mengangguk pelan. Seharusnya saat ini ia meloncat-loncat karena bahagia, tapi yang ada Audry mulai mencurigai Jeff. Kenapa Jeff tidak mempersulit? Iya, harusnya Audry bersyukur karena pria itu mempermudah segalanya. Tapi pasti ada sesuatu di baliknya. Apa yang telah direncanakan Jeff?”Bestie, jujur deh sama gue. Lo takut nggak bakal kebagian hartanya Jeff kan? Udah deh, gue ngerti perasaan lo. Tapi lo sendiri yang pergi
Hah? Syarat? Apa lagi yang diinginkan Jeff?“Apa syaratnya?" tanya Audry ingin tahu.Senyum laki-laki itu merekah semakin lebar. Berhasil mengintimidasi Audry adalah kebahagiaan terbesarnya. “Syaratnya tidak sulit. Aku hanya mau kita seperti dulu.”Audry langsung menggelengkan kepalanya. Ia menolak tegas permintaan itu. “Kalau maksudmu adalah kembali padamu, maaf, aku tidak bisa.”“Keputusan sepenuhnya ada padamu. Aku hanya memberi penawaran. Terserah mau diterima atau ditolak. Gampang kan?” ucap Jeff ringan sambil mengembangkan kedua tangannya.Jeff menunggu jawaban Audry selama beberapa detik, namun hanya tatapan penuh kebencian perempuan itu yang diterimanya sehingga ia pun pergi.Baru berjalan beberapa langkah, Jeff memutar badan. “Nanti sore aku akan jemput Tania.”Air mata Audry meluncur deras. Di saat itulah Dypta muncul dari belakang dan memeluknya.“Aku nggak sanggup pisah dengan Tania, Dyp. Aku nggak bisa bayangin gimana dia di bawah asuhan Jeff. Pokoknya aku nggak mau kasih
Dana menyetir sekencang mungkin. Setibanya di rumah, Dana membantu Jeff keluar dari mobil. Lelaki itu mengeluh padanya mengalami kesemutan. Sebagian tubuhnya tepat di bagian kiri tidak peka terhadap sentuhan apa pun.Seluruh pekerja di rumah Jeff tak pelak menjadi khawatir melihat kondisi memprihatinkan majikan mereka. “Kita bawa Bapak ke rumah sakit saja, Pak Dana,” kata Bi Dira memberi usul.“Gimana kalau kita panggil dokter saja ke sini,” Tanu si penjaga rumah memberi ide yang lain.“Tapi kondisinya darurat. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak butuh penanganan khusus. Masalahnya, tadi Bapak tiba-tiba langsung begini.”Setelah ketiganya berembuk, mereka memutuskan untuk membawa Jeff ke rumah sakit.Jeff benar-benar tidak berdaya. Ia ingin mengumpat, namun mulutnya begitu berat untuk digerakkan. Setelah tiba di rumah sakit, Jeff ditangani dengan cepat. Dokter memvonis Jeff mengalami gejala stroke.‘Tidak mungkin! Aku masih muda dan gagah. Aku tidak mungkin kena stroke!’ Jeff berteriak
Sudah sejak tadi Audry mengawasi pergerakan penunjuk waktu di dinding. Sepuluh menit berlalu sejak pukul lima sore. Detak jantung Audry semakin menghentak bersama jarum jam yang tak henti berputar.Sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan Jeff untuk menjemput Tania. Tapi Audry yakin lelaki itu tidak mungkin membatalkannya. Mungkin saat ini Jeff sedang berada di jalan. Sebentar lagi dia akan segera tiba lalu membawa Tania pergi darinya."Dyp, apa kita kabur aja?" Ide itu tercetus begitu saja di benak Audry. Audry tidak siap jika harus memberikan Tania pada mantan suaminya."Mau kabur ke mana, Yang?" tanya Dypta balik. "Ke mana aja, pokoknya jauh dari sini. Aku nggak mau memberikan Tania. Jeff sebentar lagi akan ke sini.""Oke, kalau pun kita bisa kabur apa kamu yakin Jeff nggak bakal menemukan kita?" tanya Dypta lagi sambil memandangi wajah Audry lekat-lekat.Audry terdiam tanpa kata. Ia tidak tahu apa jawabannya. Yang ia tahu, Jeff tidak akan membiarkan mereka lolos. Pria itu pasti
