Aksi tiba-tiba yang dilakukan Kiera tentu saja mengundang atensi para pengunjung toko. Alhasil, berpasang-pasang mata memandang serempak pada mereka.Tania memegang pipinya yang perih sedangkan tangannya sudah terangkat untuk membalas tamparan perempuan itu kalau saja tidak ingat saat ini mereka sedang berada di ruang publik.Sebagai seorang laki-laki begitu menyaksikan dengan matanya sendiri ada yang menyakiti perempuan yang dicintainya, ingin rasanya Gatra memaki dan mencecar Kiera saat itu juga. Namun Gatra berhasil menahan emosinya. Ia malah menyodorkan pipinya ke arah Kiera.“Aku nggak ditampar sekalian? Kenapa cuma Tania? Nih, tampar lagi!”Kiera mengangkat tangannya, bersiap-siap melayangkannya ke pipi Gatra. Sebelum ia berhasil melakukanya, petugas keamanan datang melerai mereka.“Maaf, Mbak, Mas, jangan ribut di sini, jangan mengganggu kenyamanan pembeli lain. Kalau ada masalah tolong selesaikan di luar saja.”“Mbak ini yang duluan, Pak, saya nggak tahu masalahnya apa. Tiba-t
Tania refleks menutup mulutnya kala menyadari sesuatu hal. Apa yang tadi dikatakannya? Papa? Kenapa ia ikut-ikutan memanggil Papa saat berbicara dengan Gatra? Dan sejak kapan Tania memanggil Dypta dengan sebutan Papa?“Ta, aku balik sekarang aja ya?” pamit Gatra kemudian.“Ya ... jangan dong. Ntar aja, tunggu Papa datang dulu.”“Nggak enak ah. Masa udah malam masih di sini. Jaga image dikit nggak ada salahnya kan?” Gatra tertawa.“Ya udah, hati-hati ya, Gat.” Tania terpaksa mengizinkan Gatra pergi.“Kamu juga hati-hati. Jaga kesehatan, tidur yang cukup dan kurangi pikiran negatif. Jangan lupa obatnya juga diminum.”Tania mengangguk patuh. Sebelum pergi dari apartemen Tania Gatra meninggalkan kecupan lembut di dahi perempuan itu.Tania langsung bersiap-siap mengemasi beberapa helai pakaian yang akan dibawa. Seharusnya tadi ia minta diantar Gatra saja. Tapi nggak enak juga sama Dypta yang sudah terlanjur menuju apartemennya. Saat Tania sedang berkemas-kemas, ponselnya kembali berbunyi.
Tidak ada yang tahu bahwa setelah dari apartemen Tania tadi Gatra tidak langsung pulang ke rumah. Saat ini Gatra mengawal dari belakang sebuah SUV hitam yang berada bermeter-meter di depannya. Gatra sengaja menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengannya. SUV itu melaju tidak konsisten. Kadang pelan kadang mengencang. Membuat Gatra juga harus menyelaraskan jaraknya.Dypta dan Tania berada di dalam SUV tersebut. Gatra selalu merasa waswas setiap kali ada momen Tania hanya berdua dengan Dypta di mobil. Pengakuan jujur Tania tentang kejadian malam itu seakan membawa Gatra kembali pada masa lalu. Apalagi momennya nyaris serupa. Terjadi persis sebelum mereka menikah.Ketika mobil Dypta melambat, detak jantung Gatra mengencang. Ia merasa kesulitan mengendalikan pikirannya. Jangan-jangan Dypta memelan lantaran sedang berciuman dengan Tania. Jangan-jangan Tania juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya pada Gatra saat itu. Di saat Dypta menyetir Tania beraksi
“Mbak, kayaknya rambutnya belum deh, masih agak kusut di belakang.” Audry memanggil penata rias agar mendekat padanya. Lalu kemudian seorang perempuan berusia tiga puluhan datang menghampiri. Perempuan itu merapikan rambut Tania yang disanggul modern.“Blush on-nya juga, Mbak, kayaknya harus dipoles satu pulasan lagi.” Itu suara Lena.Tania hanya bisa menahan senyum menyaksikan betapa antusiasnya Audry dan Lena. Dari tadi keduanya yang paling excited memerhatikan penampilannya.Hari ini adalah hari yang begitu penuh kesan. Tania dan Gatra akan mengukir sejarah baru dalam hidup mereka.Iya, hari ini merupakan hari pernikahan keduanya. Momen sakral tersebut mengusung konsep garden party dan diadakan di sebuah venue yang sering digunakan oleh para public figure. Hanya saja acara tersebut dihelat secara privat. Gatra dan Tania hanya mengundang beberapa orang yang benar-benar mengenal mereka.Setelah Tania selesai dirias ia digiring
Taman tempat pernikahan Tania dan Gatra berlangsung tadi sore sudah sepi. Keseluruhan rangkaian acara sudah berakhir sejak pukul setengah sebelas malam atau sekitar setengah jam yang lalu. Yang tersisa saat ini hanyalah wadah-wadah makanan kotor serta gelas-gelas kosong.Tania dan Gatra tidak menginap di hotel melainkan di apartemen mereka dulu."Now I’m in a house, but can’t find where my home is."Itu adalah kata batin Gatra dulu setiap kali datang ke apartemennya. Namun saat ini ada Tania yang sudah kembali bersamanya. Tania adalah rumahnya.Saat ini sedang Tania duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponsel. Sedangkan Gatra berada di kamar mandi.Mereka sudah berada di sana sejak tadi. Setelah mengganti pakaian, Tania membersihkan wajahnya dari topeng kosmetik, beristirahat sebentar lalu duduk seperti yang dilakukannya sekarang.Tania tersentak ketika pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka bersamaan dengan Gatra yang muncul dari sana. Lelaki yang kembali resmi berstatus sebagai suami
Tania berjalan pelan duluan di depan Gatra, sedangkan Gatra mengekor di belakangnya. Tania sedikit gugup saat Gatra terus mengawasi gerak-geriknya seakan khawatir Tania akan lepas darinya.Tania membuka tas pakaian. Tangannya mencari-cari lingerie yang diinginkan Gatra. Matanya lantas beradu dengan sebuah kain tipis yang lembut di tangannya. Ini dia. Tania menarik lingerie berwarna nude/ senada kulit itu ke luar dari lipatan pakaian lainnya. Hangtag I.D Sarrieri masih tertera di sana. Pertanda lingerie itu belum pernah dipakai atau masih baru.Tania memandang lingerie yang kini berada dalam genggamannya. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan membayangkan akan memakai pakaian seminim itu dan tampil di hadapan Gatra. Belakangan interaksi fisiknya semakin intens dengan Gatra, tapi Tania belum pernah menunjukkan tubuhnya secara utuh.Lingerie seksi itu lengkap dengan G-string yang juga menggoda. Seumur-umur Tania belum pernah memakai lingerie dan G-string. Tania tersenyum geli kala ingat
Gatra menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba kuat menahan hasrat yang semakin mencuat. Kepalanya semakin berat. Sementara di sebelahnya Tania hampir saja ketiduran.“Ta, jangan tidur dulu.” Gatra mengusap pipi Tania sebelum istrinya itu benar-benar memejamkan mata. Bukannya Gatra ingin memaksa dan tidak pengertian, tapi badannya sudah setengah meriang. Gatra yakin ia tidak akan bisa tidur sampai pagi jika begini caranya.“Kenapa, Gat?” tanya Tania lirih.“Masih sakit? Kalo udah enggak kita coba lagi yuk.”“Sekarang?”“Iya, sekarang.”“Tapi bakalan sakit lagi ya, Gat?” tanya Tania ragu. Tania bukannya ingin menolak dan membuat Gatra kecewa. Hanya saja hingga detik ini Tania masih merasakan perihnya sensasi saat tadi Gatra mencoba memasukinya.Gatra menerbitkan senyum tipis di bibirnya menyaksikan ekspresi tegang Tania. Ia mengerti sebesar apa ketakutan istrinya itu.“Sedikit sih, namanya juga pertama. Tapi lama-lama bakalan enak asal kamunya rileks, jangan dibawa tegang, nggak usah dipi
Sinar matahari pagi menerobos masuk dari balik gorden dan menerpa tepat di wajah Tania. Membuatnya mengerjapkan mata berkali-kali lantaran merasa tidak nyaman.Tania hendak membalikkan badannya ketika terasa ada yang menghalanginya. Namun rasa remuk di sekujur tubuhnya membuatnya jadi susah bergerak. Semua diperparah oleh perih yang menusuk di bagian bawahnya.Sementara itu di sebelah Tania Gatra masih pulas dalam lelap. Tangan kirinya semalam Tania jadikan bantal, sedangkan sebelah yang lain melingkari tubuh Tania dengan erat. Pelan-pelan Tania menepis tangan Gatra darinya. Tania menjaga gerakannya seperlahan mungkin agar tidak membuat Gatra terbangun. Wajah lelah Gatra membuat Tania jadi tidak tega.Tania meringis ketika bergerak dan mencoba untuk turun dari ranjang. Saat menurunkan pandangan dan memindai tubuhnya sendiri, Tania menemukan jejak Gatra di mana-mana. Gatra meninggalkan bukti kepemilikan nyaris di sekujur tubuh Tania. Bekas-bekas kemerahan itu sekarang menjadi kebiruan.