Seminggu berlalu sejak hari itu. Jeff tak kunjung datang menjemput Tania. Audry dan Dypta bertanya-tanya apa yang terjadi pada laki-laki itu. Apa mungkin dia membatalkan rencananya? Atau jangan-jangan sedang menyusun strategi baru.Hingga saat ini kedua pasangan itu tetap waspada. Mereka menjaga Tania sebaik mungkin. Tidak mengizinkannya keluar jauh dari rumah tanpa pengawasan."Menurutmu kenapa Jeff nggak jadi ngejemput Tania?" tanya Audry sambil memberi makan Rogen, sedangkan Dypta sibuk membumbui potongan ayam.Dypta menolehkan kepala mendengar pertanyaan Audry. "Kamu mau aku datang ke sana dan cari info?"Audry memang merasa penasaran, tapi ia tidak ingin Dypta mengantar nyawa dengan langsung mendatangi rumah Jeff."Jangan ke rumah, coba ke cafe aja."Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dypta berangkat ke Manhattan Cafe atas permintaan Audry."Dyp, hati-hati ya ...," ucap Audry di depan pintu rumah.Dypta tersenyum sambil menganggukkan kepala."Pa, itut! Dek ituuttt!" Rogen meman
"Gimana, Dyp?" Audry menyambut dengan pertanyaan begitu Dypta tiba di rumah.Dypta menggandeng tangan Audry agar duduk bersamanya. "Aku udah ke cafe. Ternyata tutup. Terus ketemu sama Inggrid. Dia bilang Jeff sakit.""Dia sakit apa?" tanya Audry ingin tahu."Dia kena stroke.""Stroke?" Audry mengulangi dengan nada yang lebih tinggi dari Dypta.Dypta menganggukkan kepala. Ia ikut prihatin dan berempati pada kejadian yang menimpa Jeff. Dan sama seperti Dypta serta yang lainnya, orang-orang yang mengenal Jeff juga tidak menyangka."Kamu mau kita ke sana?" ujar Dypta menanyakannya. Ia tidak keberatan jika Audry ingin membesuk mantan suaminya."Menurutmu gimana?""Aku kasihan sama Om Jeff. Dia sudah kehilangan istri dan anak lalu sekarang sakit keras. Walau gimana-gimana dia tetap keluargaku meskipun hubungan kekerabatan kami nggak terlalu dekat."Dypta dan Audry akhirnya memutuskan untuk membesuk Jeff. Mereka membawa anak-anak.Karena tidak tahu persis di mana keberadaan Jeff, keduanya me
Dypta sudah menunggu di depan rumah dengan Rogen saat Audry muncul. Lelaki itu tampak sedang termenung. Sebatang rokok terselip di antara jari-jemarinya."Dyp ..."Dypta tersentak ketika Audry menyentuh pundaknya. Ia langsung menoleh. "Udah selesai, Yang?"Audry menganggukkan kepala."Bentar ya, aku pesan taksi dulu."Dypta membuang rokok kemudian menggulir menu di ponselnya.Selagi menunggu taksi datang, mereka duduk menanti di dekat pos sekuriti penjaga rumah.Audry dan Dypta sama-sama diam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sedangkan anak-anak bermain berdua.Tania mengajari Rogen berjalan dengan membimbing tangan adiknya itu. Saat Rogen tersandung dan hampir terjatuh, Tania dengan sigap menyambut tubuhnya. Audry dan Dypta tersenyum haru melihat anak mereka. Meski keduanya bukan saudara kandung namun mereka saling sayang satu sama lain."Mas Dypta, saya mau bicara sebentar." Tiba-tiba Dana datang menghampiri keduanya."Iya, Pak," sahut Dypta datar. Dypta sudah kehilangan
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama